DPR Minta Pemerintah Pastikan Ketersediaan Pangan saat Natal dan Tahun Baru

Sabtu, 24 Desember 2022 - 15:33 WIB
loading...
DPR Minta Pemerintah...
Wakil Ketua Komisi IV DPR Anggia Erma Rini. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi IV DPR Anggia Erma Rini meminta pemerintah memastikan ketersediaan pangan menghadapi Natal dan Tahun Baru 2023 aman dan tercukupi. Selain mudah didapat, harga bahan pangan juga harus wajar.

"Bahan pokok mulai beras, jagung, bawang putih, bawang merah, minyak goreng, daging sapi, daging ayam, hingga telur ayam harus dipastikan dapat diakses masyarakat dengan harga wajar," ujar Anggia di Jakarta, Sabtu (24/12/2022).

Langkah cepat pemerintah memastikan kesiapan bahan pangan penting dilakukan mengingat belum lama ini di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, sebanyak 500 ton beras di gudang Bulog dilaporkan hilang. "Tindakan abai, ceroboh, dan kurang waspada seperti demikian semestinya tidak boleh lagi terjadi di mana pun, di instansi apa pun. Apalagi yang hilang adalah bahan pangan sebagai hajat hidup mendasar semua orang," kata legislator dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini.

Anggia menilai kebijakan pangan sepanjang 2022 perlu perbaikan serius agar tahun depan kebijakannya lebih terarah, tepat sasaran, dan berdampak serta bermanfaat lebih luas untuk mencapai tujuan ketahanan pangan nasional.

Secara nasional, anggaran ketahanan pangan pada 2022 memang naik 9,5% menjadi Rp94,1 triliun dibanding 2021 yang hanya Rp85,9 triliun. Namun porsi terbesar di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Sementara Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) justru mengalami penurunan. Anggaran Kementan pada 2022 sebesar Rp14 trilun turun dibanding 2021 sebesar Rp21 triliun dan 2020 Rp15 triliun. Sementara KKP pada 2016 pernah mencapai Rp10,6 triliun dan terus menurun hingga Rp6,1 triliun pada 2022. Alokasi ini bahkan tidak sampai 1% dari total APBN, padahal KKP menjadi salah satu ujung tombak ketahanan pangan di sektor perikanan dan laut yang luasannya jauh lebih besar dari daratan nasional.

"Dukungan anggaran yang belum berimbang dan terus melemah di sektor intinya menunjukkan skala prioritas pemerintah butuh dievaluasi jika ingin serius memperkuat pangan nasional," kata Anggia.

Alih-alih swasembada pangan, terutama beras sebagai bahan pangan pokok, data impor beras pemerintah setiap tahun sangat mengiris hati petani lokal. Pada 2019, Indonesia impor 444,50 ribu ton, 2020 menjadi 356,28 ribu ton, 2021 naik 407,74 ribu ton, dan hingga Oktober 2022 sudah 301 ribu ton. Per Desember 2022 ini sudah dipastikan kita akan impor lagi 500 ribu ton hingga Pebruari 2023 nanti.

"Atas nama pemenuhan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dan stabilisasi harga, impor terus menjadi pilihan kebijakan pangan. Padahal, jauh lebih penting dalam pengarusutamaan kebijakan pangan adalah keberpihakan pada petani lokal," katanya.

Menurut Anggia, tidak ada pilihan lain selain keberanian pemerintah mulai mengurangi impor secara drastis, bahkan menghentikannya sama sekali dengan mulai mengoptimalkan penyerapan beras hasil panen sendiri. Prognosa total produksi beras sepanjang 2022 ini yang sebesar 31,9 juta ton masih cukup dengan total konsumsi beras sebesar 30,2 juta ton. Masih ada surplus 1,7 juta ton. Artinya, produksi kita secara faktual masih cukup, sembari terus meningkatkan transfer teknologi pertanian serta memperbaiki validitas data antar stakeholder pangan.

