Tantangan Koperasi di Tengah Pandemi
loading...
A
A
A
Prof. Dr. Jamal Wiwoho SH.,M.Hum
Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta
KOPERASI telah berulang tahun ke-73. Tanggal 12 Juli kemarin diperingati sebagai hari Koperasi. Terhitung dari kongres pertama koperasi yang diadakan pada 12 Juli 1947, maka koperasi di Indonesia sudah berusia 73 tahun. Menginjak usia tersebut, kiprah koperasi sebagai penggerak perekonomian nasional sudah tidak diragukan lagi. Data Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan, kontribusi koperasi terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2018 sebesar 5,1%. Kontribusi tersebut diproyeksikan tumbuh dua kali lipat hingga 2024.
Kondisi pandemi menjadi tantangan besar bagi koperasi untuk dapat eksis menjalankan usahanya. Peran koperasi sebagai wadah pelaku usaha dan sumber permodalan dihadapkan pada tantangan berat. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki menyebutkan, terdapat 1.785 koperasi terdampak pandemi. Kondisi pandemi berdampak pada kegiatan usaha koperasi, turunnya penjualan, kekurangan modal, dan terhambatnya distribusi. Namun, pandemi Covid-19 juga dapat menjadi momentum bagi koperasi untuk membuktikan kiprahnya sebagai penyangga perekonomian nasional. Koperasi dapat menjadi "pahlawan ekonomi" di tengah ketidakpastian ekonomi akibat pandemi.
Di masa pandemi ini, terdapat berbagai tantangan yang dihadapi koperasi. Pertama, menurunnya penjualan dan permintaan pasar. Kebijakan pemerintah untuk membatasi pergerakan manusia saat pandemi tentunya memukul kegiatan usaha koperasi. Menurunnya permintaan pasar, terganggunya proses produksi, dan terhambatnya distribusi barang adalah berbagai konsekuensi logis dari kondisi pandemi. Di satu sisi, transaksi perdagangan elektronik mengalami peningkatan selama pandemi. Hal ini bisa menjadi tantangan bagi koperasi untuk bisa memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi melalui digitalisasi koperasi.
Metode penjualan koperasi juga dituntut mengikuti perkembangan zaman. Transaksi jual-beli model konvensional yang biasa diterapkan, juga harus dilengkapi dengan model elektronik commerce. Selain untuk menjaga keberlangsungan usaha, upaya tersebut juga untuk membuktikan bahwa koperasi bukanlah badan usaha yang ketinggalan zaman. Melalui pemanfaatan teknologi informasi dapat memudahkan bisnis koperasi untuk terhubung kepada konsumen, produsen, ataupun distributor. Digitalisasi koperasi dilakukan untuk memudahkan transaksi jual-beli di tengah pandemi.
Tantangan kedua adalah masalah likuiditas. Kondisi pandemi tidak hanya berdampak pada Koperasi secara kelembagaan, tetapi juga pada anggota koperasi. Banyak anggota koperasi yang kesulitan membayar iuran anggota. Bahkan dalam konteks koperasi simpan-pinjam, para anggota kesulitan untuk membayar angsuran, seiring dengan itu pula banyak anggota yang mengambil iuran sukarela untuk kebutuhan pandemi. Akibatnya, koperasi terkendala likuiditas yang dapat berujung pada kebangkrutan usaha. Kondisi ini bisa menjadi tantangan bagi koperasi untuk bisa menjaga likuiditas dan solvabilitas.
Untuk mengatasi hal tersebut, koperasi harus "cerdik" mengakses berbagai bantuan permodalan dan dana likuiditas dari pemerintah, seperti melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) KUMKM. Apabila sumber permodalan berasal dari bank, koperasi juga harus "cerdas" memanfaatkan program relaksasi kredit dan restrukturisasi kredit yang diinisiasi oleh OJK. Tentu saja, prinsip kehati-hatian dan profesionalitas harus senantiasa dilakukan oleh koperasi dalam menjalankan kegiatan usahanya, khususnya ketika memberikan fasilitas kredit kepada anggota.
