BNN Incar Harta Bandar Narkoba
A
A
A
JAKARTA - Badan Narkotika Nasional (BNN) mengintensifkan implementasi Undang- Undang (UU) No 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk menjerat para pelaku kejahatan narkoba.
Dengan demikian penyidik BNN nantinya akan menyita lebih banyak harta kekayaan para bandar dan pengedar hasil bisnis narkoba. Kepala BNN Komjen Pol Anang Iskandar mengungkapkan, penyidik BNN sebenarnya telah menerapkan TPPU sejak beberapa tahun belakangan.
Namun, meskipun sudah mampu mengamankan sejumlah aset yang berasal dari para pelaku narkoba jaringan nasional maupun internasional, dia melihat hasilnya belum signifikan. ”Selama ini sudah, tapi belum banyak. Ini yang membuat para pengedar narkoba banyak yang masih mengendalikan bisnisnya dari dalam penjara,” ujar Anang saat menjadi pembicara diskusi Polemik Sindo Trijaya Radio ”Indonesia Darurat Narkotika” di Warung Daun Cikini Jakarta kemarin.
Anang membeberkan, selama 2014 BNN mengungkap 15 kasus TPPU dengan nilai aset mencapai Rp100 miliar lebih. Adapun pada 2015, hingga Mei 2015 BNN telah menangkap 40-50 jaringan narkotika, beberapa di antaranya sudah terindikasi TPPU. ”Kita masih selidiki. Kan tidak ada jaringan internasional yang tidak bekerja sama dengan jaringan nasional,” urai Anang.
Mantan Kadiv Humas Mabes Polri itu lantas menggambarkan betapa besarnya harta yang dikuasai para pelaku kejahatan narkoba. Dia mencontohkan beberapa waktu lalu BNN mengamankan barang bukti sabu-sabu seberat 862 kg dengan nilai mencapai Rp1,7 triliun. Besarnya keuntungan yang bakal diperoleh itulah yang membuat masyarakat tergiur dan lupa bahwa bisnis ini dilarang UU.
”Angka itu sama dengan anggaran BNN selama 2 tahun,” kata Anang. Dia mengakui upaya petugas untuk mengusut harta kekayaan para pelaku narkotika yang terindikasi pencucian uang memang tidak mudah. Apalagi jika harta yang terindikasi TPPU biasanya telah bercampur dengan harta sebelumnya atau sudah dialihkan dalam bentuk barang atau usaha lain.
”Jadi menyelidiki aset itu memang tidak gampang. Kalau yang (sedang) digunakan mungkin mudah, tapi kalau aset itu kan ngejelimet ,” tuturnya. Kabag Wassidik Dit Resnarkoba Polda Metro Jaya AKBP Sri Hastuti mengatakan pihaknya juga menerapkan langkah serupa untuk menjerat para pelaku narkoba dengan menangkap dan menyita barang-barang hasil kejahatannya.
Beberapa yang berhasil disita meliputi rumah, kendaraan, dan harta bergerak lainnya. ”Misalnya mereka membeli rumah dari hasil kejahatan, kemudian kami sita,” ucapnya. Menurut Sri, hasil sitaan tersebut kemudian dijadikan barang bukti untuk disampaikan di pengadilan. Setelahnya akan diserahkan kepada pemerintah untuk dimasukkan ke kas negara.
Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu juga melihat TPPU hasil narkotika jauh lebih besar dibandingkan tindak kejahatan lain. Oleh karenanya profesionalitas para petugas BNN juga diuji agar tetap menjalankan tugas dengan baik tanpa tergoda oleh iming-iming pelaku narkotika. ”Peningkatan kinerja akan diimbangi penambahan anggaran,” jelasnya.
Masinton menganggap UU yang ada saat ini sudah cukup mengakomodasi para penegak hukum untuk mengungkap TPPU yang dilakukan para pelaku kejahatan. Menurut dia, yang perlu menjadi perhatian adalah sinergi dari lembagalembaga terkait untuk mengungkap kejahatan terorganisasi tersebut.
