Ganasnya Rezim Kim Jong-un
A
A
A
Di bawah kekuasaan Kim Jong-un, Korea Utara (Korut) menjadi negara paling ”sadis” di dunia. Berbagai tindakan pelanggaran hukum, entah terbukti atau tidak, kerap berujung pada hukuman mati. Korbannya termasuk para pejabat teras bahkan anggota keluarga sang diktator.
Kasus terbaru yang menghebohkan dunia yaitu eksekusi mati yang dilakukan terhadap Menteri Pertahanan Hyong Yong-chol, 66, pada 30 April lalu. Eksekusi mati yang dilakukan tergolong sadis karena diduga menggunakan senjata jenis Anti- Aircraft Gun (AAG) ZPU-4.
Tidak diketahui pasti penyebab Hyong dieksekusi mati karena informasi dari Korut sulit diakses. Tapi berdasarkan laporan media Korea Selatan (Korsel), Yonhap, dia dieksekusi karena tertidur selama mengikuti pertemuan militer dan sering mengeluh kepada Jong-un. Ironisnya, eksekusi dilakukan di Akademi Militer Kang Kong, Pyongyang dan disaksikan ribuan orang, terutama para tentara Korut.
Metode eksekusi terhadap Hyong berbeda dengan kebanyakan eksekusi yang dilakukan sebelumnya. Selain ditembak dengan menggunakan AAG ZPU-4, jarak yang diambil hanya sekitar 30 meter (100 kaki). Beberapa kalangan menduga jasad Hyong tidak bisa dikenali. Hong Hyung-ik, ketua riset Korsel di Institut Sejong, mengatakan bahwa metode eksekusi yang dilakukan Korut tidak manusiawi.
Dengan tembakan senjata AAG ZPU-4, tubuh Hyong dipastikan hancur. ”Selepas ditembak dengan AAG, sulit untuk menemukan jasad orang yang menjadi sasaran. Ini benar- benar mengerikan. Senjata itu pasti merobek semua dagingnya,” ujar Hyung-ik, dikutip Dailymail . Para kritikus internasional menyebutkan metode eksekusi brutal ini digunakan sang penguasa untuk menekan rakyatnya.
Dampaknya sangat terasa. Pyongyang memiliki stabilitas politik yang kuat. Pada tahun ini, sekitar 15 pejabat senior dihukum mati karena menantang otoritas. Sejak Jong-un mengambil alih kekuasaan setelah ayahnya meninggal pada 2011, sekitar 70 pejabat dieksekusi.
Michael Madden, ahli kepemimpinan negara yang menjadi analis di 38 North , blog tentang Korea Utara berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS), mengatakan bahwa jajaran tinggi dan menengah Korut sepertinya tidak menghormati Jongun. ”Politik internal Korut sedang menguap.
Meski demikian, saat ini, tidak ada tanda-tanda stabilitas rezim atau kepemimpinan Jong-un dalam bahaya. Namun jika eksekusi seperti ini terus berlanjut sampai tahun depan, kami akan merevisi skenario yang mungkin terjadi di Korut,” ujar Madden. Jong-un merupakan generasi ketiga dari keluarga Kim yang memiliki kekuasaan mutlak sejak Korut berdiri pada 1948.
Anggota keluarga yang mewarisi ”darah biru” pun tak lepas dari keganasan kepemimpinan Jong-un. Pada 2013, Jong-un mengeksekusi pamannya, Jang Song-thaek, yang dituduh merusak ekonomi negara dengan cara ditembak. Berikutnya, Kim Kyong-hui, bibi Jong-un sekaligus istri Thaek, juga diduga dibunuh dengan racun karena mengeluh mengenai kematian suaminya.
Pejabat senior Korut yang menentang Jong-un menuduh Jong-un bertanggung jawab dalam kasus itu, termasuk kematian pacar Jong-un yang dieksekusi karena bermain film porno. Menurut Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia (FIDH), ribuan eksekusi terjadi di Korut sejak 1950. Eksekusi terbesar terjadi pada 1990 dan 2000.
”Sebagian besar pelaku yang dieksekusi melakukan kejahatan yang ambigu. Tidak jelas kejahatan apa saja yang bisa dihadapkan pada hukuman mati,” kata Michelle Kissenkoetter, direktur FIDH Asia. Kissenkoetter menambahkan, sistem pengadilan di Korut tidak transparan. Tersangka tidak diberi kesempatan untuk menjalani sidang yang adil.
Senada dengan Kissenkoetter, Sokeel Park, yang sering berinteraksi dengan warga Korut yang melarikan diri, mengatakan bahwa penyelewengan praktik hukum sering terjadi. ”Sepertinya hukum yang diterapkan di Korut lebih korup dibanding negara mana pun di dunia,” ujar Park.
Padahal, pada 2007, pengadilan di Korut menyatakan baru akan menjatuhkan hukuman mati jika kejahatan yang dilakukan sangat serius. Menurut Kissenkoetter, hidup di Korut akan aman jika kita tunduk, patuh, dan tidak pernah mengeluh. ”Bagaimanapun, di Korut, tuduhan sederhana dari anggota keluarga atau orang yang Anda kenal saja bisa membuat Anda didakwa dengan sebuah kejahatan dan bisa divonis hukuman mati.
FIDH melawan semua bentuk hukuman mati dalam situasi apa pun. Kami meminta Korut agar mengakhiri hukuman mati,” tandas Kissenkoetter. Dalam banyak kasus eksekusi mati, pelaku awalnya akan diseret ke meja hijau untuk kejahatan yang dianggap standar, meski sebagian pengkritik menilai jalannya sidang hanya formalitas. Hak pelaku yang bisa membela diri dari sudut pandang dirinya sendiri terkadang juga dilanggar negara.
