MKH Kembali Pecat Hakim Selingkuh
A
A
A
JAKARTA - Majelis Kehormatan Hakim (MKH) kembali memecat seorang hakim, Tri Hastono, atas skandal perselingkuhannya selama menjabat ketua Pengadilan Negeri (PN) Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sanksi berat ini dijatuhkan MKH terhadap Tri karena terbukti melanggar kode etik dalam menjaga martabatnya sebagai hakim dan institusi kehakiman serta menjauhi perbuatan tercela. ”Menyatakan terlapor terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Menjatuhkan sanksi berat berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun,” ucap Ketua MKH Eman Suparman saat membacakan putusan di Ruang Wirjono Prodjodikoro, Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, kemarin.
MKH juga memerintahkan ketua MA untuk mengeluarkan surat pemberhentian sementara Tri Hastono dari jabatannya sebagai hakim hingga keluar surat keputusan presiden. Keputusan tersebut sama persis dengan keputusan MKH memecat mantan hakim PN Sibolga, Herman Fadhillah A Daulay, sehari sebelumnya, Selasa (19/5).
Bedanya, selain kasus perselingkuhan, Herman juga terlibat penggunaan narkoba. Skandal perselingkuhan Tri terjadi saat dia bertugas sebagai ketua PN Rote Ndao. Tri yang saat ini bertugas di PN Mataram, NTB, itu berselingkuh dengan perempuan berinisial H yang diketahui telah memiliki suami bernama Suyanto.
Hubungan gelap tersebut terkuak pada Agustus 2013 saat Suyanto memergoki istrinya, H, tengah bermesraan dengan Tri di rumah dinas hakim terlapor. Perbuatan tidak bermoral itu pun tidak hanya di rumah dinas Tri, tetapi beberapa kali juga dilakukan di salah satu hotel di Kupang, NTT.
Suyanto pun memergoki ada short messages service (SMS) mesra dengan sebutan ”Mama-Papa” di telepon seluler sang istri. Dalam sidang MKH juga terkuak bahwa Tri seringkali memberikansejumlah hadiah kepada H seperti mesin cuci dan kipas angin. Tri tidak bisa lagi menyangkal keterangan-keterangan yang dikemukakan para saksi, termasuk sejumlah bukti yang dibeberkan MKH dalam sidang kemarin.
Dia hanya bisa menyesali dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Dia juga menyatakan permohonan maaf atas perbuatan tidak pantas yang dia lakukan selama menjabat ketua PN Rote Ndao.
Terakhir, dia meminta MKH agar memberikan keringanan sanksi atas perbuatannya tersebut. Dia masih memiliki tanggung jawab sebagai ayah dari satu orang putrinya yang masih duduk di bangku sekolah menengah. Apalagi, selama 20 tahun menjadi hakim, dia mengaku tidak pernah melalaikan tugas.
Skandal perselingkuhan yang dilakukannya semata- mata karena khilaf. MKH menerima sebagian pembelaan Tri. Namun, lembaga itu tetap memandang sang hakim telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH) dengan melakukan perbuatan perselingkuhan.
Apalagi, yang memberatkan bagi MKH, Tri melakukan pelanggaran itu secara berulang-ulang baik di rumah dinas ketua pengadilan negeri maupun di hotel. ”Sementara hal yang meringankan, terlapor mengakui kesalahan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Dia juga bertaubat, belum pernah dijatuhi sanksi, dan memiliki tanggungan keluarga,” kata Eman.
Tidak seperti biasanya, putusan MKH kali ini diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda) dari anggota MKH Gayus Lumbuun. Gayus menyatakan kesalahan yang dilakukan Tri disebabkan faktor lain yakni sistem penempatan hakim yang berjauhan dengan keluarga. Kesalahan terlapor tidak sepatutnya dibebankan seluruhnya kepada terlapor. ”Kesalahan tidak mutlak pada terlapor. Sistem penempatan hakim seharusnya turut memperhatikan keluarga yang bersangkutan,” ungkap Gayus.
Untuk itu, Gayus menilai sistem penempatan hakim harus diperbaiki. Berkaca dari kasus Tri, dia mengungkapkan potensi perselingkuhan itu sangat terbuka lebar di mana keluarga Tri tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah.
Gayus mengungkapkan, dalam dua tahun terakhir sudah ada 11 kasus hakim selingkuh karena berjauhan dari keluarga. Alhasil, penempatan hakim harus disesuaikan dan tidak jauh dengan domisili hakim.