”DPR juga akan terus menyokong kerja-kerja pemberantasan narkotika, di samping BNN, kepolisian, TNI, dan imigrasi juga harus bersinergi,” katanya. Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Yenti Garnasih menilai upaya BNN mengungkap tindak pidana pencucian uang harus sejalan dengan upaya pemberantasan dan penangkapan para pelaku narkoba. Keduanya harus berjalan beriringan, sebab kejahatan narkoba akan selalu berdekatan dengan TPPU.
”Lahirnya TPPU awalnya dilakukan oleh para pelaku kejahatan narkotika. Jadi memang sudah seharusnya BNN melakukan penelusuran harta kekayaan para pelaku narkoba,” ujar Yenti. Menurut Yenti, para penjahat narkoba banyak menggunakan TPPU sebagai kamuflase atas usaha ilegalnya. Mereka menggunakan TPPU juga sebagai penyokong dana menghidupi kegiatan haramnya.
”Polanya akan selalu seperti itu, kamuflase agar masyarakat tidak mencurigai kegiatan narkotikanya. Padahal tetap mereka menggunakan TPPU untuk melancarkan usaha ilegalnya,” ungkapnya. Beberapa cara TPPU yang lazim dilakukan para pelaku narkotika menurut wanita yang mendapat gelar doktor perihal pencucian uang tersebut antara lain menggunakan aktivitas money changer, pola hawalah, pembiayaan asuransi serta pengiriman bank.
Di samping itu dana TPPU digunakan untuk membeli sejumlah aset seperti rumah, apartemen, kendaraan. ”Yang terbesar untuk mengembangkan bisnis,” paparnya. Yenti melihat, keberhasilan BNN mengungkap 15 kasus TPPU bernilai Rp100 miliar selama 2014 lalu belum seberapa. Menurut dia, sepatutnya BNN bisa lebih dari itu.
Selain kejahatan narkotika melibatkan aliran dana dalam jumlah besar, kasus yang ditangani BNN di tahun tersebut juga sepatutnya jauh lebih banyak diungkap daripada apa yang disampaikan. ”Untuk ukuran narkotika itu terlalu kecil, makanya harus disampaikan kepada masyarakat berapa yang berhasil dan yang masih dalam penyidikan,” ucap Yenti.
Yenti pun menyarankan agar BNN ke depan lebih menggunakan UU TPPU untuk menjerat para pelaku narkotika. Tanpa mengesampingkan UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika yang di dalamnya juga memuat pasal tentang pencucian uang, Yenti menganggap UU TPPU jauh lebih ampuh untuk mengungkap kejahatan luar biasa tersebut. ”Gunakan UU TPPU saja karena Pasal 137 a dan 137 b itu kurang untuk menjerat para pelaku. Ibaratnya kalau punya senjata yang lebih tajam kenapa tidak digunakan,” tandasnya.
Eksekusi Mati Tetap Harus Dilakukan
Mantan hakim Asep Iwan Iriawan meminta agar eksekusi mati terhadap terpidana mati kasus narkotika tetap dilakukan pemerintah. Sebagai sebuah kejahatan luar biasa, penanganan terhadap tindak pidana ini bersama dengan para pelakunya harus tegas dan tepat. ”Kalau dia bandar, pengedar hukumannya harus lebih berat daripada pemakai yang direhabilitasi,” ucap Asep.
Asep juga mendorong agar eksekusi terhadap wanita asal Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso, tetap dilaksanakan pada gelombang selanjutnya. Pria yang sempat menjabat sebagai hakim diPN Tangerang tersebut menilai tidak boleh ada perbedaan hukum dari negara terhadap terpidana yang satu dengan terpidana lainnya. ”Pokoknya langsung matiin saja sudahlah,” tegas Asep.
Begitu juga dengan satu terpidana mati lain yang sempat bebas dari proses eksekusi mati gelombang kedua, Sergei Atlaoui. Asep ingin agar pria berkebangsaan Prancis yang tertangkap karena mendirikan pabrik ekstasi di Serang, Banten, tersebut bisa segera dieksekusi pada pelaksanaan selanjutnya. ”Sama, untuk (Sergei) langsung eksekusi saja,” sebut Asep.
