Polri Tak Akan Terbitkan SP3 Kasus BW
A
A
A
JAKARTA - Mabes Polri menegaskan tidak akan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam kasus yang menjerat Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Bambang Widjojanto (BW).
Itu diungkapkan Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Agus Rianto merespons permintaan kuasa hukum BW yang menginginkan agar Polri menerbitkan SP3 kliennya. Menurut Agus, tidak ada alasan bagi penyidik untuk menerbitkan SP3 bagi BW.
Tidak ada kaitannya antara kode etik Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) dan pencabutan gugatan praperadilan dengan penerbitan SP3. Dalam pemberian SP3, sudah ada mekanisme hukum tersendiri dengan berpegang pada landasan hukum yang ada yaitu peraturan perundang- undangan. ”Sampai saat ini tidak ada alasan bagi penyidik untuk mengeluarkan SP3 terkait kasus tersebut,” kata Agus, saat dihubungi KORAN SINDO , kemarin.
Sebelumnya BW melalui kuasa hukumnya, Ainul Yaqin, kemarin mencabut gugatan praperadilan yang didaftarkannya di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Ainul Yaqin mengatakan, pencabutan itu karena ada putusan Komisi Pengawas Peradi yang menyatakan bahwa kliennya tidak terbukti melanggar kode etik ketika mengawal kasus sengketa calon bupati Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010.
”Alasan pencabutan karena BW sudah mendapatkan keputusan dari Komisi Pengawas Peradi yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran kode etik terhadap BW,” ungkap Ainul seusai menyerahkan surat pencabutan gugatan praperadilan di PN Jakarta Selatan kemarin.
Surat dari Komisi Pengawas Peradi, menurut Ainul, telah didapatkan BW pada Jumat (15/5). Dari keterangan yang disampaikan tersebut dapat disimpulkan bahwa BW tidak melakukan pelanggaran hukum ketika menjabat sebagai advokat. ”Ketika tidak ada pelanggaran kode etik, tidak ada pula pelanggaran hukum,” ujarnya.
Atas pencabutan gugatan praperadilan ini, tim kuasa hukum BW kemudian memberikan waktu bagi kepolisian untuk segera mengeluarkan SP3 kepada BW. ”Kita percaya pihak kepolisian masih mempunyai itikad baik atas kasus ini,” kata Ainul. Apabila keinginan ini tidak dilaksanakan oleh kepolisian, tim kuasa hukum akan kembali mengajukan gugatan praperadilan. ”Dalam waktu satu minggu tidak mengeluarkan SP3, gugatan akan kita daftarkan lagi,” tandasnya.
Seperti diketahui, BW mengajukan gugatan praperadilan di PN Jakarta Selatan pada 7 Mei 2015. Mantan aktivis antikorupsi tersebut dijadikan tersangka oleh kepolisian atas tuduhan mengarahkan saksi pada sidang sengketa gugatan sengketa Pilkada Kabupaten Kotawaringin Barat 2010. Ketika itu ketua MK masih dipegang oleh Akil Mochtar.
Pengamat hukum tata negara Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis menilai, pencabutan gugatan praperadilan merupakan hak BW. Namun, menurut dia, antara kode etik profesi yang ditangani organisasi profesi dalam hal ini Peradi dan hukum pidana yang ditangani lembaga penegak hukum merupakan dua ranah yang berbeda.
Temuan Peradi terkait tidak ada pelanggaran kode etik dalam kasus BW, ujarnya, tidak serta-merta bisa menghapus unsur pidana atau menggagalkan proses hukum yang sedang berjalan. ”Kode etik itu tidak bisa diuji di pengadilan. Kode etik dan hukum pidana itu dua hal yang berbeda,” katanya.
Khoirul Muzakki/ Dian ramdhani
Itu diungkapkan Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Agus Rianto merespons permintaan kuasa hukum BW yang menginginkan agar Polri menerbitkan SP3 kliennya. Menurut Agus, tidak ada alasan bagi penyidik untuk menerbitkan SP3 bagi BW.
Tidak ada kaitannya antara kode etik Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) dan pencabutan gugatan praperadilan dengan penerbitan SP3. Dalam pemberian SP3, sudah ada mekanisme hukum tersendiri dengan berpegang pada landasan hukum yang ada yaitu peraturan perundang- undangan. ”Sampai saat ini tidak ada alasan bagi penyidik untuk mengeluarkan SP3 terkait kasus tersebut,” kata Agus, saat dihubungi KORAN SINDO , kemarin.
Sebelumnya BW melalui kuasa hukumnya, Ainul Yaqin, kemarin mencabut gugatan praperadilan yang didaftarkannya di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Ainul Yaqin mengatakan, pencabutan itu karena ada putusan Komisi Pengawas Peradi yang menyatakan bahwa kliennya tidak terbukti melanggar kode etik ketika mengawal kasus sengketa calon bupati Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010.
”Alasan pencabutan karena BW sudah mendapatkan keputusan dari Komisi Pengawas Peradi yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran kode etik terhadap BW,” ungkap Ainul seusai menyerahkan surat pencabutan gugatan praperadilan di PN Jakarta Selatan kemarin.
Surat dari Komisi Pengawas Peradi, menurut Ainul, telah didapatkan BW pada Jumat (15/5). Dari keterangan yang disampaikan tersebut dapat disimpulkan bahwa BW tidak melakukan pelanggaran hukum ketika menjabat sebagai advokat. ”Ketika tidak ada pelanggaran kode etik, tidak ada pula pelanggaran hukum,” ujarnya.
Atas pencabutan gugatan praperadilan ini, tim kuasa hukum BW kemudian memberikan waktu bagi kepolisian untuk segera mengeluarkan SP3 kepada BW. ”Kita percaya pihak kepolisian masih mempunyai itikad baik atas kasus ini,” kata Ainul. Apabila keinginan ini tidak dilaksanakan oleh kepolisian, tim kuasa hukum akan kembali mengajukan gugatan praperadilan. ”Dalam waktu satu minggu tidak mengeluarkan SP3, gugatan akan kita daftarkan lagi,” tandasnya.
Seperti diketahui, BW mengajukan gugatan praperadilan di PN Jakarta Selatan pada 7 Mei 2015. Mantan aktivis antikorupsi tersebut dijadikan tersangka oleh kepolisian atas tuduhan mengarahkan saksi pada sidang sengketa gugatan sengketa Pilkada Kabupaten Kotawaringin Barat 2010. Ketika itu ketua MK masih dipegang oleh Akil Mochtar.
Pengamat hukum tata negara Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis menilai, pencabutan gugatan praperadilan merupakan hak BW. Namun, menurut dia, antara kode etik profesi yang ditangani organisasi profesi dalam hal ini Peradi dan hukum pidana yang ditangani lembaga penegak hukum merupakan dua ranah yang berbeda.
Temuan Peradi terkait tidak ada pelanggaran kode etik dalam kasus BW, ujarnya, tidak serta-merta bisa menghapus unsur pidana atau menggagalkan proses hukum yang sedang berjalan. ”Kode etik itu tidak bisa diuji di pengadilan. Kode etik dan hukum pidana itu dua hal yang berbeda,” katanya.
Khoirul Muzakki/ Dian ramdhani
(ftr)