BIN Pantau Jurnalis Asing di Papua
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah akan melibatkan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk memantau kegiatan jurnalis asing di Papua. Hal itu dilakukan sebagai upaya antisipasi terhadap kemungkinan hal-hal yang tidak diinginkan.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Tedjo Edhy Purdijatno mengatakan, kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memberikan akses bagi jurnalis asing masuk ke Papua merupakan langkah strategis untuk bisa menimbulkan citra positif Indonesia terkait permasalahan Papua di mata internasional.
Selama ini, citra Indonesia yang terbentuk soal Papua identik dengan kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Meski demikian, keterbukaan yang diberikan tetap memiliki batasan. Menurut Tedjo, ada hukum dan peraturan yang mesti dipatuhi para jurnalis asing tersebut.
"Sebagai negara berdaulat, Indonesia mempunyai kedaulatan hukum. Jurnalis asing harus mematuhi aturan yang berlaku," ujarnya saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional tentang Peluang, Tantangan, dan Hambatan atas Terbukanya Papua bagi Jurnalis Asing di Wisma Antara, Jakarta, Selasa (26/5/2016).
Diakuinya, memang selama ini ada pihak-pihak yang menyebarkan informasi negatif tentang Papua, terutama terkait masalah kekerasan, pelanggaran HAM, dan kesenjangan di Papua. Penyebaran informasi tersebut tidak menutup kemungkinan ada kepentingan tertentu yang ingin mengganggu kepentingan nasional.
Sebagai antisipasi, kata Tedjo, jurnalis asing yang hendak ke Papua harus mengikuti prosedur hukum yang ada dalam UU Keimigrasian. Selain itu, setiap jurnalis asing yang hendak pergi ke Papua dan Indonesia harus mengajukan permohonan dan disertai dengan surat keterangan dari media tersebut.
Termasuk clearance house di Kementerian Luar Negeri. Hal itu, demi menjaga kepentingan nasional dan kedaulatan negara. "Istilah clearance house ini akan berubah menjadi tim monitoring asing, namun tetap memiliki fungsi dan tugas yang sama," katanya.
Dalam UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), sambung Tedjo, ada beberapa informasi yang bisa diakses secara terbuka. Namun ada pula informasi yang tidak bisa diberikan ke publik termasuk jurnalis asing.
"Nantinya disaring wartawan asing yang akan meliput apa saja. Tapi tidak semua informasi akan dibuka, jika informasi itu menghambat proses penegakan hukum, persaingan usaha yang tidak sehat, mengganggu ketahanan ekonomi nasional, mengganggu hubungan luar negeri, dan membahayakan pertahanan dan keamanan nasional," kata Tedjo.
Selain itu, Badan Intelijen Negara (BIN) juga akan memantau kegiatan jurnalis asing, jangan sampai terjadi sesuatu dengan mereka saat bertugas. Sebab bila terjadi sesuatu dengan mereka maka bisa menjadi berita besar.
"Kami harus pantau mereka supaya wartawan asing tidak hilang. Kita harus waspadai kepentingan tertentu. Aparat BIN akan terus ada. Kami akan pantau mereka. Ada pantauan intelijen. Tidak boleh bebas seenaknya, tapi kita tidak boleh curiga, kalau sedikit negatif itu kritik bagi kami tapi jangan diputar balik," ucapnya.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Tedjo Edhy Purdijatno mengatakan, kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memberikan akses bagi jurnalis asing masuk ke Papua merupakan langkah strategis untuk bisa menimbulkan citra positif Indonesia terkait permasalahan Papua di mata internasional.
Selama ini, citra Indonesia yang terbentuk soal Papua identik dengan kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Meski demikian, keterbukaan yang diberikan tetap memiliki batasan. Menurut Tedjo, ada hukum dan peraturan yang mesti dipatuhi para jurnalis asing tersebut.
"Sebagai negara berdaulat, Indonesia mempunyai kedaulatan hukum. Jurnalis asing harus mematuhi aturan yang berlaku," ujarnya saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional tentang Peluang, Tantangan, dan Hambatan atas Terbukanya Papua bagi Jurnalis Asing di Wisma Antara, Jakarta, Selasa (26/5/2016).
Diakuinya, memang selama ini ada pihak-pihak yang menyebarkan informasi negatif tentang Papua, terutama terkait masalah kekerasan, pelanggaran HAM, dan kesenjangan di Papua. Penyebaran informasi tersebut tidak menutup kemungkinan ada kepentingan tertentu yang ingin mengganggu kepentingan nasional.
Sebagai antisipasi, kata Tedjo, jurnalis asing yang hendak ke Papua harus mengikuti prosedur hukum yang ada dalam UU Keimigrasian. Selain itu, setiap jurnalis asing yang hendak pergi ke Papua dan Indonesia harus mengajukan permohonan dan disertai dengan surat keterangan dari media tersebut.
Termasuk clearance house di Kementerian Luar Negeri. Hal itu, demi menjaga kepentingan nasional dan kedaulatan negara. "Istilah clearance house ini akan berubah menjadi tim monitoring asing, namun tetap memiliki fungsi dan tugas yang sama," katanya.
Dalam UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), sambung Tedjo, ada beberapa informasi yang bisa diakses secara terbuka. Namun ada pula informasi yang tidak bisa diberikan ke publik termasuk jurnalis asing.
"Nantinya disaring wartawan asing yang akan meliput apa saja. Tapi tidak semua informasi akan dibuka, jika informasi itu menghambat proses penegakan hukum, persaingan usaha yang tidak sehat, mengganggu ketahanan ekonomi nasional, mengganggu hubungan luar negeri, dan membahayakan pertahanan dan keamanan nasional," kata Tedjo.
Selain itu, Badan Intelijen Negara (BIN) juga akan memantau kegiatan jurnalis asing, jangan sampai terjadi sesuatu dengan mereka saat bertugas. Sebab bila terjadi sesuatu dengan mereka maka bisa menjadi berita besar.
"Kami harus pantau mereka supaya wartawan asing tidak hilang. Kita harus waspadai kepentingan tertentu. Aparat BIN akan terus ada. Kami akan pantau mereka. Ada pantauan intelijen. Tidak boleh bebas seenaknya, tapi kita tidak boleh curiga, kalau sedikit negatif itu kritik bagi kami tapi jangan diputar balik," ucapnya.
(hyk)