Dian ramdhani
Dengan demikian penyidik BNN nantinya akan menyita lebih banyak harta kekayaan para bandar dan pengedar hasil bisnis narkoba. Kepala BNN Komjen Pol Anang Iskandar mengungkapkan, penyidik BNN sebenarnya telah menerapkan TPPU sejak beberapa tahun belakangan.
Namun, meskipun sudah mampu mengamankan sejumlah aset yang berasal dari para pelaku narkoba jaringan nasional maupun internasional, dia melihat hasilnya belum signifikan. ”Selama ini sudah, tapi belum banyak. Ini yang membuat para pengedar narkoba banyak yang masih mengendalikan bisnisnya dari dalam penjara,” ujar Anang saat menjadi pembicara diskusi Polemik Sindo Trijaya Radio ”Indonesia Darurat Narkotika” di Warung Daun Cikini Jakarta kemarin.
Anang membeberkan, selama 2014 BNN mengungkap 15 kasus TPPU dengan nilai aset mencapai Rp100 miliar lebih. Adapun pada 2015, hingga Mei 2015 BNN telah menangkap 40-50 jaringan narkotika, beberapa di antaranya sudah terindikasi TPPU. ”Kita masih selidiki. Kan tidak ada jaringan internasional yang tidak bekerja sama dengan jaringan nasional,” urai Anang.
Mantan Kadiv Humas Mabes Polri itu lantas menggambarkan betapa besarnya harta yang dikuasai para pelaku kejahatan narkoba. Dia mencontohkan beberapa waktu lalu BNN mengamankan barang bukti sabu-sabu seberat 862 kg dengan nilai mencapai Rp1,7 triliun. Besarnya keuntungan yang bakal diperoleh itulah yang membuat masyarakat tergiur dan lupa bahwa bisnis ini dilarang UU.
”Angka itu sama dengan anggaran BNN selama 2 tahun,” kata Anang. Dia mengakui upaya petugas untuk mengusut harta kekayaan para pelaku narkotika yang terindikasi pencucian uang memang tidak mudah. Apalagi jika harta yang terindikasi TPPU biasanya telah bercampur dengan harta sebelumnya atau sudah dialihkan dalam bentuk barang atau usaha lain.
”Jadi menyelidiki aset itu memang tidak gampang. Kalau yang (sedang) digunakan mungkin mudah, tapi kalau aset itu kan ngejelimet ,” tuturnya. Kabag Wassidik Dit Resnarkoba Polda Metro Jaya AKBP Sri Hastuti mengatakan pihaknya juga menerapkan langkah serupa untuk menjerat para pelaku narkoba dengan menangkap dan menyita barang-barang hasil kejahatannya.
Beberapa yang berhasil disita meliputi rumah, kendaraan, dan harta bergerak lainnya. ”Misalnya mereka membeli rumah dari hasil kejahatan, kemudian kami sita,” ucapnya. Menurut Sri, hasil sitaan tersebut kemudian dijadikan barang bukti untuk disampaikan di pengadilan. Setelahnya akan diserahkan kepada pemerintah untuk dimasukkan ke kas negara.
Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu juga melihat TPPU hasil narkotika jauh lebih besar dibandingkan tindak kejahatan lain. Oleh karenanya profesionalitas para petugas BNN juga diuji agar tetap menjalankan tugas dengan baik tanpa tergoda oleh iming-iming pelaku narkotika. ”Peningkatan kinerja akan diimbangi penambahan anggaran,” jelasnya.
Masinton menganggap UU yang ada saat ini sudah cukup mengakomodasi para penegak hukum untuk mengungkap TPPU yang dilakukan para pelaku kejahatan. Menurut dia, yang perlu menjadi perhatian adalah sinergi dari lembagalembaga terkait untuk mengungkap kejahatan terorganisasi tersebut.
