Hunian Berwawasan Ramah Lingkungan
A
A
A
Bagi mantan Rektor Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Profesor Sudharto P Hadi, sebuah rumah harus memiliki sifat ramah lingkungan.
Meski belum pernah membangun rumah sendiri dan selalu membeli bangunan jadi, ia selalu menerapkan konsep hunian yang ramah lingkungan dan hemat energi.
Hal itu diwujudkan melalui banyaknya lubang ventilasi demi kelancaran sirkulasi udara, hingga penggunaan kaca tembus pandang untuk mempermudah cahaya matahari masuk.
Sejak menikah pada 1984, Prof Dharto, sapaan akrabnya, tercatat pernah beberapa kali pindah rumah. Di antaranya di kawasan Krapyak, Jalan Sanggung Jatingaleh, Rumah Dinas Rektor di Jalan Imam Barjo, hingga saat ini menetap di rumah yang berada di Jalan Banjarsari 4A, Tembalang. Dari sekian banyak rumah yang pernah ditempati bersama keluarga itu, semuanya dikonsep serupa.
Usai terpilih sebagai rektor Undip pada Juni 2010, Prof Dharto menempati rumah dinas yang berada di Jalan Imam Barjo. Baru menjelang jabatannya sebagai rektor berakhir pada akhir 2014, dia pindah dan menempati rumah di Jalan Banjarsari. ”Sebelum saya tempati, rumah yang di Jalan Banjarsari ini ditempati anak saya dulu. Karena saat menjabat sebagai rektor, saya harus tinggal di rumah dinas,” kata pria yang dikukuhkan sebagai guru besar Undip pada 1999 ini, saat berbincang dengan KORAN SINDOdi rumahnya pekan lalu.
Selain mengonsep agar rumah memiliki sirkulasi udara dan cahaya yang lancar, ayah empat anak ini juga fokus pada persoalan saluran air atau drainase. Hal itu dimaksudkan agar ketika hujan turun tidak muncul genangan di rumah maupun di lingkungan sekitar rumah. Solusi supaya tidak ada genangan antara lain dengan menyediakan lubang biopori di bagian halaman dan beberapa titik lain, serta disediakannya sumur resapan.
Bahkan, lahan kosong pinggir jalan yang berada di depan rumah disulapnya menjadi taman mini dan disediakan biopori. ”Kalau sumur resapan yang ada di halaman ada dua. Kedalamannya sekitar 1,5 meter. Kemudian untuk biopori ada sekitar 10 buah. Fungsi sumur resapan dan biopori ini dimaksudkan agar air hujan yang jatuh di lingkungan rumah maupun sekitarnya tidak menjadi air larian.
Melainkan, semuanya bisa meresap ke dalam tanah dan tidak menggenang. Untuk yang taman mini di pinggir jalan ini, sudah saya mintakan izin kepada kelurahan agar saya kelola menjadi seperti ini. Karena, di sepanjang pinggir jalan lain banyak yang digunakan untuk PKL,” kata pria kelahiran Klaten, 3 September 1954 ini. Di rumah dengan luas sekitar 400 meter persegi ini Prof Dharto juga tidak memasang satu pun mesin pengatur suhu ruangan atau air conditioner (AC) bukan hanya pada bangunan rumah utama yang memiliki tujuh kamar tidur, masing-masing di lantai satu empat kamar dan lantai dua tiga kamar.
Enam kamar yang letaknya di bagian belakang dan difungsikan sebagai kamar kos pun tidak dilengkapi AC. ”Saya dan keluarga sejak dulu memang tidak betah dengan AC. Dengan tidak dipasanginya AC, berarti juga lebih hemat energi dan ramah lingkungan,” kata guru besar sosiologi lingkungan ini.
Tata Interior oleh sang Istri
Soal penataan isi rumah, lulusan magister dan doktoral dari Kanada ini menyerahkannya kepada sang istri, Sri Budiarni. Sang istrilah yang menata pernak-pernik isi rumah hingga belasan pigura, klipingan koran, piagam, dan lain-lain yang dibingkai sedemikian rupa di dinding pada tangga penghubung utama lantai satu dan dua.
