Darurat Kebocoran Data, Ketua DPP Perindo Dorong Pembentukan Satgas Khusus
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kebocoran data menjadi tren global termasuk di Indonesia sejak awal masa pandemi Covid-19. Diawali dengan kebocoran data Tokopedia 91 juta akun pada Mei 2020. Lalu berlanjut dengan berbagai kebocoran data BPJS, KPU, Polri, Pertamina, BI, BUMN dan berbagai lembaga negara, kementerian serta pemerintah daerah.
”Yang paling menyita perhatian adalah kebocoran data Kementerian Kesehatan, data registrasi nomor seluler Kominfo dan juga data pemilih KPU. Kebocoran Kominfo dan KPU baru saja diupload pada sebulan terakhir ini,” ujar Ketua DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Bidang Hankam dan Siber Susaningtyas Ketopati, Senin (12/9/2022).
Perempuan yang akrab disapa Nuning ini menyebut, awalnya kasus kebocoran data ini tidak mendapatkan perhatian publik secara massif, namun dengan hadirnya aktor Bjorka yang viral menyebabkan perhatian masyarakat berpaling.
”Setidaknya beberapa penyebab Bjorka menarik perhatian publik yaitu, menyebut dan menyerang Menkominfo Jonny G Plate, lalu mengancam membocorkan data leaks Istana dan sudah dilakukan. Terakhir yang membuat viral karena Bjorka menyerang Denny Siregar sehingga mendapatkan banyak balasan viral di Twitter,” ucapnya.
Mantan anggota Komisi I DPR ini menilai, penyebab utama banyaknya kebocoran data di Tanah Air antara lain karena ketidaksiapan stakeholders menghadapi arus kencang perubahan siber. Hal itu terlihat dari belum adanya UU PDP, UU KKS yang pada akhirnya lembaga negara serta kementerian ini tanpa petunjuk jelas dan tegas dalam melakukan digitalisasi serta pengamanan siber di lembaga masing-masing.
Penyebab lainnya adalah banyaknya sistem informasi aplikasi yang dibangun lebih dari 24.000 aplikasi dan lebih dari 2.700 database, ini diperparah dengan pengamanan yang seadanya bahkan aplikasi yang tidak terpakai masih banyak yang online dengan tanpa pengawasan sama sekali, alias diabaikan.
”Pada kenyataannya yang jadi masalah ancaman siber belum diutamakan. Kesadaran keamanan informasi belum dimiliki oleh pemimpin dan kesadaran masyarakat juga masih sangat lemah,dianggap ancaman siber itu tidak nyata. Padahal siber ini senjata yang paling ampuh untuk kuasai dunia,” paparnya.
Pengamat militer dan intelijen menambahkan, terkait persoalan ini yang bisa dilakukan untuk perbaikan adalah menyusun dan mengesahkan UU Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) dengan sesegera mungkin. Namun dengan isi yang kuat, misalnya denda dan hukuman bagi lembaga Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang mengalami kebocoran data. ”Jadi PSE ini bukan diposisikan sebagai korban, tetapi sebagai pihak yang bertanggung jawab pada data yang mereka kelola,” tegasnya.
”Yang paling menyita perhatian adalah kebocoran data Kementerian Kesehatan, data registrasi nomor seluler Kominfo dan juga data pemilih KPU. Kebocoran Kominfo dan KPU baru saja diupload pada sebulan terakhir ini,” ujar Ketua DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Bidang Hankam dan Siber Susaningtyas Ketopati, Senin (12/9/2022).
Perempuan yang akrab disapa Nuning ini menyebut, awalnya kasus kebocoran data ini tidak mendapatkan perhatian publik secara massif, namun dengan hadirnya aktor Bjorka yang viral menyebabkan perhatian masyarakat berpaling.
”Setidaknya beberapa penyebab Bjorka menarik perhatian publik yaitu, menyebut dan menyerang Menkominfo Jonny G Plate, lalu mengancam membocorkan data leaks Istana dan sudah dilakukan. Terakhir yang membuat viral karena Bjorka menyerang Denny Siregar sehingga mendapatkan banyak balasan viral di Twitter,” ucapnya.
Mantan anggota Komisi I DPR ini menilai, penyebab utama banyaknya kebocoran data di Tanah Air antara lain karena ketidaksiapan stakeholders menghadapi arus kencang perubahan siber. Hal itu terlihat dari belum adanya UU PDP, UU KKS yang pada akhirnya lembaga negara serta kementerian ini tanpa petunjuk jelas dan tegas dalam melakukan digitalisasi serta pengamanan siber di lembaga masing-masing.
Penyebab lainnya adalah banyaknya sistem informasi aplikasi yang dibangun lebih dari 24.000 aplikasi dan lebih dari 2.700 database, ini diperparah dengan pengamanan yang seadanya bahkan aplikasi yang tidak terpakai masih banyak yang online dengan tanpa pengawasan sama sekali, alias diabaikan.
”Pada kenyataannya yang jadi masalah ancaman siber belum diutamakan. Kesadaran keamanan informasi belum dimiliki oleh pemimpin dan kesadaran masyarakat juga masih sangat lemah,dianggap ancaman siber itu tidak nyata. Padahal siber ini senjata yang paling ampuh untuk kuasai dunia,” paparnya.
Pengamat militer dan intelijen menambahkan, terkait persoalan ini yang bisa dilakukan untuk perbaikan adalah menyusun dan mengesahkan UU Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) dengan sesegera mungkin. Namun dengan isi yang kuat, misalnya denda dan hukuman bagi lembaga Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang mengalami kebocoran data. ”Jadi PSE ini bukan diposisikan sebagai korban, tetapi sebagai pihak yang bertanggung jawab pada data yang mereka kelola,” tegasnya.