”DPR juga akan terus menyokong kerja-kerja pemberantasan narkotika, di samping BNN, kepolisian, TNI, dan imigrasi juga harus bersinergi,” katanya. Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Yenti Garnasih menilai upaya BNN mengungkap tindak pidana pencucian uang harus sejalan dengan upaya pemberantasan dan penangkapan para pelaku narkoba. Keduanya harus berjalan beriringan, sebab kejahatan narkoba akan selalu berdekatan dengan TPPU.
”Lahirnya TPPU awalnya dilakukan oleh para pelaku kejahatan narkotika. Jadi memang sudah seharusnya BNN melakukan penelusuran harta kekayaan para pelaku narkoba,” ujar Yenti. Menurut Yenti, para penjahat narkoba banyak menggunakan TPPU sebagai kamuflase atas usaha ilegalnya. Mereka menggunakan TPPU juga sebagai penyokong dana menghidupi kegiatan haramnya.
”Polanya akan selalu seperti itu, kamuflase agar masyarakat tidak mencurigai kegiatan narkotikanya. Padahal tetap mereka menggunakan TPPU untuk melancarkan usaha ilegalnya,” ungkapnya. Beberapa cara TPPU yang lazim dilakukan para pelaku narkotika menurut wanita yang mendapat gelar doktor perihal pencucian uang tersebut antara lain menggunakan aktivitas money changer, pola hawalah, pembiayaan asuransi serta pengiriman bank.
Di samping itu dana TPPU digunakan untuk membeli sejumlah aset seperti rumah, apartemen, kendaraan. ”Yang terbesar untuk mengembangkan bisnis,” paparnya. Yenti melihat, keberhasilan BNN mengungkap 15 kasus TPPU bernilai Rp100 miliar selama 2014 lalu belum seberapa. Menurut dia, sepatutnya BNN bisa lebih dari itu.
Selain kejahatan narkotika melibatkan aliran dana dalam jumlah besar, kasus yang ditangani BNN di tahun tersebut juga sepatutnya jauh lebih banyak diungkap daripada apa yang disampaikan. ”Untuk ukuran narkotika itu terlalu kecil, makanya harus disampaikan kepada masyarakat berapa yang berhasil dan yang masih dalam penyidikan,” ucap Yenti.
Yenti pun menyarankan agar BNN ke depan lebih menggunakan UU TPPU untuk menjerat para pelaku narkotika. Tanpa mengesampingkan UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika yang di dalamnya juga memuat pasal tentang pencucian uang, Yenti menganggap UU TPPU jauh lebih ampuh untuk mengungkap kejahatan luar biasa tersebut. ”Gunakan UU TPPU saja karena Pasal 137 a dan 137 b itu kurang untuk menjerat para pelaku. Ibaratnya kalau punya senjata yang lebih tajam kenapa tidak digunakan,” tandasnya.
Eksekusi Mati Tetap Harus Dilakukan
Mantan hakim Asep Iwan Iriawan meminta agar eksekusi mati terhadap terpidana mati kasus narkotika tetap dilakukan pemerintah. Sebagai sebuah kejahatan luar biasa, penanganan terhadap tindak pidana ini bersama dengan para pelakunya harus tegas dan tepat. ”Kalau dia bandar, pengedar hukumannya harus lebih berat daripada pemakai yang direhabilitasi,” ucap Asep.
Asep juga mendorong agar eksekusi terhadap wanita asal Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso, tetap dilaksanakan pada gelombang selanjutnya. Pria yang sempat menjabat sebagai hakim diPN Tangerang tersebut menilai tidak boleh ada perbedaan hukum dari negara terhadap terpidana yang satu dengan terpidana lainnya. ”Pokoknya langsung matiin saja sudahlah,” tegas Asep.
Begitu juga dengan satu terpidana mati lain yang sempat bebas dari proses eksekusi mati gelombang kedua, Sergei Atlaoui. Asep ingin agar pria berkebangsaan Prancis yang tertangkap karena mendirikan pabrik ekstasi di Serang, Banten, tersebut bisa segera dieksekusi pada pelaksanaan selanjutnya. ”Sama, untuk (Sergei) langsung eksekusi saja,” sebut Asep.
Dian ramdhani
(bbg)