Refleksi 2022, DPD RI Harap DOB Baru Tak Jadi Beban Masa Depan

Minggu, 25 Desember 2022 - 16:47 WIB
loading...
Refleksi 2022, DPD RI Harap DOB Baru Tak Jadi Beban Masa Depan
Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai berharap DOB baru tak jadi beban masa depan. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Dalam beberapa hari lagi tahun 2022 akan berakhir. Ada banyak peristiwa sosial dan politik berlangsung sepanjang tahun ini, beragam persepsi dan opini juga bermunculan dalam memaknai ragam peristiwa dan kebijakan yang diputuskan. Terlebih berkaitan dengan Pemilu 2024 yang sangat dinamis.

Terkait hal ini, Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai mengajak publik untuk tidak melupakan konstalasi sosial dan politik yang berlangsung di ujung timur Indonesia, yakni Papua. Menurut legislator asal Papua itu, publik jangan pernah melupakan kondisi Papua. Sebab selama ini, Papua cenderung diabaikan meski persoalan demi persoalan terus bermunculan.

“Itulah yang terasa dari waktu-waktu. Berbagai macam aturan dan kebijakan dikeluarkan untuk merespons persoalan kedaerahan Papua, tapi tidak kunjung memenuhi persepsi dan visi yang sama,” kata Yorrys di Jakarta (25/12/2022)



“Ironisnya, persoalan demi persoalan bermunculan justru di saat begitu banyak kanal representatif seperti DPD, DPR, DPRP dan MRP yang sedianya menjembatani kesenjangan pemahaman tentang apa yang dimaksudkan oleh pemerintah pusat dan apa yang dikehendaki oleh rakyat Papua,” sambungnya.



Yorrys pun menyoroti perubahan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) menjadi UU Nomor 2 tahun 2021. Yorrys menilai perubahan UU otonomi khusus sangat ideal sebagai usaha mempercepat pembangunan kesejahteraan dan peningkatan pelayanan publik yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Tapi muatan ideal itu cenderung tidak memiliki pengaruh signifikan untuk melahirkan perubahan.

“UU Otonomi Khusus yang baru itu seperti cek kosong yang melompong. Menyamakan persepsi melalui sosialisasi menyeluruh dan berkesinambungan tidak kunjung terwujud. Padahal, begitu banyak figur representatif yang bisa diajak bekerja sama untuk mewujudkan kesamaan persepsi tersebut,” jelasnya.

Menurut Yorrys, kebijakan baru ini bukannya diterima begitu saja, melainkan dipenuhi dengan pergolakan paham dan pemikiran. Belum lagi, aturan turunan berupa peraturan pemerintah yang tidak kunjungan dipahami secara sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Yorrys mencatat, sejak Otonomi Khusus Jilid II diundangkan, pemerintah telah mengeluarkan dua peraturan turunan terkait UU Otonomi Khusus, yakni PP No. 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Papua serta PP No. 107 tentang Penerimaan, Pengelolaan, Pengawasan dan Rencana Induk Percepatan Pembangunan dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua. Terakhir pada tahun 2022, pemerintah mengeluarkan PP No. 121 tahun 2022 tentang Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua.

“Namun satu hal yang menjadi pertanyaan besar, hingga saat ini elemen kedaerahan yang terdiri dari pemerintah daerah (termasuk DPRP) serta lembaga kultural MRP tidak satupun merespons aturan-aturan itu dalam bentuk peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah khusus (Perdasi dan Perdasus). Bisa dipastikan, masa depan Papua cenderung didominasi persepi pemerintah pusat,” papar Yorrys.

Yorrys juga menyinggung tentang Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua yang menjadi tantangan baru. Menurutnya, pemekaran wilayah di Papua bukan hanya soal politik kontestasi dan pembagian kekuasaan dan jabatan, tapi sejauhmana substansi persoalan di Papua terjamah dan terakmodasi.

“DOB di Papua adalah tantangan baru di tengah persoalan yang sudah menumpuk. Jika tidak dikelola dengan baik, maka apa pun yang dihasilkan pada tahun 2022 ini akan menjadi beban sosial dan politik bagi masyarakat Papua,” kata Yorrys.
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1905 seconds (0.1#10.140)