Waspadai Kontrak dengan Investor Asing

Jum'at, 15 Mei 2015 - 08:35 WIB
Waspadai Kontrak dengan...
Waspadai Kontrak dengan Investor Asing
A A A
JAKARTA - Pemerintah Indonesia harus mewaspadai berbagai ketentuan dalam traktat investasi bilateral (bilateral investment treaties /BIT) yang sudah atau akan disahkan.

Jangan sampai berbagai traktat itu justru menjadi blunder yang merugikan kepentingan nasional di masa depan. Hal tersebut diungkapkan Executive Director of South Centre Martin Khor dan Direktur Perjanjian Ekonomi Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Abdulkadir Jailani saat berkunjung ke Kantor Redaksi KORANSINDO kemarin.

Khor menyarankan jika BIT terbukti merugikan kepentingan nasional, pemerintah didorong untuk berani mencabut atau merevisinya. ”Beberapa pasal dalam traktat itu membuat perusahaan asing memiliki kekuatan untuk menggugat pemerintah di pengadilan internasional,” kata Khor.

Untuk diketahui, South Centre adalah organisasi antarpemerintah yang didirikan pada 1995 di Jenewa dengan keanggotaan 51 negara berkembang, termasuk Brasil, China, Indonesia, India, dan Afrika Selatan. Lebih jauh, Khor menjelaskan, sistem penyelesaian konflik negara-investor (investorstate dispute settlement /ISDS) yang tertera dalam BIT memungkinkan para investor asing di negara-negara yang menandatangani BIT untuk secara langsung menggugat pemerintah di pengadilan internasional.

Beberapa pengadilan internasional itu, ICSID dan UNCITRAL, dapat dipilih oleh para investor untuk menggugat pemerintah negara mana pun. ”Menerima berbagai aturan BIT dapat menghasilkan implikasi sangat berbahaya karena pemerintah dapat digugat di pengadilan internasional.”

”Dan pemerintah akan terdesak saat memformulasikan berbagai kebijakan di masa depan atau mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang sudah ada,” papar Khor yang asal Malaysia ini. Abdulkadir Jailani menambahkan, Indonesia merupakan negara dengan kasus tuntutan tertinggi oleh perusahaan asing di kawasan ASEAN. Saat ini Indonesia menghadapi 7 kasus gugatan.

Disusul Filipina (5 kasus) dan Thailand (4 kasus). ”Sedangkan Malaysia hanya 2 kasus. Singapura zero. Jika kita kalah dalam sidang kasus itu, kompensasi yang harus kita bayar sangat besar,” ujar Jailani. Dia menambahkan, perubahan peraturan perundangundangan yang memengaruhi investor asing juga berpotensi menuai gugatan.

Salah satunya terkait aturan baru dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Dalam aturan itu, pemerintah melarang ekspor bahan mentah (material raw ). ”Banyak perusahaan yang mengatakan ini tidak adil. Ekspektasi mereka, mereka bisa mengekspor secara langsung,” kata Jailani.

Begitu pun dengan dikabulkannya permohonan judicial review UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) oleh Mahkamah Konstitusi juga membawa konsekuensi. Perubahan ini juga berpotensi mendapat masalah gugatan dari perusahaan asing. Diakuinya, Indonesia memang sangat potensial terkena gugatan. Saat ini, misalnya, Indonesia menghadapi kasus baru di Kalimantan Timur.

Di sana, perusahaan domestik menggarap proyek di luar perbatasan wilayah. Proyek itu akhirnya tumpang tindih dengan proyek tujuh perusahaan asing yang lain. ”Proyek tumpang tindih ini kemudian dijual kepada perusahaan asal India. Bagaimana ini? Kok bisa? Semuanya saling menyalahkan satu sama lain. Sekarang banyak kasus seperti itu,” tandas Jailani.

Sebelum Presiden Joko Widodo pergi ke China, ada dua provinsi yang ditawari dua kontrak investasi, yakni Jambi dan Aceh. ”Semuanya kan bicara infrastruktur- infrastruktur. Tapi, kami tahu konten kontrak itu kurang baik. Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi juga menyarankan tidak. Jangan lakukan karena sangat merugikan kita,” kata Jailani.

Penolakan kontrak itu bukan tanpa alasan. Pemerintah akan memikul beban yang berat jika kontrak benar-benar ditandatangani. Dalam klausul kontrak itu, misalnya, selain harus bertanggung jawab membersihkan hutan sekitar 4.000 hektare, pemerintah juga harus menanggung semua konsekuensi tuntutan dari penduduk lokal hingga adanya kerusakan lingkungan.

”Ini lucu. Yang kita khawatirkan adalah kontrak-kontrak komersial yang di bawah BIT ini dilakukan pemerintah daerah. Mengerikan sekali. Jika terus terjadi, negeri ini bisa bangkrut,” tutur Jailani. Sejumlah isu mengenai rencana peningkatan perlindungan terhadap investor asing juga perlu disesuaikan. ”Perlindungan itu sudah terlalu kuat. Kami ingin ada keseimbangan,” tegasnya.

Menurut dia, banyak salah konsepsi dan hal takhayul di balik BIT yang seolah-olah bisa menggenjot investor asing ke negara berkembang. Padahal buktinya tidak seperti itu. ”Dari pengalaman Indonesia pada 1997, Amerika Serikat (AS) menjadi investor terbesar di Indonesia sampai sekarang. Padahal, kami tidak memiliki BIT dengan AS,” jelas Jailani.

