Anak Rentan Korban Masalah Orang Tua

Senin, 18 Mei 2015 - 11:08 WIB
Anak Rentan Korban Masalah...
Anak Rentan Korban Masalah Orang Tua
A A A
DEPOK - Anak-anak rentan menjadi korban persoalan sosial yang menimpa orang tua. Dua kasus terbaru kekerasan terhadap anak-anak, yaitu di Cibubur, Jawa Barat, dan Samarinda, Kalimantan Timur, adalah contoh bagaimana orang tua tidak mampu mengatasi persoalan sosial saat ini.

Pengamat sosial budaya dari Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat Devie Rahmawati mengatakan tata kehidupan sosial saat ini telah berubah. Kehidupan sosial yang lebih individualistis serta hanya berdasarkan materi membuat cara mendidik anak pun ikut berubah. ”Kondisi saat ini di mana kita belum tentu saling kenal dengan tetangga, sehingga tidak ada tempat untuk meminta tolong,” kata Devie kepada KORAN SINDO kemarin.

Standar kehidupan yang mendasarkan diri pada materi semisal harus memiliki kendaraan merek tertentu, tinggal di perumahan tertentu, bergontaganti gadget atau menyekolahkan anaknya di sekolah elite bisa menjadi jebakan sosial. Saat ini manusia pun lebih terfokus mengejar materi dan mengabaikan kehidupan sosial.

Di saat orang tua merasa down atau lelah karena tidak bisa mencapai hal-hal demikian, akan muncul persoalan sosial. ”Dan tidak ada tempat untuk bersandar, maka anak-anak mereka yang menjadi korban. Karena posisi anakanak lebih rentan dalam kondisi seperti ini,” urainya.

Ketika orang tua selalu dikejar untuk mengumpulkan materi, anak dibiarkan hidup dengan cara sendiri. Anak-anak lebih diandalkan dididik oleh asisten rumah tangga. Padahal, yang dibutuhkan anak adalah kasih sayang orang tua, bukan materi atau orang lain. ”Manusia saat ini sudah terjebak dalam standar gaya hidupnya sendiri,” ungkap dosen Program Vokasi UI itu.

Selain tata kehidupan sosial yang salah, ketidaksiapan mental orang tua juga menjadi pemicu mengapa seringnya terjadi kasus penelantaran dan penyiksaan anak-anak. Ketidaksiapan itu disebabkan kehidupan masyarakat yang hanya mengutamakan materi dan menandai keberhasilan dengan materi. ”Padahal hakikinya tidak perlu semua itu untuk mendidik anak. Harusnya back to nature menjadi orang tua itu apa sih?” kata psikolog dari UI Dewi Haroen.

Dengan kondisi kehidupan sosial saat ini yang tanpa sandaran sosial, orang tua menjadi depresi. Ketika kondisi itu menerpa, tentunya sangat tidak menguntungkan posisi anak yang lebih lemah. ”Mental orang tua yang tidak siap menyebabkan banyak terjadi kasus seperti ini. Orang tua mungkin depresi dengan kondisi yang hedon,” katanya.

Dia menyarankan, seharusnya ada kursus singkat bagi para orang tua atau calon orang tua agar mereka tahu bagaimana menjadi orang tua yang baik dan bagaimana mendidik anak. Dengan demikian mereka tidak lantas mengorbankan anak ketika dalam kondisi down akibat kehidupan sosial atau kondisi ekonomi.

Pada Kamis(14/5), polisi mengungkap kasus penelantaran lima anak oleh kedua orang tuanya, yaitu Utomo Permono, 45, dan Nurindria Sari, 42. Utomo dan Nurindria yang tinggal di Perumahan Citra Grand Cibubur, Jatikarya, Jatisampurna, Kota Bekasi, Jawa Barat menelantarkan lima anaknya, yaitu LA, 10, CK, 10, DI, 8, AL, dan DIN, 4.

