Letjen MT Haryono, Pahlawan Revolusi Korban G30S/PKI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Letnan Jenderal Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono atau lebih dikenal dengan nama MT Haryono merupakan salah satu pahlawan revolusi. MT Haryono merupakan salah satu korban dari gerakan PKI pada 30 September 1965.
Peristiwa kelam terjadi di Indonesia pada 30 September 1965. Sebanyak 6 jenderal dan 1 perwira TNI AD (Angkatan Darat) menjadi korban gerakan PKI. Satu dari 6 jenderal yang gugur adalah Letnan Jenderal MT Haryono.
Melansir Ensiklopedi Pahlawan Nasional dari Direktorat Jenderal Kebudayaan tahun 1995, MT Haryono lahir di Surabaya, 20 Januari 1924. Dia memiliki keturunan bangsawan yang didapatkan dari Sunan Giri. Kata 'Mas' di depan namanya menunjukkan bahwa ia adalah bangsawan.
MT Haryono menempuh pendidikan ELS atau sekolah dasar hingga HBS yang setara dengan sekolah menengah umum. Setelah menamatkan pendidikan di HBS, dia masuk ke sekolah kedokteran pada masa pendudukan Jepang atau disebut Ika Dai Gaku di Jakarta.
MT Haryono sempat menjabat sebagai Kepala Kantor Penghubung pada 1 September 1945 dan dipindahkan ke Sekretariat Keamanan per Desember 1945. Ketika memasuki masa Proklamasi, MT Haryono bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan berpangkat mayor. Selama berkiprah di TNI, anak pasangan Mas Harsono Tirtodarmo dan Patimah ini adalah pribadi dengan pembawaan tenang dan bersahaja.
Selain terkenal cerdas, MT Haryono juga memiliki kemampuan berbahasa asing seperti bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan bahasa Jerman yang mumpuni. Maka dari itu, MT Haryono ditunjuk untuk mengikuti berbagai perundingan antara Indonesia dan Belanda ataupun antara Indonesia dengan Inggris. Kemampuan MT Haryono menguasai berbagai bahasa menjadikan ia sosok penting bagi berbagai agenda pemerintah Indonesia.
Salah satu perundingan besar yang diikuti MT Haryono adalah Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Kala itu, ia menjabat sebagai Sekretaris Delegasi Militer Indonesia. Setelahnya, MT Haryono didapuk menjadi atase militer Indonesia di Belanda.
Berkedudukan penting dengan berbagai keterampilan, terutama di bidang perundingan, MT Haryono memiliki karier cemerlang di dunia militer. Pada 1 Juli 1964, MT Haryono yang sudah berpangkat Mayjen (Mayor Jenderal) ditunjuk sebagai Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Saat menjabat sebagai Deputi III itulah pemikiran MT Haryono kerap bertentangan dengan gagasan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pemikirannya juga tak jarang bersinggungan dengan PKI. Dengan tegas, MT Haryono menolak usulan PKI yang ingin memberikan senjata kepada kaum buruh dan petani, yang terkenal dengan sebutan Angkatan Kelima.
Menurut MT Haryono, potensi bahaya besar akan muncul jika buruh dan petani dibekali senjata api hingga terbentuknya Angkatan Kelima. Karena itulah MT Haryono menjadi target pembunuhan pihak pemberontak.
MT Haryono meninggal dunia setelah tubuhnya tertembus timah panas senapan Thomson kepunyaan seorang komandan pasukan Cakrabirawa. Tubuhnya langsung ambruk bersimbah darah, di kediamannya di kawasan Jakarta Pusat.
"Di rumah kami memang parah betul. Mereka masuk, banyak orang, lalu mereka merusak rumah kami. Ayah kami ditembak di sana, bukan sekali dua kali saja, tapi kita menemukan hampir 100 lebih peluru, selongsong peluru," ujar Rianto Nurhadi, putra Letjen MT Haryono, dalam acara iNews Prime pada 30 September 2021, dikutip dari YouTube Official iNews, Rabu (21/9/2022).
Jasad MT Haryono dibawa ke sumur tua di wilayah Lubang Buaya, Jakarta Timur dan ditemukan dan diangkat dari sumur pada 4 Oktober 1965. Bersama jenderal dan perwira TNI AD lainnya, MT Haryono dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta pada 5 Oktober 1965, bertepatan dengan Hari ABRI (sekarang TNI). Ia kemudian mendapatkan kenaikan pangkat menjadi Letnan Jenderal (anumerta) dan dianugerahi predikat pahlawan revolusi.
