Semangat Konstitusi dalam Menyikapi Pengungsi Rohingya
A
A
A
PENGUNGSI Rohingya semakin terlantar nasibnya. Indonesia harus bersikap arif sesuai semangat konstitusi dalam menyikapi para pengungsi Rohingya itu.
Pada dasarnya konstitusi dasar kita telah mengamanatkan keberpihakan kita terhadap para pengungsi dan pencari suaka. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XA, Pasal 28G, butir 2 berbunyi: Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Semangat ini yang harusnya kita pakai dalam menyikapi pengungsi Rohingya ini.
Hingga kini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Jenewa tahun 1951 yang mengatur soal pengungsi dan pencari suaka. Kita memahami pemerintah belum meratifikasi Konvensi Jenewa tahun 1951 tadi, karena adanya pasal-pasal dalam Konvensi yang dinilai memberatkan pemerintah Indonesia seperti keharusan bagi negara peratifikasi untuk memberikan kebebebasan kepada pengungsi dalam mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan upah, melakukan usaha sendiri seperti pertanian dan mendirikan perusahaan.
Pasal yang lain juga menyatakan bahwa pengungsi mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan dan pemerintah berkewajiban untuk memenuhinya. Pemerintah tentunya mengalami dilema tersendiri dalam hal ini. Pada pasal-pasal tersebut, tentunya pemerintah Indonesia akan mengalami dilematis, pada satu sisi amanat UUD NRI 1945 menjunjung kebebasan dan perlindungan bagi para pencari suaka, tapi pada sisi lain juga pemerintah Indonesia akan lebih memprioritaskan warga negaranya sendiri untuk dipenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun, hal ini masih bisa ditangani dengan undang-undang yang sifatnya nasional untuk menjadi payung hukum dalam mengatur persoalan pengungsi ini. Indonesia memang punya UU No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, yang salah satunya mengamanatkan tentang pengaturan pengungsi dan pencari suaka.
Seharusnya ketentuan itu ditindaklanjuti pemerintah dengan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres). Apakah Keppres-nya sudah ke luar? Jika belum, perlulah segera dibuat oleh Presiden agar jelas bagaimana aturan untuk mengelola para pengungsi ini.
Jangan sampai kita, Indonesia, dicap sebagai negara tidak berperikemanusiaan karena mengusir mereka. Jika ini benar terjadi, di mana nurani pemerintah Indonesia yang mengaku sebagai negara Pancasila?
Sementara kita tahu Rohingya adalah manusia yang teraniaya di negara asalnya, direpresi, rumahnya dibakar, diusir oleh pemerintahnya sendiri kemudian disandera oleh mafia. Padahal Rohingya sudah ratusan tahun tinggal di Myanmar, tetapi mereka tetap dianggap pendatang. Atau karena mereka Muslim?
Nasib mereka terdampar ke Indonesia setelah ditolak Malaysia. Seolah mereka dibiarkan kembali ke lautan lepas untuk mati perlahan-lahan. Yang lebih memprihatinkan lagi, sebentar lagi kan ASEAN mau menggulirkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Bagaimana mau menerima orang dari negara lain kalau warganya sendiri saja diusir? Junta militer Myanmar ini memang harus ditekan bersama melalui ASEAN dengan pelopor Indonesia.
Tindakan ini jelas tidak sesuai dengan semangat berdirinya ASEAN dahulu. Deklarasi ASEAN berisi maksud dan tujuan pembentukan ASEAN yang meliputi salah satunya adalah upaya mempromosikan perdamaian dan stabilitas kawasan. Filosofi ini juga nampak dalam lambang ASEAN padi yang diikat juga bermakna perdamaan dan persatuan. Karenanya, pemerintah Myanmar harus berani berpihak kepada kemanusiaan agar layak jadi anggota ASEAN.
H SUKAMTA
Anggota Komisi I DPR RI
Fraksi PKS
Pada dasarnya konstitusi dasar kita telah mengamanatkan keberpihakan kita terhadap para pengungsi dan pencari suaka. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XA, Pasal 28G, butir 2 berbunyi: Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Semangat ini yang harusnya kita pakai dalam menyikapi pengungsi Rohingya ini.
Hingga kini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Jenewa tahun 1951 yang mengatur soal pengungsi dan pencari suaka. Kita memahami pemerintah belum meratifikasi Konvensi Jenewa tahun 1951 tadi, karena adanya pasal-pasal dalam Konvensi yang dinilai memberatkan pemerintah Indonesia seperti keharusan bagi negara peratifikasi untuk memberikan kebebebasan kepada pengungsi dalam mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan upah, melakukan usaha sendiri seperti pertanian dan mendirikan perusahaan.
Pasal yang lain juga menyatakan bahwa pengungsi mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan dan pemerintah berkewajiban untuk memenuhinya. Pemerintah tentunya mengalami dilema tersendiri dalam hal ini. Pada pasal-pasal tersebut, tentunya pemerintah Indonesia akan mengalami dilematis, pada satu sisi amanat UUD NRI 1945 menjunjung kebebasan dan perlindungan bagi para pencari suaka, tapi pada sisi lain juga pemerintah Indonesia akan lebih memprioritaskan warga negaranya sendiri untuk dipenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun, hal ini masih bisa ditangani dengan undang-undang yang sifatnya nasional untuk menjadi payung hukum dalam mengatur persoalan pengungsi ini. Indonesia memang punya UU No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, yang salah satunya mengamanatkan tentang pengaturan pengungsi dan pencari suaka.
Seharusnya ketentuan itu ditindaklanjuti pemerintah dengan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres). Apakah Keppres-nya sudah ke luar? Jika belum, perlulah segera dibuat oleh Presiden agar jelas bagaimana aturan untuk mengelola para pengungsi ini.
Jangan sampai kita, Indonesia, dicap sebagai negara tidak berperikemanusiaan karena mengusir mereka. Jika ini benar terjadi, di mana nurani pemerintah Indonesia yang mengaku sebagai negara Pancasila?
Sementara kita tahu Rohingya adalah manusia yang teraniaya di negara asalnya, direpresi, rumahnya dibakar, diusir oleh pemerintahnya sendiri kemudian disandera oleh mafia. Padahal Rohingya sudah ratusan tahun tinggal di Myanmar, tetapi mereka tetap dianggap pendatang. Atau karena mereka Muslim?
Nasib mereka terdampar ke Indonesia setelah ditolak Malaysia. Seolah mereka dibiarkan kembali ke lautan lepas untuk mati perlahan-lahan. Yang lebih memprihatinkan lagi, sebentar lagi kan ASEAN mau menggulirkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Bagaimana mau menerima orang dari negara lain kalau warganya sendiri saja diusir? Junta militer Myanmar ini memang harus ditekan bersama melalui ASEAN dengan pelopor Indonesia.
Tindakan ini jelas tidak sesuai dengan semangat berdirinya ASEAN dahulu. Deklarasi ASEAN berisi maksud dan tujuan pembentukan ASEAN yang meliputi salah satunya adalah upaya mempromosikan perdamaian dan stabilitas kawasan. Filosofi ini juga nampak dalam lambang ASEAN padi yang diikat juga bermakna perdamaan dan persatuan. Karenanya, pemerintah Myanmar harus berani berpihak kepada kemanusiaan agar layak jadi anggota ASEAN.
H SUKAMTA
Anggota Komisi I DPR RI
Fraksi PKS
(hyk)