Muh shamil
Kasus terbaru yang menghebohkan dunia yaitu eksekusi mati yang dilakukan terhadap Menteri Pertahanan Hyong Yong-chol, 66, pada 30 April lalu. Eksekusi mati yang dilakukan tergolong sadis karena diduga menggunakan senjata jenis Anti- Aircraft Gun (AAG) ZPU-4.
Tidak diketahui pasti penyebab Hyong dieksekusi mati karena informasi dari Korut sulit diakses. Tapi berdasarkan laporan media Korea Selatan (Korsel), Yonhap, dia dieksekusi karena tertidur selama mengikuti pertemuan militer dan sering mengeluh kepada Jong-un. Ironisnya, eksekusi dilakukan di Akademi Militer Kang Kong, Pyongyang dan disaksikan ribuan orang, terutama para tentara Korut.
Metode eksekusi terhadap Hyong berbeda dengan kebanyakan eksekusi yang dilakukan sebelumnya. Selain ditembak dengan menggunakan AAG ZPU-4, jarak yang diambil hanya sekitar 30 meter (100 kaki). Beberapa kalangan menduga jasad Hyong tidak bisa dikenali. Hong Hyung-ik, ketua riset Korsel di Institut Sejong, mengatakan bahwa metode eksekusi yang dilakukan Korut tidak manusiawi.
Dengan tembakan senjata AAG ZPU-4, tubuh Hyong dipastikan hancur. ”Selepas ditembak dengan AAG, sulit untuk menemukan jasad orang yang menjadi sasaran. Ini benar- benar mengerikan. Senjata itu pasti merobek semua dagingnya,” ujar Hyung-ik, dikutip Dailymail . Para kritikus internasional menyebutkan metode eksekusi brutal ini digunakan sang penguasa untuk menekan rakyatnya.
Dampaknya sangat terasa. Pyongyang memiliki stabilitas politik yang kuat. Pada tahun ini, sekitar 15 pejabat senior dihukum mati karena menantang otoritas. Sejak Jong-un mengambil alih kekuasaan setelah ayahnya meninggal pada 2011, sekitar 70 pejabat dieksekusi.
Michael Madden, ahli kepemimpinan negara yang menjadi analis di 38 North , blog tentang Korea Utara berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS), mengatakan bahwa jajaran tinggi dan menengah Korut sepertinya tidak menghormati Jongun. ”Politik internal Korut sedang menguap.
Meski demikian, saat ini, tidak ada tanda-tanda stabilitas rezim atau kepemimpinan Jong-un dalam bahaya. Namun jika eksekusi seperti ini terus berlanjut sampai tahun depan, kami akan merevisi skenario yang mungkin terjadi di Korut,” ujar Madden. Jong-un merupakan generasi ketiga dari keluarga Kim yang memiliki kekuasaan mutlak sejak Korut berdiri pada 1948.
Anggota keluarga yang mewarisi ”darah biru” pun tak lepas dari keganasan kepemimpinan Jong-un. Pada 2013, Jong-un mengeksekusi pamannya, Jang Song-thaek, yang dituduh merusak ekonomi negara dengan cara ditembak. Berikutnya, Kim Kyong-hui, bibi Jong-un sekaligus istri Thaek, juga diduga dibunuh dengan racun karena mengeluh mengenai kematian suaminya.
Pejabat senior Korut yang menentang Jong-un menuduh Jong-un bertanggung jawab dalam kasus itu, termasuk kematian pacar Jong-un yang dieksekusi karena bermain film porno. Menurut Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia (FIDH), ribuan eksekusi terjadi di Korut sejak 1950. Eksekusi terbesar terjadi pada 1990 dan 2000.
”Sebagian besar pelaku yang dieksekusi melakukan kejahatan yang ambigu. Tidak jelas kejahatan apa saja yang bisa dihadapkan pada hukuman mati,” kata Michelle Kissenkoetter, direktur FIDH Asia. Kissenkoetter menambahkan, sistem pengadilan di Korut tidak transparan. Tersangka tidak diberi kesempatan untuk menjalani sidang yang adil.
Senada dengan Kissenkoetter, Sokeel Park, yang sering berinteraksi dengan warga Korut yang melarikan diri, mengatakan bahwa penyelewengan praktik hukum sering terjadi. ”Sepertinya hukum yang diterapkan di Korut lebih korup dibanding negara mana pun di dunia,” ujar Park.
Padahal, pada 2007, pengadilan di Korut menyatakan baru akan menjatuhkan hukuman mati jika kejahatan yang dilakukan sangat serius. Menurut Kissenkoetter, hidup di Korut akan aman jika kita tunduk, patuh, dan tidak pernah mengeluh. ”Bagaimanapun, di Korut, tuduhan sederhana dari anggota keluarga atau orang yang Anda kenal saja bisa membuat Anda didakwa dengan sebuah kejahatan dan bisa divonis hukuman mati.
FIDH melawan semua bentuk hukuman mati dalam situasi apa pun. Kami meminta Korut agar mengakhiri hukuman mati,” tandas Kissenkoetter. Dalam banyak kasus eksekusi mati, pelaku awalnya akan diseret ke meja hijau untuk kejahatan yang dianggap standar, meski sebagian pengkritik menilai jalannya sidang hanya formalitas. Hak pelaku yang bisa membela diri dari sudut pandang dirinya sendiri terkadang juga dilanggar negara.
Muh shamil
(bhr)