Hasyim: Desakan Presiden Minta Maaf pada Korban 65 Bisa Picu Goncangan

Selasa, 19 April 2016 - 23:07 WIB
Hasyim: Desakan Presiden Minta Maaf pada Korban 65 Bisa Picu Goncangan
Hasyim: Desakan Presiden Minta Maaf pada Korban 65 Bisa Picu Goncangan
A A A
JAKARTA - Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Hasyim Muzadi menegaskan, dirinya tidak ikut, apalagi menyetujui apa yang terjadi dan menjadi arah Simposium Korban 65 untuk mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar atas nama negara meminta maaf kepada mereka.

”Desakan tersebut pasti membebani presiden baik secara politik, keamanan maupun ekonomi, bahkan bisa terjadi kegoncangan,” ujarnya, Selasa (19/4/2016).

Pengasuh Pesantren Al-Hikam ini menilai, kalau yang dimaksud adalah negara meminta maaf kepada korban peristiwa 65, hal itu tentu salah alamat karena negara tidak pernah bersalah. Menurut Hasyim, yang bisa salah adalah rezim sebuah pemerintahan dalam masa pemerintahannya.

"Mengapa kejadian zaman pemerintahan Pak Harto harus Pak Jokowi yang meminta maaf?" tanyanya.

Hasyim menuturkan, bahwa negara bersifat permanen sedangkan rezim bersifat temporer. Negara Indonesia sampai hari ini sudah berganti tujuh rezim pemerintahan.

“Kalau dikembalikan ke zaman Pak Harto, sekarang ini sudah banyak yang wafat, juga demikian korban 65, lalu siapa meminta maaf siapa?” ujarnya.

Kata Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS) ini, tuntutan permintaan maaf ini hanya bisa dilakukan melalui pendekatan HAM saja. Sedangkan para korban baik secara langsung atau tidak langsung yang berkaitan dengan peristiwa G/30S/PKI, tanya Hasyim, mengapa tidak dilakukan secara seimbang antara HAM dan pemberontakan.

"Kalau seimbang baru diketahui pelanggaran HAM sebagai ekses. Pada akhirnya, Komnas HAM kita masih kalah dengan LSM HAM yang dipandu dan dibiayai gerakan HAM internasional tersebut,” ucapnya.

Dalam pandangannya, desakan ke presiden agar negara minta maaf belum tentu menguntungkan kelompok neo-komunis, karena mayoritas bangsa terutama kaum muslimin dan umat beragama lain, kecuali agama yang suka kolaborasi dengan atheisme akan berbalik mendesak posisi kaum neo-komunis di pelbagai even demokrasi seperta Pilkada, Pilpres, Pileg, dan lain sebagainya.

“Padahal saat ini tokoh-tokoh neo-komunis telah bebas menjabat dimana-mana tanpa ada yang meneliti. Kalau terjadi konflik malah akan terjadi penelitian," katanya.

Hasyim menambahkan, yang diuntungkan dengan permintaan maaf tersebut tentu gerakan global yang akan menambah perpecahan di Indonesia. Sebagaimana pemberontakan PKI pada 1948, kata Hasyim, PKI setelah itu dengan mulusnya mengikuti Pemilu 1955. Hal ini menunjukkan kemampuan luar biasa dalam membalikkan opini publik.

"Nanti kita lihat apakah dan bagaimana reaksi ormas-ormas termasuk ormas Islam. Karena ormas kecil hingga yang besar tentu telah kerasukan faham/tokoh Neo-komunis sebagai bagian kondisioning," pungkasnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7530 seconds (0.1#10.140)