Ketiga, adalah inovasi produk. Pada masa pandemi, banyak pelaku usaha yang gulung tikar. Hal itu disebabkan permintaan pasar turun drastis. Menciptakan produk kreatif dan inovasi sesuai kebutuhan pasar dapat menjadi strategi koperasi untuk menjaga keberlangsungan usaha. Dalam konteks koperasi produsen misalnya, melakukan inovasi produk berdasarkan kebutuhan konsumen adalah strategi bertahan di tengah pandemi. Koperasi batik untuk sementara dapat beralih untuk memproduksi masker kain yang saat ini dibutuhkan masyarakat. Melalui sentuhan kreativitas, masker batik tidak sekadar masker kain, tetapi juga masker yang bernuansa budaya. Selain masker, koperasi produsen juga dapat memproduksi alat pelindung diri (APD) dan kebutuhan para tenaga medis lainnya. Namun, selalu menjaga standar kualitas produk menjadi suatu hal yang penting untuk diperhatikan.
Selain digitalisasi koperasi, likuiditas, dan inovasi produk, tantangan koperasi agar dapat bertahan di tengah pandemi adalah kemampuan SDM pengurus. Digitalisasi koperasi tentu saja membutuhkan SDM yang menguasai IT dan telekomunikasi. Sama halnya dengan menjaga likuiditas, juga membutuhkan ahli akuntansi. Inovasi produk juga membutuhkan SDM yang menguasai marketing, packaging, dan branding. Oleh karena itu, koperasi perlu melakukan "upgrade " kemampuan SDM yang menguasai berbagai hal.
Peningkatan SDM tentu bukan hal mudah. Upaya tersebut perlu intervensi pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memberikan pelatihan dan pembinaan semua koperasi yang berada dalam binaannya. Diperlukan sinergisitas program antara Kementerian Koperasi dan UKM, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, perguruan tinggi, dan berbagai stakeholder lainnya.
Terakhir, penulis ingin menyampaikan bahwa sejarah krisis moneter yang terjadi pada 1997-1998 membuktikan bahwa koperasi melalui kiprahnya dapat menjadi "pahlawan ekonomi". Hal itu lantaran di dalam koperasi terkandung nilai-nilai kekeluargaan dan gotong royong yang tidak sekadar mencari keuntungan semata. Itulah yang membedakan koperasi dengan badan usaha lainnya, sehingga koperasi dapat bertahan pada waktu krisis keuangan. Harapan yang sama juga sedang digenggam oleh masyarakat Indonesia di masa pandemi ini. Koperasi melalui implementasi nilai-nilai kekeluargaan dan gotong royong diharapkan dapat tetap eksis dan menjadi penggerak perekonomian masyarakat Indonesia. Selamat HUT Koperasi, kamulah soko guru perekonomian nasional.
Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta
KOPERASI telah berulang tahun ke-73. Tanggal 12 Juli kemarin diperingati sebagai hari Koperasi. Terhitung dari kongres pertama koperasi yang diadakan pada 12 Juli 1947, maka koperasi di Indonesia sudah berusia 73 tahun. Menginjak usia tersebut, kiprah koperasi sebagai penggerak perekonomian nasional sudah tidak diragukan lagi. Data Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan, kontribusi koperasi terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2018 sebesar 5,1%. Kontribusi tersebut diproyeksikan tumbuh dua kali lipat hingga 2024.
Kondisi pandemi menjadi tantangan besar bagi koperasi untuk dapat eksis menjalankan usahanya. Peran koperasi sebagai wadah pelaku usaha dan sumber permodalan dihadapkan pada tantangan berat. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki menyebutkan, terdapat 1.785 koperasi terdampak pandemi. Kondisi pandemi berdampak pada kegiatan usaha koperasi, turunnya penjualan, kekurangan modal, dan terhambatnya distribusi. Namun, pandemi Covid-19 juga dapat menjadi momentum bagi koperasi untuk membuktikan kiprahnya sebagai penyangga perekonomian nasional. Koperasi dapat menjadi "pahlawan ekonomi" di tengah ketidakpastian ekonomi akibat pandemi.
Di masa pandemi ini, terdapat berbagai tantangan yang dihadapi koperasi. Pertama, menurunnya penjualan dan permintaan pasar. Kebijakan pemerintah untuk membatasi pergerakan manusia saat pandemi tentunya memukul kegiatan usaha koperasi. Menurunnya permintaan pasar, terganggunya proses produksi, dan terhambatnya distribusi barang adalah berbagai konsekuensi logis dari kondisi pandemi. Di satu sisi, transaksi perdagangan elektronik mengalami peningkatan selama pandemi. Hal ini bisa menjadi tantangan bagi koperasi untuk bisa memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi melalui digitalisasi koperasi.
