Audit Petral Harus Transparan
A
A
A
JAKARTA - Keputusan PT Pertamina (Persero) membubarkan anak usahanya, PT Pertamina Energy Trading Limited (Petral), dinilai jadi langkah besar memupus praktik mafia minyak dan gas bumi (migas).
Namun sejumlah kalangan menilai keputusan itu baru bersifat solusi sementara. Masih banyak tugas yang harus dilakukan Pertamina untuk membenahi tata kelola migas Tanah Air. Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri mengingatkan, pembubaran saja tidak cukup. Pertamina dan pemerintah harus menindaklanjutinya dengan melakukan audit investigasi dan audit forensik secara transparan dan tuntas.
”Dengan demikian upaya membongkar jaringan mafia migas bisa benar-benar dilakukan. Praktik-praktik mafia migas tidak hanya menjadi dongeng,” kata Faisal di Jakarta kemarin. Pertamina memutuskan untuk membubarkan Petral dan dua anak perusahaannya, Pertamina Energy Services Ltd (PES) serta Zambesi Investment Ltd, Rabu (13/5).
Pertamina menganggap pengadaan bahan bakar minyak (BBM) yang selama ini dilakukan Petral telah tergantikan oleh fungsi integrated supply chain (ISC). Pembubaran juga terkait dengan komitmen perusahaan pelat merah ini untuk memperbaiki tata kelola migas nasional.
Faisal menuturkan, tim antimafia migas sebelumnya telah tiga kali menyerahkan rekomendasi pembubaran Petral kepada jajaran direksi Pertamina, antara lain diajukan pada 26 Desember 2014. Pembubaran Petral Group, menurut dia, melebihi ekspektasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas karena pada rekomendasi hanya meminta Petral yang dibubarkan.
”Ternyata PES dan Zambesi juga turut dibubarkan. Jadi pembubarannya paripurna,” kata dia. Secara khusus Faisal meminta pemerintah untuk mengaudit pengadaan minyak mentah dan BBM yang dilakukan PES untuk pemenuhan kebutuhan Januari 2014 hingga Juni 2015. Menurutnya, terjadi keganjilan dalam hal pengadaan itu, dari yang biasanya kontraknya tiga bulan, ditutup enam bulan.
Dia juga meminta Pertamina menjadikan pembubaran Petral Group sebagai momentum memperkokoh kelembagaan ISC yang sejak awal telah menggantikan peran Petral. Anggota Komisi VII DPR Kurtubi menyebut pembubaran Petral dapat memperpendek mata rantai mekanisme impor BBM. Namun langkah ini juga melahirkan konsekuensi baru, antara lain tantangan untuk mendapatkan pasokan migas.
Menurut Kurtubi, hal ini tidak mudah karena di Asia Tenggara, pasar migas sudah dikuasai para trader dan broker besar sehingga sulit melepaskan diri dari mereka. ”Dan Indonesia masih tergantung dengan para trader atau pedagang-pedagang besar itu,” ujarnya. Kurtubi menegaskan, persoalan tata kelola migas tidak bisa hanya diselesaikan dengan pembubaran Petral.
Inti persoalan adalah bagaimana menghentikan ketergantungan negara terhadap impor BBM, sementara pada saat bersamaan produksi dalam negeri terus menurun dan konsumsi membengkak. Dia menyarankan kepada Pertamina untuk membeli BBM langsung dari produsen, dalam hal ini NOC (national oil company).
Untuk memuluskan langkah tersebut sekaligus mencegah kembalinya pemburu rente, pemerintah harus mengadakan kerja sama G to G (government to government ) dengan negara yang minyaknya akan dibeli Indonesia. ”Selain itu, Pertamina juga harus menambah storagenya untuk meningkatkan cadangan BBM sehingga kita tidak diatur trader-trader itu,” katanya.
Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengemukakan pandangan senada. Menurutnya, pembubaran Petral bukan satu-satunya cara untuk membasmi mafia migas di Tanah Air. Menerapkan prinsip good corporate governance (GCG) di perusahaan itu bisa jadi salah satu opsi tanpa harus membubarkannya.
”GCG baik di Pertamina maupun di Petral, selain itu pilihlah orang-orang amanah yang bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan bebas KKN, bebas mafia. Itu bisa dipilih,” jelasnya. Marwan mengingatkan, saat ini harus ada kepastian dari pemerintah bahwa setelah pembubaran Petral ruang gerak para mafia migas benar-benar tertutup. Pasalnya, bisa saja mafia migas tidak hanya bersarang di tubuh Petral.