”Pigura-pigura yang terpajang di dinding pada tangga adalah etalase ”jejak pemikiran” saya sejak diangkat menjadi guru besar di Undip. Etalase itu bisa dijadikan inspirasi bagi anak cucu saya, serta para mahasiswa saya jika datang ke sini. Khusus etalase, yang memajang dan menata adalah istri saya. Saya hanya menjadi penuang ide agar semua arsip yang ada tidak cuma tersimpan, namun bisa dipajang dan memberi inspirasi sekaligus penyemangat,” ucap kakek dua cucu ini.
Prof Dharto memiliki dua ruang kerja di rumah. Satu di antaranya berada di ruang keluarga lantai dua. Sementara, satu lagi berada di balkon sisi kanan rumah yang disulapnya menjadi ruang kerja. ”Sebelumnya ini hanya balkon biasa, kemudian saya tambahi dinding kaca yang bisa dibuka. Kemudian, saya isi dengan rak-rak buku untuk menyimpan buku-buku saya. Ruang kerja yang satu ini menjadi ruangan favorit saya, terutama jika sudah malam. Tidak terasa bisa berjam-jam saya di sini,” bebernya.
Sejak pertama kali menempati rumah yang terhitung sudah dibelinya beberapa tahun lalu ini, Prof Dharto sekeluarga mengaku betah. Selain karena letaknya berdekatan dengan Kampus Undip Tembalang, yakni berkisar lima menit berkendara, juga karena rumah tersebut sudah ditata sedemikian rupa hingga menjadi hunian yang hemat energi dan ramah lingkungan.
”Iya, dekat dengan kampus, bahkan bersepeda pun tidak capek kalau ke kampus. Kebetulan saya ada empat sepeda kuno yang saya tempatkan di depan rumah. Satu di antaranya adalah sepeda onthel tahun 1967, yang sudah lama saya pakai sejak masih SMP. Saya kalau pagi seringbersepedadenganistrimenggunakan sepeda-sepeda ini,” pungkasnya.
Susilo himawan
Meski belum pernah membangun rumah sendiri dan selalu membeli bangunan jadi, ia selalu menerapkan konsep hunian yang ramah lingkungan dan hemat energi.
Hal itu diwujudkan melalui banyaknya lubang ventilasi demi kelancaran sirkulasi udara, hingga penggunaan kaca tembus pandang untuk mempermudah cahaya matahari masuk.
Sejak menikah pada 1984, Prof Dharto, sapaan akrabnya, tercatat pernah beberapa kali pindah rumah. Di antaranya di kawasan Krapyak, Jalan Sanggung Jatingaleh, Rumah Dinas Rektor di Jalan Imam Barjo, hingga saat ini menetap di rumah yang berada di Jalan Banjarsari 4A, Tembalang. Dari sekian banyak rumah yang pernah ditempati bersama keluarga itu, semuanya dikonsep serupa.
Usai terpilih sebagai rektor Undip pada Juni 2010, Prof Dharto menempati rumah dinas yang berada di Jalan Imam Barjo. Baru menjelang jabatannya sebagai rektor berakhir pada akhir 2014, dia pindah dan menempati rumah di Jalan Banjarsari. ”Sebelum saya tempati, rumah yang di Jalan Banjarsari ini ditempati anak saya dulu. Karena saat menjabat sebagai rektor, saya harus tinggal di rumah dinas,” kata pria yang dikukuhkan sebagai guru besar Undip pada 1999 ini, saat berbincang dengan KORAN SINDOdi rumahnya pekan lalu.
Selain mengonsep agar rumah memiliki sirkulasi udara dan cahaya yang lancar, ayah empat anak ini juga fokus pada persoalan saluran air atau drainase. Hal itu dimaksudkan agar ketika hujan turun tidak muncul genangan di rumah maupun di lingkungan sekitar rumah. Solusi supaya tidak ada genangan antara lain dengan menyediakan lubang biopori di bagian halaman dan beberapa titik lain, serta disediakannya sumur resapan.
