PDIP Tetap Tolak Usulan Revisi UU Pilkada
A
A
A
JAKARTA - Pandangan Komisi II DPR soal urgensi usulan revisi Undang-undang (UU) Pilkada terbelah. Sejumlah fraksi partai politik pendukung pemerintah secara bulat menolak usulan revisi tersebut. Salah satunya adalah Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Politikus PDIP Arif Wibowo mengatakan, tidak ada urgensi yang bersifat nasional dalam usulan revisi UU Pilkada. Sehingga, Fraksi PDIP memutuskan menolak wacana tersebut.
"Silakan anggota fraksi usulkan perubahan UU. PDIP sampai sekarang satupun anggotanya belum ada yang tanda tangan. Kita masih dalam pendirian, tidak ada urgensi," ujar Arif di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (21/5/2015).
Lebih lanjut, Arif menegaskan, pandangan PDIP ini juga didasarkan atas pandangan pemerintah yang juga secara terang menolak usulan merevisi UU Pilkada. Selain itu, lanjut Arif, faktor waktu pelaksanaan pilkada yang sudah mepet juga menjadi pertimbangan.
"PDIP tetap dalam posisi tidak setuju. Selain karena faktor waktu, lalu pandangan pemerintah juga jadi dasar. Dari aspek legislasi, (usulan revisi UU) harus lewat Baleg. Tetap harus ada persetujuan DPR dan pemerintah," jelas Arif.
Politikus PDIP Arif Wibowo mengatakan, tidak ada urgensi yang bersifat nasional dalam usulan revisi UU Pilkada. Sehingga, Fraksi PDIP memutuskan menolak wacana tersebut.
"Silakan anggota fraksi usulkan perubahan UU. PDIP sampai sekarang satupun anggotanya belum ada yang tanda tangan. Kita masih dalam pendirian, tidak ada urgensi," ujar Arif di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (21/5/2015).
Lebih lanjut, Arif menegaskan, pandangan PDIP ini juga didasarkan atas pandangan pemerintah yang juga secara terang menolak usulan merevisi UU Pilkada. Selain itu, lanjut Arif, faktor waktu pelaksanaan pilkada yang sudah mepet juga menjadi pertimbangan.
"PDIP tetap dalam posisi tidak setuju. Selain karena faktor waktu, lalu pandangan pemerintah juga jadi dasar. Dari aspek legislasi, (usulan revisi UU) harus lewat Baleg. Tetap harus ada persetujuan DPR dan pemerintah," jelas Arif.
(kri)