Komisi VI DPR Minta Pemerintah Perhatikan Nasib Petani Sawit

Sabtu, 25 Juni 2022 - 01:21 WIB
loading...
Komisi VI DPR Minta Pemerintah Perhatikan Nasib Petani Sawit
Anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Storus meminta pemerintah memperhatikan petani sawit menyusul harga TBS sawit yang terjun bebas. Foto/YorriFarli/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Storus meminta pemerintah memperhatikan petani sawit menyusul harga Tanda Buah Segar (TBS) sawit yang terjun bebas. Saat ini harga riil TBS di lapangan berkisar antara Rp400 hingga Rp1.000/kg TBS.

Anjloknya harga TBS sawit du bawah harga keekonomian sangat merugikan petani. Apalagi saat ini harga pupuk melonjak tajam di luar daya beli petani. Jika tidak dipupuk, maka sudah dapat dipastikan produktivitas sawit pada tahun depan menurun. Di luar itu, kata Deddy, petani juga harus mengeluarkan biaya untuk perawatan, pemanenan, dan pengangkutan. Belum lagi cicilan bank dan biaya hidupnya.

"Petani sawit kecil kita itu nasibnya ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula, sangat mengenaskan," kata ujar Deddy dalam keterangan tertulisnya, Jumat (24/6/2022).

Politikus PDIP itu mempertanyakan anomali antara harga global, domestik dengan harga keekonomian TBS dan minyak goreng yang tidak sinkron. Permintaan minyak sawit mentah (CPO) global terlihat mengalami penurunan hampir 30% dan harga patokan sudah di angka 4,632 Ringgit Malaysia (USD1,053) atau sekitar Rp15.584/kg per 22 Juni 2022. Angka itu jika dikurangi pajak ekspor, pungutan levi, dan biaya port di luar kewajiban DMO berarti harga CPO domestik seharusnya berada di Rp11.026/kg.

Selanjutnya jika merujuk harga domestik yang mengacu pada lelang ditambah kewajiban DMO 16,7%, maka harga CPO harusnya berada di Rp10.780/kg. Deddy menjelaskan, jika harga domestik sebesar itu, maka logikanya harga keekonomian TBS petani (dengan rendemen 20%) seharusnya berada di atas Rp2.000/kg tergantung daerahnya atau rata-rata Rp2.156/kg. Namun fakta menunjukkan bahwa harga riil di lapangan berada di bawah Rp1.500. Bahkan di banyak daerah sudah terjun bebas di kisaran Rp400–Rp1.000/kg TBS.

"Sungguh mengerikan bahwa harga sawit produksi petani terpangkas hingga 80% dibandingkan sebelum moratorium," katanya.

Menurut Deddy, pemicu rontoknya harga TBS petani disebabkan beberapa hal. Pertama, stok CPO dalam negeri sudah meluap, sehingga pabrik kelapa sawit tidak lagi mampu menampung sawit rakyat. Tangki CPO sudah penuh dan mengalami kelebihan pasokan, sehingga akhirnya harga TBS terjun bebas.

Kedua, proses perizinan ekspor (PE) yang sangat lambat karena baru diberikan setelah kewajiban DMO 85% tiba di pabrik minyak goreng yang ditunjuk. Prosedur ini sangat memakan waktu dan menyebabkan tangki penyimpanan meluap dan tidak mampu menampung. Bahkan karena panjangnya proses tersebut kualitas CPO juga jadi terpengaruh, karena jika TBS yang diolah pabrik sudah lewat matang, maka kadar asam lemak bebas menjadi tinggi.



"Padahal standar CPO yang baik itu harus memiliki kadas ALB di bawah 3%," ujarnya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3348 seconds (0.1#10.140)