Perbaikan dan political will yang kuat juga perlu dilakukan pada komoditas pangan pokok lainnya seperti jagung, kedelai, cabai rawit, cabai besar, bawang merah, bawang putih, daging sapi dan daging kerbau, daging ayam, telur ayam, gula pasir, dan minyak goreng. Landasan berpikirnya perlu disamakan. Penguatan prognosa masing-masing komoditas tersebut perlu diutamakan.

Total produksi, total luas panen, dan total konsumsi rumah tangganya membutuhkan validitas dan akurasi data yang komprehensif dan akuntabel. Perhatian serius pada petani beragam komoditas tersebut menjadi kunci utama agar pada 2023 nanti tidak terjadi lagi misalnya kelangkaan minyak seperti halnya terjadi di sepanjang 2022.

"Misi ketahanan pangan nasional seyogianya juga mendasarkan pada local wisdom. Program pemerintah untuk peningkatan produktivitas beras, jagung, atau bawang merah misalnya, harus melihat potensi dan kearifan lokalnya dulu. Pemetaan sosial dan wilayah sangat diperlukan di sini," ujar Anggia.

Politisi PKB ini mencontohkan banyak tradisi kuliner berbasis pangan lokal yang merupakan bentuk kearifan lokal dan gambaran pola hidup masyarakat, sekaligus sumber ekonomi utama masyarakatnya. Kearifan lokal demikian sekaligus representasi sosial budaya tentang konsep jenis pangan di lokalitas tertentu.

"Pemerintah perlu memberi dukungan optimal baik dari sisi infrastruktur, jaringan distribusi, hingga pemasarannya agar potensi lokal ini dapat terus berkembang," ujarnya.

Terkait pupuk bersubsidi, Anggia juga melihat masih banyak problem krusial yang belum tertangani secara baik. Dari sisi anggaran alokasi pupuk bersubsidi, tiga tahun terakhir selalu mengalami penurunan. Pada 2019 dialokasikan Rp29 triliun tapi turun menjadi Rp26 triliun pada 2020, turun lagi menjadi Rp25,2 triliun pada 2021 dan 2022.

Dari sisi penyaluran, terdapat permasalahan data kebutuhan pupuk bersubsidi dan e-RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok secara elektronik) yang tidak valid dan akurat sehingga distribusinya bermasalah. Banyak petani yang tidak terdaftar di e-RDKK, sering terjadi kelambatan pupuk bersubsidi akibat lambatnya penetapan alokasi oleh pemerintah di daerah, kinerja penyuluh pertanian mengenai penggunaan pupuk berimbang yang masih belum optimal, hingga penyaluran melalui kartu tani masih bermasalah hampir di semua daerah. Penerbitan kartu tani harus berdasarkan e-RDKK sementara e-RDKK masih bermasalah.

Di 2023, Anggia menegaskan perlu ada perbaikan tata kelola penyaluran, misalnya penyalurannya dapat melalui BumDes, juga penerbitan Kartu Tani perlu didukung infrastruktur yang baik serta sosialisasi lebih luas. Perbaikan data terkait luas lahan petani harus dilakukan agar pupuk subsidi tepat sasaran. Selain itu, pengembangan pupuk organik perlu dimasifkan melalui pemanfaatan program UPPO (Unit Pengolah Pupuk Organik).

Secara holistik, Anggia memandang catatan kebijakan pangan sepanjang 2022 ini harus menjadi evaluasi mendasar agar bolong-bolong dan kelemahan yang terjadi di sana-sini dapat diminimalisir di 2023. Sumber daya pertanian, baik sumber daya manusia maupun sumber daya lahan dan potensi komoditasnya butuh dikelola lebih baik lagi.

"Hasil monitoring, evaluasi, review, dan refleksi kebijakan pangan pada 2022 ini harus dapat digunakan sebagai bahan penting untuk melakukan langkah-langkah lebih strategis dan aksi nyata perbaikan tata kelola pangan yang lebih berdampak dan lebih bermanfaat buat masyarakat secara luas," katanya.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1863 seconds (0.1#10.140)