Entitas Baru
Pertamina memastikan financial audit dan legalduediligence terhadap Petral Group mulai dilakukan selepas penghentian operasi perusahaan itu. Pertamina menargetkan dua hal tersebut bisa tuntas sebelum April 2016. ”Setelah audit secara menyeluruh, Pertamina baru akan menentukan arah ke depan seperti apa.
Yang pasti untuk saat ini pengadaan bahan bakar minyak (BBM) langsung di bawah Pertamina melalui ISC,” kata Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro kepada KORAN SINDO kemarin. Disinggung mengenai kemungkinan pembentukan entitas baru setelah pembubaran Petral, Wianda menegaskan untuk saat ini belum ada rencana mengenai hal tersebut.
Pengadaan BBM secara langsung oleh Pertamina melalui ISC terbukti menciptakan efisiensi besar pada perusahaan. Untuk diketahui, setelah pembubaran Petral berkembang isu bahwa Pertamina menyiapkan entitas bisnis baru untuk menggantikannya. Kabar yang beredar, entitas baru itu bernama Pertamina International Downstream.
Namun Wianda menyanggahnya. ”Belum ada wacana untu kitu, yang jelas fokus kami menyelesaikan financial audit dan legal due diligence dulu,” ujar Wianda. Dirut Pertamina Dwi Soetjipto sebelumnya mengemukakan, pembubaran dan pengambilalihan peran Petral lebih menguntungkan bagi perseroan. Pertamina bisa membeli minyak langsung ke pihak ketiga sehingga tercipta efisiensi.
Dengan cara ini Pertamina telah mengumpulkan keuntungan USD22 juta atau sekitar Rp289 miliar dalam dua bulan terakhir. Mengenai pengaruh pengadaan impor BBM akibat fluktuasi harga minyak dunia dan nilai dolar Amerika Serikat, Wianda memastikan Pertamina tidak khawatir karena telah menggandeng tiga perbankan BUMN, yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, untuk melakukan fasilitas lindung nilai (hedging ).
Menurut dia, keseluruhan fasilitas hedging yang didapatkan Pertamina adalah sebesar USD2,5 miliar. Perinciannya USD1 miliar dari Bank Mandiri, USD750 juta dari BNI, dan USD750 juta dari BRI. Transaksi lindung nilai dapat mendukung pasar valuta asing menjadi lebih sehatsertadapatmeningkatkan kepercayaan investor.
Nanang wijayanto/ heru febrianto/ rahmat fiansyah
Namun sejumlah kalangan menilai keputusan itu baru bersifat solusi sementara. Masih banyak tugas yang harus dilakukan Pertamina untuk membenahi tata kelola migas Tanah Air. Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri mengingatkan, pembubaran saja tidak cukup. Pertamina dan pemerintah harus menindaklanjutinya dengan melakukan audit investigasi dan audit forensik secara transparan dan tuntas.
”Dengan demikian upaya membongkar jaringan mafia migas bisa benar-benar dilakukan. Praktik-praktik mafia migas tidak hanya menjadi dongeng,” kata Faisal di Jakarta kemarin. Pertamina memutuskan untuk membubarkan Petral dan dua anak perusahaannya, Pertamina Energy Services Ltd (PES) serta Zambesi Investment Ltd, Rabu (13/5).
Pertamina menganggap pengadaan bahan bakar minyak (BBM) yang selama ini dilakukan Petral telah tergantikan oleh fungsi integrated supply chain (ISC). Pembubaran juga terkait dengan komitmen perusahaan pelat merah ini untuk memperbaiki tata kelola migas nasional.
Faisal menuturkan, tim antimafia migas sebelumnya telah tiga kali menyerahkan rekomendasi pembubaran Petral kepada jajaran direksi Pertamina, antara lain diajukan pada 26 Desember 2014. Pembubaran Petral Group, menurut dia, melebihi ekspektasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas karena pada rekomendasi hanya meminta Petral yang dibubarkan.
”Ternyata PES dan Zambesi juga turut dibubarkan. Jadi pembubarannya paripurna,” kata dia. Secara khusus Faisal meminta pemerintah untuk mengaudit pengadaan minyak mentah dan BBM yang dilakukan PES untuk pemenuhan kebutuhan Januari 2014 hingga Juni 2015. Menurutnya, terjadi keganjilan dalam hal pengadaan itu, dari yang biasanya kontraknya tiga bulan, ditutup enam bulan.