Metode penjualan koperasi juga dituntut mengikuti perkembangan zaman. Transaksi jual-beli model konvensional yang biasa diterapkan, juga harus dilengkapi dengan model elektronik commerce. Selain untuk menjaga keberlangsungan usaha, upaya tersebut juga untuk membuktikan bahwa koperasi bukanlah badan usaha yang ketinggalan zaman. Melalui pemanfaatan teknologi informasi dapat memudahkan bisnis koperasi untuk terhubung kepada konsumen, produsen, ataupun distributor. Digitalisasi koperasi dilakukan untuk memudahkan transaksi jual-beli di tengah pandemi.
Tantangan kedua adalah masalah likuiditas. Kondisi pandemi tidak hanya berdampak pada Koperasi secara kelembagaan, tetapi juga pada anggota koperasi. Banyak anggota koperasi yang kesulitan membayar iuran anggota. Bahkan dalam konteks koperasi simpan-pinjam, para anggota kesulitan untuk membayar angsuran, seiring dengan itu pula banyak anggota yang mengambil iuran sukarela untuk kebutuhan pandemi. Akibatnya, koperasi terkendala likuiditas yang dapat berujung pada kebangkrutan usaha. Kondisi ini bisa menjadi tantangan bagi koperasi untuk bisa menjaga likuiditas dan solvabilitas.
Untuk mengatasi hal tersebut, koperasi harus "cerdik" mengakses berbagai bantuan permodalan dan dana likuiditas dari pemerintah, seperti melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) KUMKM. Apabila sumber permodalan berasal dari bank, koperasi juga harus "cerdas" memanfaatkan program relaksasi kredit dan restrukturisasi kredit yang diinisiasi oleh OJK. Tentu saja, prinsip kehati-hatian dan profesionalitas harus senantiasa dilakukan oleh koperasi dalam menjalankan kegiatan usahanya, khususnya ketika memberikan fasilitas kredit kepada anggota.
Ketiga, adalah inovasi produk. Pada masa pandemi, banyak pelaku usaha yang gulung tikar. Hal itu disebabkan permintaan pasar turun drastis. Menciptakan produk kreatif dan inovasi sesuai kebutuhan pasar dapat menjadi strategi koperasi untuk menjaga keberlangsungan usaha. Dalam konteks koperasi produsen misalnya, melakukan inovasi produk berdasarkan kebutuhan konsumen adalah strategi bertahan di tengah pandemi. Koperasi batik untuk sementara dapat beralih untuk memproduksi masker kain yang saat ini dibutuhkan masyarakat. Melalui sentuhan kreativitas, masker batik tidak sekadar masker kain, tetapi juga masker yang bernuansa budaya. Selain masker, koperasi produsen juga dapat memproduksi alat pelindung diri (APD) dan kebutuhan para tenaga medis lainnya. Namun, selalu menjaga standar kualitas produk menjadi suatu hal yang penting untuk diperhatikan.
Selain digitalisasi koperasi, likuiditas, dan inovasi produk, tantangan koperasi agar dapat bertahan di tengah pandemi adalah kemampuan SDM pengurus. Digitalisasi koperasi tentu saja membutuhkan SDM yang menguasai IT dan telekomunikasi. Sama halnya dengan menjaga likuiditas, juga membutuhkan ahli akuntansi. Inovasi produk juga membutuhkan SDM yang menguasai marketing, packaging, dan branding. Oleh karena itu, koperasi perlu melakukan "upgrade " kemampuan SDM yang menguasai berbagai hal.
Peningkatan SDM tentu bukan hal mudah. Upaya tersebut perlu intervensi pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memberikan pelatihan dan pembinaan semua koperasi yang berada dalam binaannya. Diperlukan sinergisitas program antara Kementerian Koperasi dan UKM, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, perguruan tinggi, dan berbagai stakeholder lainnya.
Terakhir, penulis ingin menyampaikan bahwa sejarah krisis moneter yang terjadi pada 1997-1998 membuktikan bahwa koperasi melalui kiprahnya dapat menjadi "pahlawan ekonomi". Hal itu lantaran di dalam koperasi terkandung nilai-nilai kekeluargaan dan gotong royong yang tidak sekadar mencari keuntungan semata. Itulah yang membedakan koperasi dengan badan usaha lainnya, sehingga koperasi dapat bertahan pada waktu krisis keuangan. Harapan yang sama juga sedang digenggam oleh masyarakat Indonesia di masa pandemi ini. Koperasi melalui implementasi nilai-nilai kekeluargaan dan gotong royong diharapkan dapat tetap eksis dan menjadi penggerak perekonomian masyarakat Indonesia. Selamat HUT Koperasi, kamulah soko guru perekonomian nasional.
(ras)