Aset Negara Naik Berkat Revaluasi
loading...
A
A
A
NILAI aset negara meningkat 65% dari Rp6.325 triliun menjadi Rp10.467,5 triliun. Peningkatan nilai aset itu sebagaimana diumumkan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) pada Kementerian Keuangan (Kemenkeu), berkat revaluasi atau perhitungan ulang aset negara sejak 2018 lalu. Ternyata, tidak sedikit aset pemerintah yang berada di pusat-pusat kota dengan nilai yang terus meningkat dan penambahan aset yang semula tidak tercatat. Salah satu contohnya Gelora Bung Karno (GBK) yang berada di jantung Kota Jakarta. Tercatat, GBK salah satu aset negara paling mahal yang nilainya mencapai Rp347 triliun.
Seluruh aset negara tersebut telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Lebih rinci, aset negara terdiri atas aset lancar Rp491,86 triliun dari sebelumnya sebesar Rp 437,87 triliun, investasi jangka panjang dari Rp2.877,28 triliun menjadi Rp3.001,2 triliun, aset tetap dari Rp1.931,05 menjadi Rp5.949,59 triliun, dan aset lainnya tercatat Rp967,98 triliun. Adapun instansi yang melaksanakan revaluasi aset adalah kantor vertikal DJKN, yakni 71 kantor pelayanan kekayaan negara dan lelang (KPKNL) di seluruh wilayah Indonesia.
Dari publikasi pihak DJKN terdapat tujuh instansi pemerintah dengan jumlah aset terbesar. Kementerian Pertahanan (Kemenhan) berada di posisi teratas dengan jumlah aset Rp1.645,56 triliun, menyusul Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan jumlah Rp1.546,61 triliun atau sekitar 26,3% dari seluruh aset pemerintah. Kepemilikan aset Kementerian PUPR yang besar itu karena tugas pokok dan fungsinya yang membangun hingga mengelola infrastruktur fisik dari Sabang sampai Marauke. Sebelumnya, kementerian yang dipimpin Basuki Hadimuljono itu selalu menempati urutan teratas lembaga negara dengan kepemilikan aset paling besar.
Selanjutnya, pada urutan ketiga bertengger Sekretariat Negara (Setneg) yang memiliki aset senilai Rp575,41 triliun. Properti milik Setneg pada umumnya berada di jantung kota, seperti Kompleks Istana Negara, Kawasan Monumen Nasional (Monas), GBK hingga lahan bekas Bandar Udara (Bandara) Kemayoran, Jakarta Pusat. Ada pula sejumlah aset berharga lain yang telah dikerjasamakan dengan pihak swasta, meliputi Plaza Semanggi, Plaza Senayan, Central Business District (CBD) Sudirman, pusat perbelanjaan FX Sudirman, Senayan City, dan JIExpo Kemayoran—kesemuanya di Jakarta. Selain itu, Setneg juga menggandeng swasta untuk bisnis hotel, yakni Hotel Century dan Hotel Mulia.
Posisi keempat ditempati Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dengan aset senilai Rp493,9 triliun atau 8,3% dari seluruh aset pemerintah. Aset Kemenhub meliputi kepemilikan dan pengelolaan sarana prasarana transportasi, seperti pelabuhan, bandara, terminal bus tipe A, hingga jembatan timbang. Lalu, Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) di urutan kelima dengan nilai aset Rp399,97 triliun atau sekitar 6,72% dari seluruh aset negara. Urutan keenam ditempati Kepolisian RI (Polri) yang membawahi aset sebesar Rp295,66 triliun. Aset yang dimiliki Polri terutama gedung perkantoran yang tersebar hingga kecamatan seluruh Indonesia. Terbesar kepemilikan aset ketujuh tercatat Kemenkeu dengan nilai Rp 114,5 triliun atau sekitar 1,92% dari seluruh aset negara.
Meningkatnya nilai aset negara hingga 65% membuktikan bahwa tidak sedikit kekayaan negara yang selama ini tidak terpantau serius. Hal itu juga diwarnai sejumlah kisruh antara negara dan pihak swasta yang mendapat kesempatan mengelola aset negara, namun hasil akhirnya tidak jelas, sebut saja sejumlah properti milik Setneg yang sempat mendapat sorotan publik, seperti JIExpo, Plaza Semanggi. Sangat disyukuri, menggandeng pihak swasta untuk mengelola aset negara sekarang semakin transparan menyusul diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32/2020 tentang Pembiayaan Infrastruktur Melalui Hak Pengelolaan Terbatas.
Regulasi baru tersebut memberikan peluang bagi badan usaha, dari pihak swasta, badan usaha milik daerah (BUMD), badan hukum asing, koperasi, untuk mengelola barang milik negara (BMN), kementerian/lembaga atau aset badan usaha milik negara (BUMN). Dari hasil pengelolaan BMN tersebut dapat digunakan untuk pembiayaan penyediaan infrastruktur jenis lain. Penerbitan payung hukum yang jelas untuk aset negara yang bisa dikerjasamakan dengan pihak lain diharapkan bisa meminimalisasi ulah oknum yang mengambil keuntungan diri atau kelompoknya dan sengketa kerja sama antara pemerintah dan pihak swasta tidak terdengar lagi. Regulasi tersebut diharapkan bisa menghidupkan aset negara dari kondisi terbengkalai menjadi produktif alias punya nilai tambah.
