Pemerintah Tunda Perpanjangan Kontrak Investasi
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah memutuskan menunda memperpanjang kembali bilateral investment treaty (BIT) atau perjanjian peningkatan dan penanaman modal (P4M) dengan negara-negara lain yang sudah habis masa berlakunya (expired). Keputusan ini diambil karena pemerintah tengah memperbaiki pedoman BIT lama.
Menko Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengungkapkan, dalam revisi pemerintah menginginkan BIT yang adil dan seimbang, yakni antara melindungi kepentingan investor asing dan kepentingan nasional. “Oleh sebab itu, yang lama, yang sudah expired kita tunda sambil kemudian dinegosiasi kembali,” ujar Sofyan Djalil di Jakarta kemarin.
Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut menjamin revisi pedoman BIT tak akan mendiskriminasi investor asing. Dia pun menegaskan pemerintah akan tetap melindungi kepentingan investor asing. “Produk hukum nasional sebenarnya sudah menjamin perlindungan terhadap investor asing. Meski begitu, pemerintah tetap menyediakan BIT untuk negara-negara yang membutuhkan kepastian hukum yang lebih,” katanya.
Executive Director of South Centre Martin Khor mengapresiasi kebijakan Pemerintah RI menggenjot investasi asing. Kendati demikian, dia mengingatkan kebijakan untuk menarik investor asing hendaknya diseimbangkan dengan kepentingan nasional. Menurut dia, kedatangan investor asing ke Indonesia bertujuan mendapatkan keuntungan serta membawa pulang keuntungan itu ke negara asal.
Namun dia menegaskan investor asing juga harus tunduk pada aturan-aturan negara tempat berinvestasi. “Ini adalah pendekatan yang seimbang,” kata dia kepada KORAN SINDO . Menurut Martin, dunia internasional kini sedang menyoroti relevansi BIT terhadap ekonomi negaranegara.
Dalam setiap forum internasional seperti Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) hingga Parlemen Eropa, wacana pengkajian ulang BIT, terutama soal sistem arbitrase, menjadi fokus pembahasan utama. “Ada sebuah konsensus di mana kita perlu mereviu dan mereformasi sistem ini karena ini tidak fair bagi pemerintah,” ucapnya.
Sebelumnya, Martin saat berkunjung ke KORAN SINDO mengingatkan Indonesia agar mewaspadai berbagai ketentuan dalam BIT yang sudah atau akan disahkan. Pasalnya aturan BIT bisa menjadi bumerang karena pemerintah dapat digugat di pengadilan internasional. Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana sepakat dengan langkah pemerintah untuk mengkaji ulang BIT Indonesia.
Hal ini disebabkan pembuatan formulasi BIT dilakukan pada dekade 1960 dan 1970-an saat Indonesia sangat membutuhkan investasi asing. “Saat itu BIT dibuat untuk melindungi investor asing dari mencuatnya aksi nasionalisasi yang dilakukan pemerintah,” kata dia saat dihubungi.
Hikmahanto menilai zaman sudah berubah sehingga pedoman BIT perlu direvisi. Bila perlu, dia mengusulkan agar mekanisme penyelesaian sengketa di arbitrase internasional ditiadakan. “Kalau (BIT) dihapuskan lebih bagus. Tapi kalau mau dikaji ulang dibuat lebih adil dan seimbang,” sebutnya.
Rahmat fiansyah
Menko Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengungkapkan, dalam revisi pemerintah menginginkan BIT yang adil dan seimbang, yakni antara melindungi kepentingan investor asing dan kepentingan nasional. “Oleh sebab itu, yang lama, yang sudah expired kita tunda sambil kemudian dinegosiasi kembali,” ujar Sofyan Djalil di Jakarta kemarin.
Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut menjamin revisi pedoman BIT tak akan mendiskriminasi investor asing. Dia pun menegaskan pemerintah akan tetap melindungi kepentingan investor asing. “Produk hukum nasional sebenarnya sudah menjamin perlindungan terhadap investor asing. Meski begitu, pemerintah tetap menyediakan BIT untuk negara-negara yang membutuhkan kepastian hukum yang lebih,” katanya.
Executive Director of South Centre Martin Khor mengapresiasi kebijakan Pemerintah RI menggenjot investasi asing. Kendati demikian, dia mengingatkan kebijakan untuk menarik investor asing hendaknya diseimbangkan dengan kepentingan nasional. Menurut dia, kedatangan investor asing ke Indonesia bertujuan mendapatkan keuntungan serta membawa pulang keuntungan itu ke negara asal.
Namun dia menegaskan investor asing juga harus tunduk pada aturan-aturan negara tempat berinvestasi. “Ini adalah pendekatan yang seimbang,” kata dia kepada KORAN SINDO . Menurut Martin, dunia internasional kini sedang menyoroti relevansi BIT terhadap ekonomi negaranegara.
Dalam setiap forum internasional seperti Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) hingga Parlemen Eropa, wacana pengkajian ulang BIT, terutama soal sistem arbitrase, menjadi fokus pembahasan utama. “Ada sebuah konsensus di mana kita perlu mereviu dan mereformasi sistem ini karena ini tidak fair bagi pemerintah,” ucapnya.
Sebelumnya, Martin saat berkunjung ke KORAN SINDO mengingatkan Indonesia agar mewaspadai berbagai ketentuan dalam BIT yang sudah atau akan disahkan. Pasalnya aturan BIT bisa menjadi bumerang karena pemerintah dapat digugat di pengadilan internasional. Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana sepakat dengan langkah pemerintah untuk mengkaji ulang BIT Indonesia.
Hal ini disebabkan pembuatan formulasi BIT dilakukan pada dekade 1960 dan 1970-an saat Indonesia sangat membutuhkan investasi asing. “Saat itu BIT dibuat untuk melindungi investor asing dari mencuatnya aksi nasionalisasi yang dilakukan pemerintah,” kata dia saat dihubungi.
Hikmahanto menilai zaman sudah berubah sehingga pedoman BIT perlu direvisi. Bila perlu, dia mengusulkan agar mekanisme penyelesaian sengketa di arbitrase internasional ditiadakan. “Kalau (BIT) dihapuskan lebih bagus. Tapi kalau mau dikaji ulang dibuat lebih adil dan seimbang,” sebutnya.
Rahmat fiansyah
(ftr)