Fadli Zon Ungkap Narasi Menyesatkan di Balik Kenaikan Harga BBM
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota DPR dari Fraksi Gerindra Fadli Zon menilai pemerintah seharusnya tidak perlu menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di tengah proses pemulihan ekonomi masyarakat pascapandemi Covid-19. Kebijakan tersebut akan memicu inflasi dan berimplikasi serius terhadap ekonomi yang baru menggeliat kembali.
Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo telah mengumumkan kenaikan harga BBM jenis solar, pertalite, dan pertamax di tengah harga minyak dunia yang terus turun sejak Agustus 2022. Harga pertalite naik hampir 31%, dari sebelumnya Rp7.650 menjadi Rp10.000 per liter; harga solar bersubsidi naik lebih dari 32%, dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter, sedangkan harga pertamax naik sebesar 16%, dari Rp12.500 menjadi Rp14.500 per liter.
"Kebijakan ini penuh dengan tanda tanya. Apalagi, sejumlah narasi yang dibangun pemerintah untuk membenarkan kebijakan ini terbukti menyesatkan," kata Fadli Zon dalam keterangan tertulisnya, Rabu (7/9/2022).
Fadli Zon mencatat ada beberapa narasi menyesatkan terkait dengan kebijakan harga BBM dan subsidi pemerintah di bidang energi. Pertama, Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah melontarkan pernyataan bahwa anggaran subsidi energi mencapai Rp502 triliun dan jumlah itu sangat membebani APBN. Pernyataan itu telah diprotes oleh banyak kalangan karena dianggap tidak menggambarkan kenyataan yang sebenarnya.
"Nyatanya, subsidi BBM di dalam APBN kita hanya sebesar Rp149,4 triliun, dari total subsidi energi sebesar Rp208,9 triliun," papar Anggota Komisi I DPR ini.
Kedua, pemerintah selalu mengatakan kenaikan harga minyak telah menambah beban APBN. Padahal meskipun tergolong net oil importer, setiap kenaikan harga minyak dunia sebenarnya ikut meningkatkan pendapatan pemerintah. Fadli Zon mengutip Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan, dengan produksi minyak mentah Indonesia yang mencapai 611.000 barel per hari, maka dengan tingkat harga minyak saat ini, pendapatan negara secara umum sebenarnya masih surplus sekitar Rp33,15 triliun.
Perhitungan tersebut kurang lebih senapas dengan hasil kajian INDEF pada Maret 2022, yang menyatakan bahwa kenaikan harga ICP (Indonesian Crude Price) USD1 per barel akan menambah pendapatan negara Rp3 triliun, di mana pada sisi belanja negara akan memberi tambahan Rp2,6 triliun. Karena itu dengan kenaikan harga ICP, diperkirakan masih ada surplus sekitar Rp400 miliar.
Baca juga: Sri Mulyani Pusing Jika Harga BBM Tak Naik, Subsidi Jebol Jadi Rp698 Triliun
"Jika mengacu pada skenario tersebut, selisih antara harga ICP sebagaimana diasumsikan APBN 2022, yaitu sebesar USD63 per barel, dengan harga riil ICP yang menyentuh rata-rata angka USD100 per barel, tidaklah otomatis menghasilkan kerugian. Selisih harga ICP sebesar USD37 per barel itu, menurut INDEF, justru telah menambah pendapatan negara sebesar Rp111 triliun. Dari sisi belanja memang mengakibatkan bertambahnya belanja negara, tapi jumlahnya menurut INDEF hanya sebesar Rp96,2 triliun. Sehingga, negara sebenarnya masih mengantongi surplus anggaran sebesar Rp14,8 triliun," ungkap Fadli Zon.
Ketiga, APBN berfungsi sebagai shock absorber atau peredam guncangan. Jika Presiden dan Menteri Keuangan mengatakan subsidi untuk rakyat sebagai beban bagi APBN, hal itu jelas menyalahi fungsi dari anggaran publik tersebut.
Keempat, pernyataan Menteri Keuangan bahwa subsidi energi bisa digunakan untuk membangun 227.000 sekolah, kata Fadli Zon, adalah pernyataan menyesatkan. Bagi rakyat, hubungan antara subsidi energi dengan pembangunan sekolah bersifat komplementer, bukan substitutif. Rakyat sama-sama membutuhkan keduanya, bukan hanya salah satu.
Kelima, dari angka Rp502 triliun yang disebut pemerintah sebagai subsidi energi, bagian terbesarnya adalah anggaran kompensasi energi. Mata anggaran ini yang tidak pernah diatur dalam undang-undang.