Kondisi kejiwaan dan fisik kelima anak tersebut cukup memprihatinkan. Polisi bahkan menemukan narkoba jenis sabu-sabu di rumah Utomo. Kemarin, penyidik Reserse Narkoba Polda Metro Jaya mendapat pengakuan dari Utomo dan Nurindria bahwa mereka sudah enam bulan mengonsumsi narkoba.

Direktur Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Eko Daniyanto mengatakan, kepada penyidik, keduanya mengaku mengonsumsi narkotika tersebut bersama-sama saat berada di rumahnya. Bahkan keduanya mengonsumsi narkotika saat anak-anak ada di rumahnya. ”Tetapi dari pengakuannya, anaknya tidak sampai dicekoki,” ujar Eko kemarin.

Meski sudah mendapat pengakuan, polisi akan mengecek urine keduanya untuk memastikan narkotika jenis apa yang dikonsumsi pasangan suami istri ini. Selain itu, polisi mendalami kemungkinan pasutri tersebut mengikuti aliran sesat.

Adapun di Samarinda, Kalimantan Timur, seorang warga bernama Sadriansyah, 42, tega membunuh empat anak kandung sendiri saat masih bayi. Bahkan, dia juga tega memerkosa anak perempuannya yang berusia 15 tahun sejak 2014 lalu. Terungkapnya kasus ini berkat laporan seorang anak pelaku yang tak tahan terus diperkosa.

Kapolsekta Sungai Kunjang, Samarinda, Kalimantan Timur Kompol Siswantoro mengatakan pelaku mengaku membunuh anak tahun 1997 saat masih berusia satu bulan. Setahun kemudian, pelaku kembali membunuh anaknya yang berusia dua bulan. Perbuatan ini kembali diulanginya pada 2001 terhadap bayinya yang berusia tiga bulan. Kemudian pada 2008, anaknya yang berusia empat bulan juga dibunuh.

”Jadi, empat dari enam anak pelaku dibunuh. Satu anak perempuannya yang berusia 15 tahun diperkosa,” kata Iswantoro. Anak terakhirnya yang masih balita kini bisa bertahan hidup. Namun anak ini mengalami gangguan mental akibat terus menerus disiksa.

Dianggap Aset

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto juga mengatakan anakanak sering kali dijadikan objek pelampiasan ekspresi orang terdekat. Misalnya karena masalah pribadi, utang piutang atau permasalahan kerja. ”Anak yang kemudian dijadikan objek melampiaskan kekesalan,” kata Susanto kemarin.

Dia menjelaskan penyebab anak-anak diperlakukan tidak baik oleh orang terdekatnya di antaranya persepsi yang salah terhadap anak yaitu anak dianggap aset. ”Orang tua dapat melakukan semaunya. Padahal cara berpikir itu tidak dibenarkan karena ada asas kepatutan dan prinsip-prinsip yang dijadikan koridor. Misalnya UU Perlindungan Anak seperti aspek tumbuh kembang, sosial, kebutuhannya, kesehatannya, dan lainnya,” ungkap dia.

Kemudian ada faktor pola asuh yang salah. Banyak orang tua yang masih menggunakan pengasuhan tradisional dan warisan. Padahal tidak semua pola warisan tersebut dapat diberlakukan kepada anak. ”Dulu saya diperlakukan orang tua seperti itu, maka dilanjutkan. Padahal belum tentu semua baik. Dalam beberapa kasus pola warisan ini berbentuk kekerasan seperti tidak menurut lalu dijewer atau bahkan lebih dari itu,” ujar dia.

Tidak berjalannya fungsi keluarga secara baik juga menjadi penyebab perlakuan tidak baik terhadap anak. Bahkan disfungsi keluarga ini tidak berbanding lurus dengan tingkat ekonomi dan tingkat pendidikan. ”Berpendidikan tapi broken home berpotensi mengabaikan pemenuhan hak anak. Bahkan terjadi penelantaran dan kekerasan bahkan pembunuhan,” katanya.

