Indonesia Perlu Waspadai Perubahan Iklim Ekstrem

Kamis, 29 September 2022 - 22:58 WIB
loading...
Indonesia Perlu Waspadai...
Aktivis lingkungan dari berbagai daerah di pulau Jawa melakukan aksi unjuk rasa bertajuk Pawai Youth20ccupy: Voice of The Future di Jakarta, Kamis (21/7/2022). Foto: Dok.MPI/Faisal Rahman
A A A
JAKARTA - Indonesia dinilai perlu mewaspadai perubahan iklim yang ekstrem. Ekonomi Indonesia termasuk yang paling rentan terhadap perubahan iklim, rumah tangga berpenghasilan rendah dan kelompok marjinal bakal lebih banyak menjadi korban.

“Kami hendak menyampaikan bahwa Indonesia masih punya kesempatan untuk melakukan aksi iklim yang lebih ambisius sebelum dampak perubahan iklim makin buruk menimpa sektor-sektor strategis di Indonesia, seperti pangan, infrastruktur, ekonomi, dan tenaga kerja,” kata Direktur Program Koaksi Indonesia Verena Puspawardani dalam acara peluncuran laporan sintesis dampak krisis iklim di seluruh sektor kunci di Indonesia bersama Yayasan Indonesia Cerah, Rabu (28/9/2022).

Dia mengungkapkan bahwa sebuah penelitian pada 2021 menyebut 2050 Indonesia bisa kehilangan 30-40% produk domestik bruto (PDB) jika berada di tingkat emisi sedang hingga tinggi. Padahal, Indonesia bisa hanya kehilangan PDB maksimum 4% jika mampu menjaga suhu jauh di bawah 2°C.





Penelitian itu sejalan dengan temuan pada 2015 yang mengungkapkan bahwa dalam skenario emisi tinggi, PDB Indonesia bisa merosot 31% pada pertengahan abad, dan terjun bebas hingga 78% pada akhir abad (2100). Selain itu, ada juga riset yang menyoroti dampak pemanasan global pada ekonomi Indonesia yang sangat besar kecuali emisi dipangkas sesegera mungkin.

Diffenbaugh dan Burke pada 2019 menyebutkan bahwa PDB Indonesia per kapita mungkin sudah 15% lebih rendah ketimbang yang bisa tercapai tanpa pemanasan yang disebabkan ulah manusia sejak 1991. Panas ekstrem merupakan salah satu dampak krisis iklim yang sangat nyata di Indonesia.

Hawa panas tersebut menurunkan hasil panen dan pangan di Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam riset Kinose pada 2020. Merujuk pada penelitian ini, dalam skenario tinggi emisi, Pulau Jawa dan wilayah utara Sumatera bakal mengalami penurunan panen beras sampai 20-40% pada 2040.

Kemudian, penelitian lain pada 2018 mengatakan bahwa kenaikan suhu berdampak langsung pada penurunan panen kakao di Indonesia. Jika suhu mencapai 27-27,5°C, maka hasil panen bakal merosot 67% dan bahkan sering mencapai nol.

Selain kakao, beras dan kopi juga akan terdampak dari kenaikan suhu dan penurunan curah hujan. “Kompilasi data dan proyeksi dari berbagai laporan ini dapat menjadi basis bagi aksi iklim bersama oleh berbagai pihak, terutama pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil, agar target-target pembangunan Indonesia menuju ekonomi hijau dapat tercapai,” kata Manajer Riset dan Pengembangan Koaksi Indonesia Azis Kurniawan.

Di samping itu, dampak krisis iklim juga dialami sektor infrastruktur. Riset Stone pada 2021 menunjukkan bahwa peningkatan hawa panas membuat permintaan pendingin udara lebih besar, sehingga menambah beban pada jaringan listrik. Gangguan pada jaringan listrik penyedia jasa pendinginan saat terjadi gelombang panas dapat menimbulkan korban jiwa.

Sejumlah penelitian juga mengungkapkan panas ekstrem bakal menurunkan fungsi pembangkit listrik tenaga termal, sehingga mengganggu pasokan listrik. Selanjutnya, mengacu penelitian Dobney pada 2008, rel kereta bisa melengkung dan rusak jika suhu melampaui rancangannya.

Selanjutnya, riset Smoyer-Tomic dan tim pada 2003 mengatakan bahwa suhu tinggi bisa menyebabkan jalan-jalan meleleh dan menempel pada ban kendaraan. Efektivitas pendinginan mesin kendaraan juga akan berkurang dan menambah kemungkinan pecahnya ban, sehingga kemungkinan kecelakaan menjadi lebih tinggi.

“Berbagai bukti potensi dampak hawa panas terhadap infrastruktur ini memberikan pertanyaan: apakah perencanaan pembangunan infrastruktur kita sudah dan akan mempertimbangkan potensi dampak krisis iklim? Jika kita memperhitungkan potensi dampaknya, kita sangat dapat melakukan penghematan APBN secara signifikan melalui transisi dari kegiatan ekonomi yang menghasilkan emisi tinggi ke arah ekonomi hijau,” kata periset senior Yayasan Indonesia Cerah Wira Dillon.

Laporan dipublikasikan bertepatan dengan rilis dokumen "Enhanced Nationally Determined Contribution Republic Indonesia 2022" pada Jumat (23/9/2022). Dokumen NDC terbaru ini menjanjikan peningkatan target penurunan emisi menggunakan sumber daya dan kemampuan sendiri dari 29% menjadi 31,89% serta peningkatan dari 41% menjadi 43,2% bila mendapatkan dukungan internasional.

Masih banyak aspek yang perlu ditingkatkan untuk menyelaraskan peningkatan upaya menurunkan emisi yang disampaikan dalam NDC versi terkini dengan pembangunan Indonesia agar selaras dengan skenario perubahan iklim di bawah 1,5°C. Laporan itu juga diharapkan bisa menjadi referensi bagi aksi iklim yang lebih ambisius di masa mendatang dan terukur pencapaian targetnya.
(rca)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1571 seconds (0.1#10.140)