DPR Akan Konsultasi Presiden
A
A
A
JAKARTA - DPR dan pemerintah belum juga menyepakati usulan revisi Undang- Undang Nomor 8/2015 tentang Pilkada. Konsultasi antara Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo dengan Komisi II dan pimpinan DPR kemarin tidak menghasilkan keputusan.
Untuk mempercepat proses revisi, DPR rencananya akan mengonsultasikan hal ini kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). DPR menilai perlu revisi secepatnya agar ada payung hukum untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menentukan keabsahan kepengurusan partai politik (parpol) yang berhak mengikuti pilkada.
”Pembicaraan dengan Mendagri tadi kita sepakat untuk melakukan rapat konsultasi dengan Presiden mengenai masalah ini. Juga mengenai sejumlah masalah lain seperti urusan legislasi dan programprogram kerja pemerintah,” kata Wakil Ketua DPR Fadli Zon seusai pertemuan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin. Fadli menjelaskan, konsultasi ke Presiden merupakan upaya lanjutan atas kesepakatan antara DPR, pimpinan fraksi, KPU, dan Kemendagri pada 4 Mei 2015 lalu.
Saat itu, KPU memberi jalan keluar agar semua parpol bisa dijamin mengikuti pilkada dengan cara merevisi UU Pilkada dan UU Parpol. ”Komunikasi kita berjalan dengan baik dan pengambil putusan terakhir adalah Presiden,” ujar Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra tersebut. Fadli menegaskan, langkah berkonsultasi dengan Presiden merupakan bagian dari upaya mempercepat proses revisi sebelum DPR memasuki masa sidang IV pekan depan.
”Kita ada masalah waktu, pimpinan DPR akan berkonsultasi dengan Presiden agar pilkada ini berjalan sesuai dengan harapan,” ujarnya. Menurut Fadli, DPR ingin memberikan solusi atas kebuntuan yang terjadi. Apalagi sejauh ini Mendagri dan KPU tetap pada pendiriannya untuk tidak setuju dilakukan revisi. Dia menegaskan, revisi ini bukan suatu keharusan, melainkan salah satu solusi.
Fadli juga menjamin revisi UU tersebut tidak akan mengganggu tahapan pilkada karena revisi hanya dilakukan secara terbatas. Selain itu, lanjut Fadli, dalam pembicaraan dengan Mendagri juga dibahas bahwa UU yang direvisi hanyalah UU Pilkada saja karena persoalan waktu yang sempit. Revisi terhadap UU Nomor 2/2011 tentang Parpol batal dilakukan. Banyak yang perlu diubah dalam UU Parpol tersebut sehingga perlu dilakukan sinkronisasi dan pendalaman saat revisi dilakukan.
Revisi UU Pilkada dimunculkan lantaran KPU dan DPR beda pendapat soal syarat parpol yang bersengketa untuk ikut pilkada. DPR minta KPU cukup mengacu pada putusan terakhir pengadilan, sedangkan KPU ingin mengacu pada putusan pengadilan yang inkracht. DPR berpandangan, jika harus mengacu putusan inkracht, parpol yang bersengketa terancam gagal ikut pilkada.
Untuk itu, DPR mengusulkan revisi UU agar keikutsertaan parpol di pilkada bisa terjamin. Sementara itu, Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan, pada prinsipnya pemerintah memahami bahwa DPR punya hak inisiatif untuk mengusulkan pembuatan UU maupun revisi UU sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 48/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Tapi Mendagri sebagai bagian dari pemerintah dan bermitra dengan KPU juga perlu melakukan konsultasi. ”Tentunya kami belum bisa mengambil putusan siang ini di depan Pak Ketua (Ketua DPR SetyaNovanto) bahwaapakahpemerintah setuju atau tidak membahas usul inisiatif DPR merevisi UU Nomor 8/2015 tentang Pilkada,” kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu di kesempatan sama.
”Saya segera melapor kepada Bapak Presiden hari ini (kemarin). Mungkin kami akan usul ada rapat kabinet terbatas. Juga kalau nanti Ketua DPR akan berkonsultasi dengan Presiden, itu hak penuh Ketua DPR yang juga adalah mitra Presiden, mitranya pemerintah,” lanjut Tjahjo. Dihubungi terpisah, Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengakui memang ada potensi Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak dapat mengikuti pilkada jika tidak ada perubahan atas UU yang ada.
Sebab selama ini dalam membuat peraturan KPU (PKPU), pihaknya hanya mengacu pada UU. ”Harus mengubah UU-nya karena di UU sudah dikunci. Jadi enggak bisa juga kami disuruh-suruh mengubah tanpa ada landasannya,” ujar Hadar kemarin. Mengenai keharusan untuk merevisi UU Pilkada, Hadar mengatakan, KPU hanya pelaksana UU dan KPU akan menaati apa pun yang diputuskan DPR dan pemerintah.
