Buru Gerombolan Kahar Muzakkar, Jenderal Kopassus Ini Termangu Tembak Musuh di Misi Pertama
loading...
A
A
A
Sambil berdiri di depan mayat itu, lama Soegito termangu, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Benaknya berkecamuk, pikirannya menerawang tidak jelas, dan suara-suara halus bersahutan di batinnya saling berperang.
"Pertama kali saya bunuh orang meski saya tidak yakin betul apakah itu tembakan saya atau dari anggota yang lain," keluh Soegito. Para anggota mengatakan tidak menembak ke arah sasaran itu. Misi pertama dan kontak senjata pertama, yang langsung menjatuhkan korban di pihak lawan.
Bintaranya yang melihat perubahan sikap di dirinya setelah itu, kemudian menegur dan membesarkan hatinya. Dia bilang, lupakan saja kejadian tadi, karena begitulah hukumnya dalam bertempur, kalau kita tidak menembak maka kita yang ditembak.
"Saya merasa shock, saya tidak pernah menceritakan hal ini kepada teman-teman, bahkan sampai sekarang," ujar Soegito.
Menurutnya selain shock, ada perasaan malu jika kondisi ini diceritakannya kepada teman-temannya. Rasa yang hampir sama kembali dialaminya saat perwiranya Mayor Inf Atang Sutresna, gugur bersama beberapa anggota lainnya pada hari pertama Operasi Seroja di Dili, 7 Desember 1975.
Tidak lama kemudian Operasi Kilat dinyatakan selesai setelah Kahar Muzakkar berhasil ditembak mati pada 3 Februari 1965. Mantan Dangrup 1 RPKAD ini dan teman-temannya yang lain kembali ditarik ke Cijantung, dipulangkan dengan menumpang pesawat terbang. Setibanya di Cijantung, kelompok perwira ini langsung diminta mempersiapkan diri guna mengikuti fatihan komando di Batujajar.
Selama puluhan tahun pengalaman traumatik kontak tembak pertama itu membeku di benak pria yang pernah menjabat Pangkostrad ini. Karena bisa mengendalikan emosinya, peristiwa itu memang tidak sampai membuatnya ragu-ragu dalam bertindak. Sebaliknya peristiwa itu dijadikannya bekal berharga untuk menghadapi medan penugasan selanjutnya yang lebih berat.
Suatu hari kelak sebagai Pangdam Jaya, Soegito berkesempatan memberikan bantuan peralatan anti huru-hara untuk Akademi Militer di Magelang. Saat itu ia didaulat memberikan pengarahan kepada seluruh taruna, termasuk menceritakan pengalaman operasinya. Secara tidak sengaja, peristiwa traumatik ini terlontar begitu saja dari mulutnya di depan hadirin.
"Pertama kali saya bunuh orang meski saya tidak yakin betul apakah itu tembakan saya atau dari anggota yang lain," keluh Soegito. Para anggota mengatakan tidak menembak ke arah sasaran itu. Misi pertama dan kontak senjata pertama, yang langsung menjatuhkan korban di pihak lawan.
Bintaranya yang melihat perubahan sikap di dirinya setelah itu, kemudian menegur dan membesarkan hatinya. Dia bilang, lupakan saja kejadian tadi, karena begitulah hukumnya dalam bertempur, kalau kita tidak menembak maka kita yang ditembak.
"Saya merasa shock, saya tidak pernah menceritakan hal ini kepada teman-teman, bahkan sampai sekarang," ujar Soegito.
Menurutnya selain shock, ada perasaan malu jika kondisi ini diceritakannya kepada teman-temannya. Rasa yang hampir sama kembali dialaminya saat perwiranya Mayor Inf Atang Sutresna, gugur bersama beberapa anggota lainnya pada hari pertama Operasi Seroja di Dili, 7 Desember 1975.
Tidak lama kemudian Operasi Kilat dinyatakan selesai setelah Kahar Muzakkar berhasil ditembak mati pada 3 Februari 1965. Mantan Dangrup 1 RPKAD ini dan teman-temannya yang lain kembali ditarik ke Cijantung, dipulangkan dengan menumpang pesawat terbang. Setibanya di Cijantung, kelompok perwira ini langsung diminta mempersiapkan diri guna mengikuti fatihan komando di Batujajar.
Selama puluhan tahun pengalaman traumatik kontak tembak pertama itu membeku di benak pria yang pernah menjabat Pangkostrad ini. Karena bisa mengendalikan emosinya, peristiwa itu memang tidak sampai membuatnya ragu-ragu dalam bertindak. Sebaliknya peristiwa itu dijadikannya bekal berharga untuk menghadapi medan penugasan selanjutnya yang lebih berat.
Suatu hari kelak sebagai Pangdam Jaya, Soegito berkesempatan memberikan bantuan peralatan anti huru-hara untuk Akademi Militer di Magelang. Saat itu ia didaulat memberikan pengarahan kepada seluruh taruna, termasuk menceritakan pengalaman operasinya. Secara tidak sengaja, peristiwa traumatik ini terlontar begitu saja dari mulutnya di depan hadirin.
(kri)