KSAD Nyatakan Akur dengan Panglima TNI, Effendi Simbolon: Saya Bilang Disharmoni
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi I DPR dari PDIP Effendi Simbolon mengaku membuka isu hubungan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dengan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurrachman berpijak pada Undang-Undang Nomor 34/2004. Beleid tersebut mengatur hubungan dan tugas antara keduanya.
"Saya pertama enggak pernah mengatakan keretakan. Saya bilang disharmoni. Kamu lihat di UU 34, fungsinya apa, tugasnya, tanggung jawabnya apa panglima. Jelas itu. Sekali lagi satu," kata Effendi kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (8/9/2022).
Effendi menegaskan tidak dalam posisi berpihak baik kepada Andika maupun Dudung. Namun dia mengingatkan kerentanan TNI jika terjadi polarisasi. Contoh paling nyata adalah polarisasi pilkada, yang membuat orang sampai mati.
"Kalau itu terjadi di TNI, apalagi ada niat orang memberikan kebebasan hak politik kepada TNI, prajurit, dan sebagainya," ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Effendi, Presiden Jokowi perlu turun tangan, jangan sampai berpikiran bahwa disharmoni ini berlangsung dalam waktu yang lama. Dan jangan sampai disharmoni antara Jenderal (Purn) Moeldoko dengan Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo berulang.
"Harus, jangan sampai orang berpikiran bahwa ini dalam tanda petik ya. Karena ini berlangsung sudah cukup lama. Bukan hanya jaman Pak Andika, Pak Dudung. Pak Moeldoko dengan Pak Gatot. Kan berulang," ujarnya.
"Tapi engggak boleh. Ada apa. Memang manajemen konflik ini kan kadang-kadang suka dipakai juga untuk tidak terjadi konsolidasi kekuatan," sambung Effendi.
Saat ditanya alasan disharmoni, politikus PDIP ini enggan membicarakannya saat ini, karena kalau dia mengungkapnya, sama saja dengan ia yang bertanya dan ia juga yang menjawabnya. Untuk itu, ia minta penjelasan dari Panglima TNI pada rapat kemarin.
"Jadi pertanyaan saya ini saya lemparkan dulu ke Pak Andika. Jenderal Andika, mohon untuk dijelaskan saya ada pertanyaan dari 80 pertanyaan karena waktu saya random aja. Selebihnya saya akan serahkan tertulis," terangnya.
"Saya pertama enggak pernah mengatakan keretakan. Saya bilang disharmoni. Kamu lihat di UU 34, fungsinya apa, tugasnya, tanggung jawabnya apa panglima. Jelas itu. Sekali lagi satu," kata Effendi kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (8/9/2022).
Effendi menegaskan tidak dalam posisi berpihak baik kepada Andika maupun Dudung. Namun dia mengingatkan kerentanan TNI jika terjadi polarisasi. Contoh paling nyata adalah polarisasi pilkada, yang membuat orang sampai mati.
"Kalau itu terjadi di TNI, apalagi ada niat orang memberikan kebebasan hak politik kepada TNI, prajurit, dan sebagainya," ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Effendi, Presiden Jokowi perlu turun tangan, jangan sampai berpikiran bahwa disharmoni ini berlangsung dalam waktu yang lama. Dan jangan sampai disharmoni antara Jenderal (Purn) Moeldoko dengan Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo berulang.
"Harus, jangan sampai orang berpikiran bahwa ini dalam tanda petik ya. Karena ini berlangsung sudah cukup lama. Bukan hanya jaman Pak Andika, Pak Dudung. Pak Moeldoko dengan Pak Gatot. Kan berulang," ujarnya.
"Tapi engggak boleh. Ada apa. Memang manajemen konflik ini kan kadang-kadang suka dipakai juga untuk tidak terjadi konsolidasi kekuatan," sambung Effendi.
Saat ditanya alasan disharmoni, politikus PDIP ini enggan membicarakannya saat ini, karena kalau dia mengungkapnya, sama saja dengan ia yang bertanya dan ia juga yang menjawabnya. Untuk itu, ia minta penjelasan dari Panglima TNI pada rapat kemarin.
"Jadi pertanyaan saya ini saya lemparkan dulu ke Pak Andika. Jenderal Andika, mohon untuk dijelaskan saya ada pertanyaan dari 80 pertanyaan karena waktu saya random aja. Selebihnya saya akan serahkan tertulis," terangnya.