"Anggaran kompensasi energi ini, menurut klaim Menteri Keuangan, diatur dalam Perpres Nomor 98/2022 tentang Rincian APBN 2022. Namun, kita tidak akan menemukan kata kompensasi di dalam Perpres tersebut," kata Fadli Zon.
Penyebutan kata itu, menurut Fadli Zon, muncul di Perpres Nomor 117/2021 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM. Aturan turunannya adalah Permenkeu Nomor 159/PMK.02/2021 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Kompensasi atas Kekurangan Penerimaan Badan Usaha Akibat Kebijakan Penetapan Harga Jual Eceran BBM dan Tarif Tenaga Listrik.
"Ada satu anggaran besar, namun dasar aturannya hanya berbekal Perpres dan Permenkeu, jelas harus dipertanyakan," katanya.
Fadli Zon mencatat, dalam revisi APBN 2022, seiring dengan kenaikan harga minyak mentah dunia, harga ICP telah direvisi menjadi USD100 per barel. Artinya, asumsinya telah dinaikkan 58,7%. Pada saat yang sama jumlah kuota solar juga telah dinaikkan menjadi 17,44 kiloliter (naik 15%), sementara kuota pertalite dinaikkan menjadi 29,7 juta kiloliter (naik 26%). Dengan kenaikan tersebut, jumlah anggaran subsidi energi kemudian berubah menjadi Rp208,9 triliun, atau naik Rp74,9 triliun, atau setengah kali lipat dari jumlah sebelumnya yang hanya Rp134 triliun.
Anehnya, kata Fadli Zon, jumlah anggaran kompensasi energi justru meroket tajam, karena telah naik dari sebelumnya Rp18,5 triliun (APBN 2022), menjadi Rp216,1 triliun, atau naik hampir 12 kali lipat (1.068%). Kenaikan ini tidak proporsional dengan besaran kenaikan komponen-komponen anggaran sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
"Bagaimana bisa anggaran kompensasi energi naik hingga 12 kali lipat (1.068%), sementara harga BBM hanya naik 58,7%, kuota solar hanya naik 15%, dan kuota pertalite hanya naik 26%?" tanya Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini.
Kenaikan anggaran kompensasi energi yang tidak masuk akal tersebut, kata Fadli Zon, yang telah melahirkan angka Rp502,1 triliun sebagaimana yang disebut oleh Presiden dan Menteri Keuangan. "Dengan lima catatan tersebut, sangat aneh kalau pemerintah kemudian membuat narasi seolah subsidi energi telah membuat APBN jebol, lalu memaksakan kenaikan harga BBM di tengah turunnya harga minyak dunia," katanya.
Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo telah mengumumkan kenaikan harga BBM jenis solar, pertalite, dan pertamax di tengah harga minyak dunia yang terus turun sejak Agustus 2022. Harga pertalite naik hampir 31%, dari sebelumnya Rp7.650 menjadi Rp10.000 per liter; harga solar bersubsidi naik lebih dari 32%, dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter, sedangkan harga pertamax naik sebesar 16%, dari Rp12.500 menjadi Rp14.500 per liter.
"Kebijakan ini penuh dengan tanda tanya. Apalagi, sejumlah narasi yang dibangun pemerintah untuk membenarkan kebijakan ini terbukti menyesatkan," kata Fadli Zon dalam keterangan tertulisnya, Rabu (7/9/2022).
Fadli Zon mencatat ada beberapa narasi menyesatkan terkait dengan kebijakan harga BBM dan subsidi pemerintah di bidang energi. Pertama, Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah melontarkan pernyataan bahwa anggaran subsidi energi mencapai Rp502 triliun dan jumlah itu sangat membebani APBN. Pernyataan itu telah diprotes oleh banyak kalangan karena dianggap tidak menggambarkan kenyataan yang sebenarnya.
"Nyatanya, subsidi BBM di dalam APBN kita hanya sebesar Rp149,4 triliun, dari total subsidi energi sebesar Rp208,9 triliun," papar Anggota Komisi I DPR ini.
Kedua, pemerintah selalu mengatakan kenaikan harga minyak telah menambah beban APBN. Padahal meskipun tergolong net oil importer, setiap kenaikan harga minyak dunia sebenarnya ikut meningkatkan pendapatan pemerintah. Fadli Zon mengutip Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan, dengan produksi minyak mentah Indonesia yang mencapai 611.000 barel per hari, maka dengan tingkat harga minyak saat ini, pendapatan negara secara umum sebenarnya masih surplus sekitar Rp33,15 triliun.