Nurul adriyana
Sanksi berat ini dijatuhkan MKH terhadap Tri karena terbukti melanggar kode etik dalam menjaga martabatnya sebagai hakim dan institusi kehakiman serta menjauhi perbuatan tercela. ”Menyatakan terlapor terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Menjatuhkan sanksi berat berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun,” ucap Ketua MKH Eman Suparman saat membacakan putusan di Ruang Wirjono Prodjodikoro, Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, kemarin.
MKH juga memerintahkan ketua MA untuk mengeluarkan surat pemberhentian sementara Tri Hastono dari jabatannya sebagai hakim hingga keluar surat keputusan presiden. Keputusan tersebut sama persis dengan keputusan MKH memecat mantan hakim PN Sibolga, Herman Fadhillah A Daulay, sehari sebelumnya, Selasa (19/5).
Bedanya, selain kasus perselingkuhan, Herman juga terlibat penggunaan narkoba. Skandal perselingkuhan Tri terjadi saat dia bertugas sebagai ketua PN Rote Ndao. Tri yang saat ini bertugas di PN Mataram, NTB, itu berselingkuh dengan perempuan berinisial H yang diketahui telah memiliki suami bernama Suyanto.
Hubungan gelap tersebut terkuak pada Agustus 2013 saat Suyanto memergoki istrinya, H, tengah bermesraan dengan Tri di rumah dinas hakim terlapor. Perbuatan tidak bermoral itu pun tidak hanya di rumah dinas Tri, tetapi beberapa kali juga dilakukan di salah satu hotel di Kupang, NTT.
Suyanto pun memergoki ada short messages service (SMS) mesra dengan sebutan ”Mama-Papa” di telepon seluler sang istri. Dalam sidang MKH juga terkuak bahwa Tri seringkali memberikansejumlah hadiah kepada H seperti mesin cuci dan kipas angin. Tri tidak bisa lagi menyangkal keterangan-keterangan yang dikemukakan para saksi, termasuk sejumlah bukti yang dibeberkan MKH dalam sidang kemarin.
Dia hanya bisa menyesali dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Dia juga menyatakan permohonan maaf atas perbuatan tidak pantas yang dia lakukan selama menjabat ketua PN Rote Ndao.
Terakhir, dia meminta MKH agar memberikan keringanan sanksi atas perbuatannya tersebut. Dia masih memiliki tanggung jawab sebagai ayah dari satu orang putrinya yang masih duduk di bangku sekolah menengah. Apalagi, selama 20 tahun menjadi hakim, dia mengaku tidak pernah melalaikan tugas.
Skandal perselingkuhan yang dilakukannya semata- mata karena khilaf. MKH menerima sebagian pembelaan Tri. Namun, lembaga itu tetap memandang sang hakim telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH) dengan melakukan perbuatan perselingkuhan.
Apalagi, yang memberatkan bagi MKH, Tri melakukan pelanggaran itu secara berulang-ulang baik di rumah dinas ketua pengadilan negeri maupun di hotel. ”Sementara hal yang meringankan, terlapor mengakui kesalahan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Dia juga bertaubat, belum pernah dijatuhi sanksi, dan memiliki tanggungan keluarga,” kata Eman.
Tidak seperti biasanya, putusan MKH kali ini diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda) dari anggota MKH Gayus Lumbuun. Gayus menyatakan kesalahan yang dilakukan Tri disebabkan faktor lain yakni sistem penempatan hakim yang berjauhan dengan keluarga. Kesalahan terlapor tidak sepatutnya dibebankan seluruhnya kepada terlapor. ”Kesalahan tidak mutlak pada terlapor. Sistem penempatan hakim seharusnya turut memperhatikan keluarga yang bersangkutan,” ungkap Gayus.
Untuk itu, Gayus menilai sistem penempatan hakim harus diperbaiki. Berkaca dari kasus Tri, dia mengungkapkan potensi perselingkuhan itu sangat terbuka lebar di mana keluarga Tri tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah.
Gayus mengungkapkan, dalam dua tahun terakhir sudah ada 11 kasus hakim selingkuh karena berjauhan dari keluarga. Alhasil, penempatan hakim harus disesuaikan dan tidak jauh dengan domisili hakim.
Nurul adriyana
(ftr)