Kiswondari
Untuk mempercepat proses revisi, DPR rencananya akan mengonsultasikan hal ini kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). DPR menilai perlu revisi secepatnya agar ada payung hukum untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menentukan keabsahan kepengurusan partai politik (parpol) yang berhak mengikuti pilkada.
”Pembicaraan dengan Mendagri tadi kita sepakat untuk melakukan rapat konsultasi dengan Presiden mengenai masalah ini. Juga mengenai sejumlah masalah lain seperti urusan legislasi dan programprogram kerja pemerintah,” kata Wakil Ketua DPR Fadli Zon seusai pertemuan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin. Fadli menjelaskan, konsultasi ke Presiden merupakan upaya lanjutan atas kesepakatan antara DPR, pimpinan fraksi, KPU, dan Kemendagri pada 4 Mei 2015 lalu.
Saat itu, KPU memberi jalan keluar agar semua parpol bisa dijamin mengikuti pilkada dengan cara merevisi UU Pilkada dan UU Parpol. ”Komunikasi kita berjalan dengan baik dan pengambil putusan terakhir adalah Presiden,” ujar Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra tersebut. Fadli menegaskan, langkah berkonsultasi dengan Presiden merupakan bagian dari upaya mempercepat proses revisi sebelum DPR memasuki masa sidang IV pekan depan.
”Kita ada masalah waktu, pimpinan DPR akan berkonsultasi dengan Presiden agar pilkada ini berjalan sesuai dengan harapan,” ujarnya. Menurut Fadli, DPR ingin memberikan solusi atas kebuntuan yang terjadi. Apalagi sejauh ini Mendagri dan KPU tetap pada pendiriannya untuk tidak setuju dilakukan revisi. Dia menegaskan, revisi ini bukan suatu keharusan, melainkan salah satu solusi.
Fadli juga menjamin revisi UU tersebut tidak akan mengganggu tahapan pilkada karena revisi hanya dilakukan secara terbatas. Selain itu, lanjut Fadli, dalam pembicaraan dengan Mendagri juga dibahas bahwa UU yang direvisi hanyalah UU Pilkada saja karena persoalan waktu yang sempit. Revisi terhadap UU Nomor 2/2011 tentang Parpol batal dilakukan. Banyak yang perlu diubah dalam UU Parpol tersebut sehingga perlu dilakukan sinkronisasi dan pendalaman saat revisi dilakukan.
Revisi UU Pilkada dimunculkan lantaran KPU dan DPR beda pendapat soal syarat parpol yang bersengketa untuk ikut pilkada. DPR minta KPU cukup mengacu pada putusan terakhir pengadilan, sedangkan KPU ingin mengacu pada putusan pengadilan yang inkracht. DPR berpandangan, jika harus mengacu putusan inkracht, parpol yang bersengketa terancam gagal ikut pilkada.
Untuk itu, DPR mengusulkan revisi UU agar keikutsertaan parpol di pilkada bisa terjamin. Sementara itu, Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan, pada prinsipnya pemerintah memahami bahwa DPR punya hak inisiatif untuk mengusulkan pembuatan UU maupun revisi UU sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 48/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Tapi Mendagri sebagai bagian dari pemerintah dan bermitra dengan KPU juga perlu melakukan konsultasi. ”Tentunya kami belum bisa mengambil putusan siang ini di depan Pak Ketua (Ketua DPR SetyaNovanto) bahwaapakahpemerintah setuju atau tidak membahas usul inisiatif DPR merevisi UU Nomor 8/2015 tentang Pilkada,” kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu di kesempatan sama.
”Saya segera melapor kepada Bapak Presiden hari ini (kemarin). Mungkin kami akan usul ada rapat kabinet terbatas. Juga kalau nanti Ketua DPR akan berkonsultasi dengan Presiden, itu hak penuh Ketua DPR yang juga adalah mitra Presiden, mitranya pemerintah,” lanjut Tjahjo. Dihubungi terpisah, Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengakui memang ada potensi Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak dapat mengikuti pilkada jika tidak ada perubahan atas UU yang ada.
Sebab selama ini dalam membuat peraturan KPU (PKPU), pihaknya hanya mengacu pada UU. ”Harus mengubah UU-nya karena di UU sudah dikunci. Jadi enggak bisa juga kami disuruh-suruh mengubah tanpa ada landasannya,” ujar Hadar kemarin. Mengenai keharusan untuk merevisi UU Pilkada, Hadar mengatakan, KPU hanya pelaksana UU dan KPU akan menaati apa pun yang diputuskan DPR dan pemerintah.
Kiswondari
(bbg)