Perhitungan tersebut kurang lebih senapas dengan hasil kajian INDEF pada Maret 2022, yang menyatakan bahwa kenaikan harga ICP (Indonesian Crude Price) USD1 per barel akan menambah pendapatan negara Rp3 triliun, di mana pada sisi belanja negara akan memberi tambahan Rp2,6 triliun. Karena itu dengan kenaikan harga ICP, diperkirakan masih ada surplus sekitar Rp400 miliar.
Baca juga: Sri Mulyani Pusing Jika Harga BBM Tak Naik, Subsidi Jebol Jadi Rp698 Triliun
"Jika mengacu pada skenario tersebut, selisih antara harga ICP sebagaimana diasumsikan APBN 2022, yaitu sebesar USD63 per barel, dengan harga riil ICP yang menyentuh rata-rata angka USD100 per barel, tidaklah otomatis menghasilkan kerugian. Selisih harga ICP sebesar USD37 per barel itu, menurut INDEF, justru telah menambah pendapatan negara sebesar Rp111 triliun. Dari sisi belanja memang mengakibatkan bertambahnya belanja negara, tapi jumlahnya menurut INDEF hanya sebesar Rp96,2 triliun. Sehingga, negara sebenarnya masih mengantongi surplus anggaran sebesar Rp14,8 triliun," ungkap Fadli Zon.
Ketiga, APBN berfungsi sebagai shock absorber atau peredam guncangan. Jika Presiden dan Menteri Keuangan mengatakan subsidi untuk rakyat sebagai beban bagi APBN, hal itu jelas menyalahi fungsi dari anggaran publik tersebut.
Keempat, pernyataan Menteri Keuangan bahwa subsidi energi bisa digunakan untuk membangun 227.000 sekolah, kata Fadli Zon, adalah pernyataan menyesatkan. Bagi rakyat, hubungan antara subsidi energi dengan pembangunan sekolah bersifat komplementer, bukan substitutif. Rakyat sama-sama membutuhkan keduanya, bukan hanya salah satu.
Kelima, dari angka Rp502 triliun yang disebut pemerintah sebagai subsidi energi, bagian terbesarnya adalah anggaran kompensasi energi. Mata anggaran ini yang tidak pernah diatur dalam undang-undang.
"Anggaran kompensasi energi ini, menurut klaim Menteri Keuangan, diatur dalam Perpres Nomor 98/2022 tentang Rincian APBN 2022. Namun, kita tidak akan menemukan kata kompensasi di dalam Perpres tersebut," kata Fadli Zon.
Penyebutan kata itu, menurut Fadli Zon, muncul di Perpres Nomor 117/2021 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM. Aturan turunannya adalah Permenkeu Nomor 159/PMK.02/2021 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Kompensasi atas Kekurangan Penerimaan Badan Usaha Akibat Kebijakan Penetapan Harga Jual Eceran BBM dan Tarif Tenaga Listrik.
"Ada satu anggaran besar, namun dasar aturannya hanya berbekal Perpres dan Permenkeu, jelas harus dipertanyakan," katanya.
Fadli Zon mencatat, dalam revisi APBN 2022, seiring dengan kenaikan harga minyak mentah dunia, harga ICP telah direvisi menjadi USD100 per barel. Artinya, asumsinya telah dinaikkan 58,7%. Pada saat yang sama jumlah kuota solar juga telah dinaikkan menjadi 17,44 kiloliter (naik 15%), sementara kuota pertalite dinaikkan menjadi 29,7 juta kiloliter (naik 26%). Dengan kenaikan tersebut, jumlah anggaran subsidi energi kemudian berubah menjadi Rp208,9 triliun, atau naik Rp74,9 triliun, atau setengah kali lipat dari jumlah sebelumnya yang hanya Rp134 triliun.
Anehnya, kata Fadli Zon, jumlah anggaran kompensasi energi justru meroket tajam, karena telah naik dari sebelumnya Rp18,5 triliun (APBN 2022), menjadi Rp216,1 triliun, atau naik hampir 12 kali lipat (1.068%). Kenaikan ini tidak proporsional dengan besaran kenaikan komponen-komponen anggaran sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
"Bagaimana bisa anggaran kompensasi energi naik hingga 12 kali lipat (1.068%), sementara harga BBM hanya naik 58,7%, kuota solar hanya naik 15%, dan kuota pertalite hanya naik 26%?" tanya Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini.
Kenaikan anggaran kompensasi energi yang tidak masuk akal tersebut, kata Fadli Zon, yang telah melahirkan angka Rp502,1 triliun sebagaimana yang disebut oleh Presiden dan Menteri Keuangan. "Dengan lima catatan tersebut, sangat aneh kalau pemerintah kemudian membuat narasi seolah subsidi energi telah membuat APBN jebol, lalu memaksakan kenaikan harga BBM di tengah turunnya harga minyak dunia," katanya.
(abd)