Seluruh aset negara tersebut telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Lebih rinci, aset negara terdiri atas aset lancar Rp491,86 triliun dari sebelumnya sebesar Rp 437,87 triliun, investasi jangka panjang dari Rp2.877,28 triliun menjadi Rp3.001,2 triliun, aset tetap dari Rp1.931,05 menjadi Rp5.949,59 triliun, dan aset lainnya tercatat Rp967,98 triliun. Adapun instansi yang melaksanakan revaluasi aset adalah kantor vertikal DJKN, yakni 71 kantor pelayanan kekayaan negara dan lelang (KPKNL) di seluruh wilayah Indonesia.
Dari publikasi pihak DJKN terdapat tujuh instansi pemerintah dengan jumlah aset terbesar. Kementerian Pertahanan (Kemenhan) berada di posisi teratas dengan jumlah aset Rp1.645,56 triliun, menyusul Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan jumlah Rp1.546,61 triliun atau sekitar 26,3% dari seluruh aset pemerintah. Kepemilikan aset Kementerian PUPR yang besar itu karena tugas pokok dan fungsinya yang membangun hingga mengelola infrastruktur fisik dari Sabang sampai Marauke. Sebelumnya, kementerian yang dipimpin Basuki Hadimuljono itu selalu menempati urutan teratas lembaga negara dengan kepemilikan aset paling besar.
Selanjutnya, pada urutan ketiga bertengger Sekretariat Negara (Setneg) yang memiliki aset senilai Rp575,41 triliun. Properti milik Setneg pada umumnya berada di jantung kota, seperti Kompleks Istana Negara, Kawasan Monumen Nasional (Monas), GBK hingga lahan bekas Bandar Udara (Bandara) Kemayoran, Jakarta Pusat. Ada pula sejumlah aset berharga lain yang telah dikerjasamakan dengan pihak swasta, meliputi Plaza Semanggi, Plaza Senayan, Central Business District (CBD) Sudirman, pusat perbelanjaan FX Sudirman, Senayan City, dan JIExpo Kemayoran—kesemuanya di Jakarta. Selain itu, Setneg juga menggandeng swasta untuk bisnis hotel, yakni Hotel Century dan Hotel Mulia.
Posisi keempat ditempati Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dengan aset senilai Rp493,9 triliun atau 8,3% dari seluruh aset pemerintah. Aset Kemenhub meliputi kepemilikan dan pengelolaan sarana prasarana transportasi, seperti pelabuhan, bandara, terminal bus tipe A, hingga jembatan timbang. Lalu, Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) di urutan kelima dengan nilai aset Rp399,97 triliun atau sekitar 6,72% dari seluruh aset negara. Urutan keenam ditempati Kepolisian RI (Polri) yang membawahi aset sebesar Rp295,66 triliun. Aset yang dimiliki Polri terutama gedung perkantoran yang tersebar hingga kecamatan seluruh Indonesia. Terbesar kepemilikan aset ketujuh tercatat Kemenkeu dengan nilai Rp 114,5 triliun atau sekitar 1,92% dari seluruh aset negara.
Meningkatnya nilai aset negara hingga 65% membuktikan bahwa tidak sedikit kekayaan negara yang selama ini tidak terpantau serius. Hal itu juga diwarnai sejumlah kisruh antara negara dan pihak swasta yang mendapat kesempatan mengelola aset negara, namun hasil akhirnya tidak jelas, sebut saja sejumlah properti milik Setneg yang sempat mendapat sorotan publik, seperti JIExpo, Plaza Semanggi. Sangat disyukuri, menggandeng pihak swasta untuk mengelola aset negara sekarang semakin transparan menyusul diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32/2020 tentang Pembiayaan Infrastruktur Melalui Hak Pengelolaan Terbatas.
Regulasi baru tersebut memberikan peluang bagi badan usaha, dari pihak swasta, badan usaha milik daerah (BUMD), badan hukum asing, koperasi, untuk mengelola barang milik negara (BMN), kementerian/lembaga atau aset badan usaha milik negara (BUMN). Dari hasil pengelolaan BMN tersebut dapat digunakan untuk pembiayaan penyediaan infrastruktur jenis lain. Penerbitan payung hukum yang jelas untuk aset negara yang bisa dikerjasamakan dengan pihak lain diharapkan bisa meminimalisasi ulah oknum yang mengambil keuntungan diri atau kelompoknya dan sengketa kerja sama antara pemerintah dan pihak swasta tidak terdengar lagi. Regulasi tersebut diharapkan bisa menghidupkan aset negara dari kondisi terbengkalai menjadi produktif alias punya nilai tambah.
(ras)