Konstitusi Harus Mampu Antisipasi Dampak Proses Akulturasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat mengatakan bahwa konstitusi harus mampu mengantisipasi perkembangan budaya sebagai dampak proses akulturasi yang terjadi dalam masyarakat modern. Hal ini perlu menjadi perhatian bersama demi membangun masa depan yang lebih baik.
"Dunia terus berubah dan kita mesti memperbarui diri agar nilai-nilai kebangsaan tidak luluh dalam inovasi teknologi yang menawarkan segala sesuatu secara cepat," kata Lestari Moerdijat dalam diskusi daring bertema 'Konstitusi dan Proses Akulturasi Bangsa Indonesia' yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 bersama Center for Prehistory and Austronesian Studies, Rabu (24/8/2022).
Menurutnya, proses akulturasi adalah dinamika yang luar biasa, sehingga dalam 5-10 tahun terakhir, bangsa Indonesia kaget dengan munculnya berbagai masalah yang tumbuh akibat mempersoalkan perbedaan seperti menafikan kebhinnekaan. Proses akulturasi bisa dalam bentuk nilai-nilai intelektual dan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi dan menjadi milik bersama.
Baca juga: Peringatan Hari Konstitusi dan HUT ke-77 MPR RI
Rerie, sapaan akrab Lestari Moerdijat, mengatakan, konstitusi secara umum memuat tata aturan kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk pembentukan, pembagian wewenang, cara kerja berbagai lembaga negara, dan hak asasi manusia. Artinya nilai budaya dan kehidupan berbangsa dan bernegara termuat secara utuh dalam konstitusi UUD 1945.
"Undang-Undang Dasar 1945 menjadi pedoman untuk menjamin, menata kehidupan berbangsa dan bernegara serta merumuskan cita-cita yang sudah, sedang, dan akan dicapai melalui penyelenggaraan kehidupan bernegara," kata Anggota Komisi X DPR dari Dapil II Jawa Tengah ini.
Konstitusi di Indonesia, ujar Rerie, diharapkan memberi ruang yang memadai dalam mengantisipasi perkembangan budaya dan diharapkan mampu mengantisipasi perkembangan zaman.
Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar berpendapat proses akulturasi membentuk negara Indonesia memiliki keberagaman. Di tengah keberagaman itu ada persamaan yang mengikatnya, salah satunya adalah bahasa Indonesia. Namun, bahasa saat ini juga banyak dipengaruhi dampak akulturasi yang terjadi di dunia.
Bahtiar yakin konstitusi Republik Indonesia cukup menjamin berlangsungnya kehidupan berbangsa dan jati diri anak bangsa. Namun untuk tetap memperkuat jati diri bangsa, maka harus dicek kembali dukungan aturan yang ada.
"Proses akulturasi terjadi setiap saat dan setiap waktu akibat interaksi warga bangsa dengan warga dunia yang lebih intens lewat pemanfaatan teknologi," katanya.
Pada situasi ini, menurut Bahtiar, penting bagi negara berperan melakukan pemeliharaan dan penguatan agar setiap warga negara tetap memiliki jati diri bangsa yang tinggi. Bahtiar berharap kepala daerah terpilih pada Pemilu serentak pada 2024 memiliki visi kebudayaan yang baik.
"Dunia terus berubah dan kita mesti memperbarui diri agar nilai-nilai kebangsaan tidak luluh dalam inovasi teknologi yang menawarkan segala sesuatu secara cepat," kata Lestari Moerdijat dalam diskusi daring bertema 'Konstitusi dan Proses Akulturasi Bangsa Indonesia' yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 bersama Center for Prehistory and Austronesian Studies, Rabu (24/8/2022).
Menurutnya, proses akulturasi adalah dinamika yang luar biasa, sehingga dalam 5-10 tahun terakhir, bangsa Indonesia kaget dengan munculnya berbagai masalah yang tumbuh akibat mempersoalkan perbedaan seperti menafikan kebhinnekaan. Proses akulturasi bisa dalam bentuk nilai-nilai intelektual dan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi dan menjadi milik bersama.
Baca juga: Peringatan Hari Konstitusi dan HUT ke-77 MPR RI
Rerie, sapaan akrab Lestari Moerdijat, mengatakan, konstitusi secara umum memuat tata aturan kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk pembentukan, pembagian wewenang, cara kerja berbagai lembaga negara, dan hak asasi manusia. Artinya nilai budaya dan kehidupan berbangsa dan bernegara termuat secara utuh dalam konstitusi UUD 1945.
"Undang-Undang Dasar 1945 menjadi pedoman untuk menjamin, menata kehidupan berbangsa dan bernegara serta merumuskan cita-cita yang sudah, sedang, dan akan dicapai melalui penyelenggaraan kehidupan bernegara," kata Anggota Komisi X DPR dari Dapil II Jawa Tengah ini.
Konstitusi di Indonesia, ujar Rerie, diharapkan memberi ruang yang memadai dalam mengantisipasi perkembangan budaya dan diharapkan mampu mengantisipasi perkembangan zaman.
Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar berpendapat proses akulturasi membentuk negara Indonesia memiliki keberagaman. Di tengah keberagaman itu ada persamaan yang mengikatnya, salah satunya adalah bahasa Indonesia. Namun, bahasa saat ini juga banyak dipengaruhi dampak akulturasi yang terjadi di dunia.
Bahtiar yakin konstitusi Republik Indonesia cukup menjamin berlangsungnya kehidupan berbangsa dan jati diri anak bangsa. Namun untuk tetap memperkuat jati diri bangsa, maka harus dicek kembali dukungan aturan yang ada.
"Proses akulturasi terjadi setiap saat dan setiap waktu akibat interaksi warga bangsa dengan warga dunia yang lebih intens lewat pemanfaatan teknologi," katanya.
Pada situasi ini, menurut Bahtiar, penting bagi negara berperan melakukan pemeliharaan dan penguatan agar setiap warga negara tetap memiliki jati diri bangsa yang tinggi. Bahtiar berharap kepala daerah terpilih pada Pemilu serentak pada 2024 memiliki visi kebudayaan yang baik.