Ketua Komisi VIII DPR Saleh Daulay mengatakan banyak faktor yang menyebabkan anakanak Indonesia diperlakukan tidak layak bahkan oleh orang tua sendiri. Jika berkaca pada kasus penelantaran anak di Cibubur, Saleh menilai hal tersebut lebih disebabkan ketidaksiapan dari pasangan suami istri menjadi orang tua yang baik. ”Ketika mereka berhadapan dengan masalah anak-anak tidak siap. Apalagi dengan rutinitas mereka yang sibuk, maka akan sangat mengganggu. Mereka mencari jalan pintas. Ini lebih persoalan kesiapan,” kata dia.

Saleh mengatakan mengurus anak tidaklah mudah. Menurut dia, jangan sampai seseorang yang dianugerahi anak malah menyia-nyiakannya. ”Ini tidak mudah mengurus anak. Kehidupan sehari-hari sampai sekolah. Perlu kearifan orang meskipun kalau kita lihat yang di Cibubur itu dari sisi ekonomi cukup lumayan,” katanya.

Di sisi lain faktor ekonomi juga menjadi penyebab anakanak diperlakukan tidak layak. Hal ini sangat mudah ditemui di kehidupan sehari-hari seperti banyak anak mengamen, mengemis, dan menghabiskan waktunya di jalan. ”Tapi kita tidak menutup mata kasus lain yang belum terungkap. Harusnya mereka belajar dan bermain dan saya kira harus jadi perhatian kita semua. Pemerintah perlu menelusuri hal ini. Jangan-jangan anak-anak ini dieksploitasi,” paparnya.

Rehabilitasi Orang Tua

Adapun Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi (Kak Seto) mengatakan, untuk menyembuhkan trauma anak yang mendapat penelantaran orang tua di Cibubur, sebaiknya berbagai pihak harus turut membantu. Salah satunya dengan tidak banyak mengajukan pertanyaan kepada sang anak mengenai peristiwa tersebut.

Pertanyaan yang diajukan akan membuat anak semakin mengingat peristiwa berat yang dialaminya. Berbagai pihak hendaknya menunjukkan sikap kondusif dan membiarkan anak dengan tenang menjalani terapi pemulihan. ”Jangan membuat anak semakin terpojok dan stres, ini guna menyembuhkan trauma anak,” kata Kak Seto kemarin.

Tak hanya itu, mengenai pengasuhan di masa mendatang, menurut Kak Seto sebaiknya anak dilibatkan dalam mengambil keputusan. Jika memang menginginkan diasuh oleh orang tua, anak harus diserahkan kembali kepada orang tua. Hal ini guna menghormati keputusan anak dan membuat anak merasa dihargai. ”Hak partisipasi dan didengar juga penting bagi anak. Jika anak ingin sama orang tua tolong didengar,” katanya.

Berkaitan dengan kesalahan orang tua, sebaiknya pola pengasuhan terus bisa diawasi. Jangan sampai hal tersebut terulang. Setelah orang tua mendapatkan rehabilitasi dan pengarahan, tetap ada pengawasan oleh pemerintah dan masyarakat.

Senada dengan Kak Seto, anggota Komisi VIII DPR Khatibul Umam Wiranu mengatakan, pemerintah perlu membangun pusat rehabilitasi mental dan jiwa terhadap orang tua, pasangan suami-istri, atau para bapak, para ibu yang menelantarkan anaknya. ”Karena ini fenomena yang jamak terjadi di masyarakat,” ujar Khatibul kemarin.

Dia juga mengatakan Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak dibantu KPAI harus melakukan pertolongan pertama terhadap anak-anak telantar atas biaya hidup mereka sehari-hari. Karena anak telantar di Indonesia jumlahnya sangat banyak.

R ratna purnama/ Helmi syarif/ Dita angga/okezone
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8060 seconds (0.1#10.140)