Khor menambahkan, memang tidak ada korelasi antara mengadopsi ISDS dalam BIT bisa mendorong masuknya investasi asing. ”Brasil yang tidak memiliki kesepakatan investasi apa pun atau ISDS apa pun merupakan penerima FDI terbesar keempat di dunia pada 2011, menurutUNCTAD,” ungkapnya.

Menurut Khor, di antara negara- negara berkembang, China merupakan penerima FDI terbesar dari AS meskipun Negeri Panda itu tidak memiliki traktat investasi apa pun dengan AS. ”Ada faktor-faktor lain yang lebih penting dalam menarik FDI,” paparnya. Faktorfaktor itu antara lain besarnya pasar di suatu negara, pertumbuhan ekonomi, stabilitas ekonomi dan keamanan.

Digugat hingga Jutaan Dolar AS

Menurut Khor, berbagai aturan BIT menyulitkan pemerintah untuk membuat berbagai kebijakan baru karena tidak dapat memprediksi apakah sejumlah kebijakan dapat diterapkan atau diubah karena ketidakpastian pengadilan internasional dalam menilainya. ”Pendapat satu pengadilan tertentu dapat berbeda dengan pengadilan lain,” ujarnya.

Berbagai bidang kebijakan yang berlandaskan pada pembangunan sosial ekonomi akan terpengaruh, termasuk investasi, saham, aliran keuangan, kontrol modal dan stabilitas keuangan, belanja pemerintah, perusahaan negara dan lembaga negara, kekayaan intelektual dan harga atau akses obat-obatan dan materi pendidikan.

Khor mengingatkan kemungkinan adanya chilling effect dari kebijakan tertentu karena kemungkinan atau kekhawatiran digugat di pengadilan internasional. Tidak hanya itu, Khor menambahkan, kedaulatan hukum juga akan terpengaruh. ”Para investor akan memilih membawa kasus ke pengadilan internasional di mana peluang keberhasilan mereka lebih tinggi dan dibayar lebih tinggi dibandingkan jika melalui pengadilan lokal.

Atau jika mereka kalah di pengadilan lokal, mereka dapat membawa kasusnya lagi dan menang di pengadilan internasional,” tuturnya. Khor menjelaskan, pengadilan lokal dapat mempertimbangkan kasus sesuai undangundang nasional di mana pengadilan akan memilih merujuk hukum internasional.

”Berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah atau undangundang dan kebijakan yang diterapkan parlemen dapat digugat oleh investor asing dan berbagai keputusan akan dibuat oleh pengadilan di luar negeri,” ujarnya. Dia memperingatkan, negara akan sangat rentan pada gugatan hukum hingga jutaan dolar atau miliaran dolar yang dilakukan para investor asing.

”Ini berpotensi merugikan pemerintah dengan banyak sumber daya keuangan. Pemerintah juga akan rentan pada kritik dari publik jika kasus itu merugikan,” papar Khor. Ada banyak contoh kasus bagaimana pengadilan arbitrase internasional lebih memihak perusahaan asing dibandingkan negara tempat perusahaan asing itu beroperasi.

Khor mencontohkan, pengadilan internasional ICSID yang menyatakan Ekuador membatalkan kontrak karena perusahaan minyak Amerika Serikat, Occidental, melanggar pasal utama antara lain menjual 40% konsesi pada perusahaan lain tanpa izin. Meski demikian, Pemerintah Ekuador harus membayar kompensasi hingga USD2,3 miliar pada Occidental. (Selengkapnya baca infografis di halaman 1).

Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi INDEF Eko Listianto mengatakan sudah kewajiban pemerintah mengkaji ulang perjanjian internasional yang dinilai merugikan negara. Baik untuk bilateral atau multilateral harus dilihat kembali dampaknya kepada kepentingan masyarakat. Dia menilai pemerintah terkesan terlalu agresif melakukan perjanjian internasional khususnya pada masa Reformasi.

Namun sayangnya tidak ada dampak signifikan yang menguntungkan perekonomian negara. Hal ini tidak terlepas karena minimnya infrastruktur dan kompetensi di dalam negeri sehingga kontrak cenderung lebih banyak menguntungkan pasar negara lain. ”Pemerintah tidak punya perhitungan yang detail sehingga kita tidak banyak ambil manfaat dibandingkan negara mitra,” ujarnya.

Dia juga mengatakan berbagai macam perjanjian yang dilakukan khususnya isu perekonomian pasti membutuhkan koordinasi yang jelas. Karena bidang perekonomian pasti melibatkan kepentingan lintas sektoral dan kebijakan. Hal ini sangat dibutuhkan dan pemerintah dikenal buruk dalam koordinasi antarlembaga.

”Sering bingung kalau sudah berhadapan di perundingan. Soal kebutuhan atau keunggulan pasti masih abu-abu, sedangkan negara lain jelas maunya apa,” tambahnya. Fenomena ini tampak jelas dari negara seperti Jepang yang dominan penetrasinya dalam FDI, infrastruktur hingga automotif. Atau Australia yang ngotot dalamisuprodukpangan.

Karena itu, fakta ini harus menjadi pelajaran bagi Indonesia untuk mengubah strateginya. Misalnya, harus ada isu spesifik yang ingin dijual secara serius oleh pemerintah. Kalau tidak, dia khawatir kalau dalam MEA nanti Indonesia juga gagal memimpin pasar ASEAN. ”Jangan sampai hanya dalam ASEAN kita juga hanya menjadi pasar,” ujarnya.

Syarifudin/ muh shamil/ hafid fuad
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9169 seconds (0.1#10.140)