Dia juga meminta Pertamina menjadikan pembubaran Petral Group sebagai momentum memperkokoh kelembagaan ISC yang sejak awal telah menggantikan peran Petral. Anggota Komisi VII DPR Kurtubi menyebut pembubaran Petral dapat memperpendek mata rantai mekanisme impor BBM. Namun langkah ini juga melahirkan konsekuensi baru, antara lain tantangan untuk mendapatkan pasokan migas.
Menurut Kurtubi, hal ini tidak mudah karena di Asia Tenggara, pasar migas sudah dikuasai para trader dan broker besar sehingga sulit melepaskan diri dari mereka. ”Dan Indonesia masih tergantung dengan para trader atau pedagang-pedagang besar itu,” ujarnya. Kurtubi menegaskan, persoalan tata kelola migas tidak bisa hanya diselesaikan dengan pembubaran Petral.
Inti persoalan adalah bagaimana menghentikan ketergantungan negara terhadap impor BBM, sementara pada saat bersamaan produksi dalam negeri terus menurun dan konsumsi membengkak. Dia menyarankan kepada Pertamina untuk membeli BBM langsung dari produsen, dalam hal ini NOC (national oil company).
Untuk memuluskan langkah tersebut sekaligus mencegah kembalinya pemburu rente, pemerintah harus mengadakan kerja sama G to G (government to government ) dengan negara yang minyaknya akan dibeli Indonesia. ”Selain itu, Pertamina juga harus menambah storagenya untuk meningkatkan cadangan BBM sehingga kita tidak diatur trader-trader itu,” katanya.
Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengemukakan pandangan senada. Menurutnya, pembubaran Petral bukan satu-satunya cara untuk membasmi mafia migas di Tanah Air. Menerapkan prinsip good corporate governance (GCG) di perusahaan itu bisa jadi salah satu opsi tanpa harus membubarkannya.
”GCG baik di Pertamina maupun di Petral, selain itu pilihlah orang-orang amanah yang bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan bebas KKN, bebas mafia. Itu bisa dipilih,” jelasnya. Marwan mengingatkan, saat ini harus ada kepastian dari pemerintah bahwa setelah pembubaran Petral ruang gerak para mafia migas benar-benar tertutup. Pasalnya, bisa saja mafia migas tidak hanya bersarang di tubuh Petral.
Entitas Baru
Pertamina memastikan financial audit dan legalduediligence terhadap Petral Group mulai dilakukan selepas penghentian operasi perusahaan itu. Pertamina menargetkan dua hal tersebut bisa tuntas sebelum April 2016. ”Setelah audit secara menyeluruh, Pertamina baru akan menentukan arah ke depan seperti apa.
Yang pasti untuk saat ini pengadaan bahan bakar minyak (BBM) langsung di bawah Pertamina melalui ISC,” kata Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro kepada KORAN SINDO kemarin. Disinggung mengenai kemungkinan pembentukan entitas baru setelah pembubaran Petral, Wianda menegaskan untuk saat ini belum ada rencana mengenai hal tersebut.
Pengadaan BBM secara langsung oleh Pertamina melalui ISC terbukti menciptakan efisiensi besar pada perusahaan. Untuk diketahui, setelah pembubaran Petral berkembang isu bahwa Pertamina menyiapkan entitas bisnis baru untuk menggantikannya. Kabar yang beredar, entitas baru itu bernama Pertamina International Downstream.
Namun Wianda menyanggahnya. ”Belum ada wacana untu kitu, yang jelas fokus kami menyelesaikan financial audit dan legal due diligence dulu,” ujar Wianda. Dirut Pertamina Dwi Soetjipto sebelumnya mengemukakan, pembubaran dan pengambilalihan peran Petral lebih menguntungkan bagi perseroan. Pertamina bisa membeli minyak langsung ke pihak ketiga sehingga tercipta efisiensi.
Dengan cara ini Pertamina telah mengumpulkan keuntungan USD22 juta atau sekitar Rp289 miliar dalam dua bulan terakhir. Mengenai pengaruh pengadaan impor BBM akibat fluktuasi harga minyak dunia dan nilai dolar Amerika Serikat, Wianda memastikan Pertamina tidak khawatir karena telah menggandeng tiga perbankan BUMN, yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, untuk melakukan fasilitas lindung nilai (hedging ).
Menurut dia, keseluruhan fasilitas hedging yang didapatkan Pertamina adalah sebesar USD2,5 miliar. Perinciannya USD1 miliar dari Bank Mandiri, USD750 juta dari BNI, dan USD750 juta dari BRI. Transaksi lindung nilai dapat mendukung pasar valuta asing menjadi lebih sehatsertadapatmeningkatkan kepercayaan investor.
Nanang wijayanto/ heru febrianto/ rahmat fiansyah
(bbg)