Bahkan, lahan kosong pinggir jalan yang berada di depan rumah disulapnya menjadi taman mini dan disediakan biopori. ”Kalau sumur resapan yang ada di halaman ada dua. Kedalamannya sekitar 1,5 meter. Kemudian untuk biopori ada sekitar 10 buah. Fungsi sumur resapan dan biopori ini dimaksudkan agar air hujan yang jatuh di lingkungan rumah maupun sekitarnya tidak menjadi air larian.
Melainkan, semuanya bisa meresap ke dalam tanah dan tidak menggenang. Untuk yang taman mini di pinggir jalan ini, sudah saya mintakan izin kepada kelurahan agar saya kelola menjadi seperti ini. Karena, di sepanjang pinggir jalan lain banyak yang digunakan untuk PKL,” kata pria kelahiran Klaten, 3 September 1954 ini. Di rumah dengan luas sekitar 400 meter persegi ini Prof Dharto juga tidak memasang satu pun mesin pengatur suhu ruangan atau air conditioner (AC) bukan hanya pada bangunan rumah utama yang memiliki tujuh kamar tidur, masing-masing di lantai satu empat kamar dan lantai dua tiga kamar.
Enam kamar yang letaknya di bagian belakang dan difungsikan sebagai kamar kos pun tidak dilengkapi AC. ”Saya dan keluarga sejak dulu memang tidak betah dengan AC. Dengan tidak dipasanginya AC, berarti juga lebih hemat energi dan ramah lingkungan,” kata guru besar sosiologi lingkungan ini.
Tata Interior oleh sang Istri
Soal penataan isi rumah, lulusan magister dan doktoral dari Kanada ini menyerahkannya kepada sang istri, Sri Budiarni. Sang istrilah yang menata pernak-pernik isi rumah hingga belasan pigura, klipingan koran, piagam, dan lain-lain yang dibingkai sedemikian rupa di dinding pada tangga penghubung utama lantai satu dan dua.
”Pigura-pigura yang terpajang di dinding pada tangga adalah etalase ”jejak pemikiran” saya sejak diangkat menjadi guru besar di Undip. Etalase itu bisa dijadikan inspirasi bagi anak cucu saya, serta para mahasiswa saya jika datang ke sini. Khusus etalase, yang memajang dan menata adalah istri saya. Saya hanya menjadi penuang ide agar semua arsip yang ada tidak cuma tersimpan, namun bisa dipajang dan memberi inspirasi sekaligus penyemangat,” ucap kakek dua cucu ini.
Prof Dharto memiliki dua ruang kerja di rumah. Satu di antaranya berada di ruang keluarga lantai dua. Sementara, satu lagi berada di balkon sisi kanan rumah yang disulapnya menjadi ruang kerja. ”Sebelumnya ini hanya balkon biasa, kemudian saya tambahi dinding kaca yang bisa dibuka. Kemudian, saya isi dengan rak-rak buku untuk menyimpan buku-buku saya. Ruang kerja yang satu ini menjadi ruangan favorit saya, terutama jika sudah malam. Tidak terasa bisa berjam-jam saya di sini,” bebernya.
Sejak pertama kali menempati rumah yang terhitung sudah dibelinya beberapa tahun lalu ini, Prof Dharto sekeluarga mengaku betah. Selain karena letaknya berdekatan dengan Kampus Undip Tembalang, yakni berkisar lima menit berkendara, juga karena rumah tersebut sudah ditata sedemikian rupa hingga menjadi hunian yang hemat energi dan ramah lingkungan.
”Iya, dekat dengan kampus, bahkan bersepeda pun tidak capek kalau ke kampus. Kebetulan saya ada empat sepeda kuno yang saya tempatkan di depan rumah. Satu di antaranya adalah sepeda onthel tahun 1967, yang sudah lama saya pakai sejak masih SMP. Saya kalau pagi seringbersepedadenganistrimenggunakan sepeda-sepeda ini,” pungkasnya.
Susilo himawan
(ars)