Taman Kota, Ruang Hiburan Tanpa Syarat

Senin, 25 Mei 2015 - 11:03 WIB
Taman Kota, Ruang Hiburan Tanpa Syarat
Taman Kota, Ruang Hiburan Tanpa Syarat
A A A
DI tengah belantara hutan beton perkotaan yang semakin hari semakin ”rindang”, keberadaan taman kota bak oase yang menyegarkan. Hijau, ramah, dan damai.

Dengan menumpang bus kota, Putri, 20, mahasiswi perguruan tinggi di Jakarta Timur, tiba di salah satu Taman Kota bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Tangan kirinya memegang sebuah tas hitam berisi biola, sementara kedua sisi pundaknya dibebani oleh tas ransel berwarna merah. Meski berpeluh keringat, wajah Putri tetap menyorotkan sinar keceriaan. Ia pun bergegas menghampiri teman-temannya yang sudah berkumpul di area timur taman kota.

Sore itu memang menjadi jadwal Putri untuk berkumpul bersama komunitas biolanya. Belajar lagu baru, berlatih lagu sebelumnya, sharing seputar informasi dunia biola adalah beberapa kegiatan yang dilakukan bersama rekan-rekannya sesama violis. Kegiatan ini rutin dilakukannya setiap satu minggu sekali di akhir pekan.

Di area barat, Shinta dan Dewi asyik mengobrol di bangku taman. Begitu asyiknya sampai penjual makanan yang menawarkan dagangannya pun tidak mereka hiraukan. Riuh rendah anak-anak kecil bermain bola di lahan seluas sekitar 10.000 meter persegi itu juga membuat mereka bergeming. Di area selatan sepasang muda mudi asyik memadu kasih, seolah tak peduli bahwa ada sekitar 70 orang yang berada di tempat yang sama, yang mungkin saja bisa melirik ke arah mereka setiap saat.

Ruang Ekspresi Jiwa

Bagi sebagian warga kota, pengalaman yang muncul di ruang terbuka hijau seperti pada taman kota mungkin belum terlalu familiar. Bisa dimaklumi karena di Jakarta yang luasnya 661,52 km persegi, taman kota yang tersedia masih sangat minim. Akibatnya, warga kehilangan ruangruang terbuka hijau sebagai paru-paru kota.

Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta menyebut, selama kurun waktu 2001 hingga 2012, luas ruang terbuka hijau (RTH) di Ibu Kota hanya 2.718,33 hektare. Jika dibandingkan dari total luas DKI Jakarta, yaitu 66.233 hektare, angka ini hanya mencapai sekitar 10%. Dampak secara ekologis tidak menjadi satu-satunya yang harus ditanggung dari minimnya taman kota.

Di sisi lain ada dimensi yang ikut terabaikan, yakni dimensi sosial dan kultural. Sebab, pada saat yang bersamaan warga kota kehilangan tempat yang memberikan ruang interaksi sekaligus ruang ekspresi jiwa sebebas-bebasnya. Dalam kajian budaya, ruang dilihat lebih dari sekedar lokasi. Ruang adalah praktik sosial yang memiliki makna.

Di kotakota besar masyarakat seperti sudah terbiasa menjadikan mal, kafe, dan tempat-tempat hiburan lainnya sebagai jawaban atau solusi untuk memenuhi kebutuhan akan ruang publik baik sebagai tempat hang out, atau sekadar memanfaatkan waktu luang. Namun, apakah mal, kafe, atau tempat komersial lainnya mampu menjadi ruang publik yang utuh?

Karena, bagaimanapun tempat-tempat tersebut menerapkan prinsip bisnis berbasis komersial. Ada harga yang harus dibayar untuk berkumpul bersama teman-teman di sebuah restoran dan atau ada biaya yang harus ditanggung untuk menikmati fasilitas hiburan seperti karaoke atau bioskop. Ada etika pula yang harus dipenuhi saat memasuki tempat semacam mal atau kafe.

Semisal, dilarang bersandal jepit atau memakai seragam sekolah. Sebaliknya, kehadiran taman kota bebas dari semua itu. Taman kota menyediakan ruang bagi warga kota yang lebih inklusif dan lebih natural. Inklusif dapat diartikan ruang publik dapat digunakan secara bebas oleh masyarakat. Setiap orang berhak datang tanpa pengecualian karena alasan ekonomi, sosial, atau budaya tertentu.

Lebih natural, karena semua orang bisa memanfaatkan taman ini tanpa batasan, tanpa harus memenuhi prinsip etika tertentu. Dalam kajian mengenai ruang publik, selain konsep public space yang cenderung merujuk pada asosiasi lingkungan fisik, Jurgen Habermas mengenalkan konsep yang lebih luas, yaitu public sphere .

Dia mengatakan, public sphere merupakan suatu ruang kegiatan yang mana orangorang di dalamnya bebas dari intervensi atau ikatan atau pengaruh dari luar, terutama dari negara dan pemerintah. Daya tarik inilah yang kemudian menjadi magnet bagi pengunjung.

”Aku sudah bosan dengan mal. Mau ngapa-ngapain harus bayar. Kalau di sini lebih menarik. Banyak kegiatan, banyak tontonan, dan yang penting semuanya gratis. Ini menjadi alternatif yang menyenangkan,” tutur Windo, seorang pengunjung taman.

Ciptakan Keterlibatan Emosi

William H Whyte dalam tulisannya Why Many Public Spaces Fail mengatakan, ruang terbuka hijau yang baik tak hanya terlihat rapi, hijau, serta bersih. Ruang tersebut baru memiliki makna jika mampu memunculkan gairah para pengunjung untuk datang dan kemudian melakukan aktivitas.

Coba tengok Taman Suropati. Ada komunitas dari anakanak muda yang memiliki passion untuk bermain musik. Mereka tergabung dalam Taman Suropati Arts. Kegiatan anak-anak muda yang tergabung dalam komunitas ini tidak semata-mata diperuntukkan bagi kesenangan atau kepentingan komunitas itu sendiri.

Mereka juga membuka peluang bagi pengunjung lainnya untuk ikut terlibat dalam kegiatan, yang pada akhirnya menambah lagi keanggotaan dalam komunitas mereka. Seperti dikatakan Arya, anggota komunitas Suropati Art, komunitasnya membuka peluang bagi siapa pun untuk belajar biola. Mulai dari anak-anak, remaja bahkan ibu rumah tangga. ”Siapa pun pun bisa gabung, semua umur. Tinggal registrasi, nanti alat musiknya (biola) bawa sendiri,” ujarnya.

Arya sendiri merasakan manfaat yang sangat positif dari kegiatan kumpul-kumpulnya di Taman Suropati. ”Kita bisa sharing , bisa belajar, punya pengalaman banyak, dan menambah teman,” tandasnya.

Hunaifi masoed/ Wiendy hapsari
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6278 seconds (0.1#10.140)