Peristiwa kelam terjadi di Indonesia pada 30 September 1965. Sebanyak 6 jenderal dan 1 perwira TNI AD (Angkatan Darat) menjadi korban gerakan PKI. Satu dari 6 jenderal yang gugur adalah Letnan Jenderal MT Haryono.
Melansir Ensiklopedi Pahlawan Nasional dari Direktorat Jenderal Kebudayaan tahun 1995, MT Haryono lahir di Surabaya, 20 Januari 1924. Dia memiliki keturunan bangsawan yang didapatkan dari Sunan Giri. Kata 'Mas' di depan namanya menunjukkan bahwa ia adalah bangsawan.
MT Haryono menempuh pendidikan ELS atau sekolah dasar hingga HBS yang setara dengan sekolah menengah umum. Setelah menamatkan pendidikan di HBS, dia masuk ke sekolah kedokteran pada masa pendudukan Jepang atau disebut Ika Dai Gaku di Jakarta.
MT Haryono sempat menjabat sebagai Kepala Kantor Penghubung pada 1 September 1945 dan dipindahkan ke Sekretariat Keamanan per Desember 1945. Ketika memasuki masa Proklamasi, MT Haryono bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan berpangkat mayor. Selama berkiprah di TNI, anak pasangan Mas Harsono Tirtodarmo dan Patimah ini adalah pribadi dengan pembawaan tenang dan bersahaja.
Selain terkenal cerdas, MT Haryono juga memiliki kemampuan berbahasa asing seperti bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan bahasa Jerman yang mumpuni. Maka dari itu, MT Haryono ditunjuk untuk mengikuti berbagai perundingan antara Indonesia dan Belanda ataupun antara Indonesia dengan Inggris. Kemampuan MT Haryono menguasai berbagai bahasa menjadikan ia sosok penting bagi berbagai agenda pemerintah Indonesia.
Salah satu perundingan besar yang diikuti MT Haryono adalah Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Kala itu, ia menjabat sebagai Sekretaris Delegasi Militer Indonesia. Setelahnya, MT Haryono didapuk menjadi atase militer Indonesia di Belanda.
Berkedudukan penting dengan berbagai keterampilan, terutama di bidang perundingan, MT Haryono memiliki karier cemerlang di dunia militer. Pada 1 Juli 1964, MT Haryono yang sudah berpangkat Mayjen (Mayor Jenderal) ditunjuk sebagai Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Saat menjabat sebagai Deputi III itulah pemikiran MT Haryono kerap bertentangan dengan gagasan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pemikirannya juga tak jarang bersinggungan dengan PKI. Dengan tegas, MT Haryono menolak usulan PKI yang ingin memberikan senjata kepada kaum buruh dan petani, yang terkenal dengan sebutan Angkatan Kelima.
Menurut MT Haryono, potensi bahaya besar akan muncul jika buruh dan petani dibekali senjata api hingga terbentuknya Angkatan Kelima. Karena itulah MT Haryono menjadi target pembunuhan pihak pemberontak.
MT Haryono meninggal dunia setelah tubuhnya tertembus timah panas senapan Thomson kepunyaan seorang komandan pasukan Cakrabirawa. Tubuhnya langsung ambruk bersimbah darah, di kediamannya di kawasan Jakarta Pusat.
"Di rumah kami memang parah betul. Mereka masuk, banyak orang, lalu mereka merusak rumah kami. Ayah kami ditembak di sana, bukan sekali dua kali saja, tapi kita menemukan hampir 100 lebih peluru, selongsong peluru," ujar Rianto Nurhadi, putra Letjen MT Haryono, dalam acara iNews Prime pada 30 September 2021, dikutip dari YouTube Official iNews, Rabu (21/9/2022).
Jasad MT Haryono dibawa ke sumur tua di wilayah Lubang Buaya, Jakarta Timur dan ditemukan dan diangkat dari sumur pada 4 Oktober 1965. Bersama jenderal dan perwira TNI AD lainnya, MT Haryono dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta pada 5 Oktober 1965, bertepatan dengan Hari ABRI (sekarang TNI). Ia kemudian mendapatkan kenaikan pangkat menjadi Letnan Jenderal (anumerta) dan dianugerahi predikat pahlawan revolusi.
(zik)