Menciptakan 'Reputational Capital' di Kawasan Candi Borobudur

Selasa, 14 Juni 2022 - 13:54 WIB
loading...
Menciptakan Reputational Capital di Kawasan Candi Borobudur
Diah Ayu Candraningrum (Foto: Ist)
A A A
Diah Ayu Candraningrum
Pengajar Bidang Komunikasi Pemasaran Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara,
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia

PEKAN lalu, publik dibuat tercengang dengan munculnya informasi tentang rencana kenaikan harga tiket masuk ke atas Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Kabar tersebut awalnya disampaikan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan melalui akun instagramnya.

Luhut dalam salah satu postingannya menyebutkan bahwa harga tiket Candi Borobudur akan naik menjadi Rp750.000 per orang bagi pengunjung lokal. Sedangkan untuk pengunjung mancanegara, tarif tiket naik menjadi USD100 atau sekitar Rp1,4 juta per orang.

Namun, setelah menerima banyak masukan dan kritik, akhirnya akhirnya kenaikan tiket tersebut ditunda. Adapun rencana tersebut dikatakan oleh Luhut telah melalui kajian mendalam.

Lalu apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah dalam mengembangkan pariwisata di Candi Borobudur pascaheboh soal harga tiket naik ke atas candi yang fantastis? Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengembangkan potensi daerah di sekitar Candi Borobudur. Seperti diketahui, di sekitar areal bangunan candi yang berlokasi di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah ini, terdapat 51 desa wisata dari 272 desa di Magelang.

Masing-masing desa wisata tersebut memiliki banyak potensi, baik potensi kekayaan alam maupun industri kreatif serta kearifan lokal, yang menarik bagi wisatawan. Seperti desa wisata Candirejo, Wanurejo, dan Majaksingi, di mana masing-masing menawarkan kekayaan kuliner, produk souvenir tradisional, pemandangan alami, kegiatan olahraga, kesenian tradisional, dan sebagainya.

Sayangnya, potensi tersembunyi tersebut belum dikomunikasikan dan dipromosikan secara intensif kepada khalayak karena selama ini masyarakat hanya berfokus pada wisata ke situs budaya Candi Borobudur. Karena itulah, kini saat yang tepat untuk melakukan upaya branding terhadap desa-desa wisata tersebut sehingga masyarakat lebih mengenal secara mendalam mengenai permata tersembunyi atau hidden gems yang ada di sekitar warisan budaya tersebut.

Upaya lain yang harus dilakukan adalah menarik perhatian wisatawan asing maupun lokal, untuk menghabiskan waktu lebih lama di Magelang. Karena, meski secara administrasi kawasan Candi Borobudur masuk dalam wilayah Kabupaten Magelang, namun wisatawan yang berkunjung biasanya lebih memilih mengunjungi dan tinggal di Kota Yogyakarta, yang dianggap menawarkan banyak alternatif hiburan dan pariwisata.

Hal inilah yang membuat kemajuan desa wisata di sekitar Candi Borobudur ini masih bergantung pada wisatawan yang datang berkunjung dengan tujuan utama mengunjungi candi Budha tersebut.

Cara yang dirasa tepat untuk melakukan upaya branding desa wisata tadi adalah menciptakan modal reputasi (reputational capital) yang kuat bagi masing-masing desa wisata.

Modal reputasi sebetulnya bukanlah konsep baru, melainkan turunan dari bidang public relations yakni corporate association yang didefinisikan oleh Brown & Dacin (1997) sebagai label umum tentang sebuah organisasi, yang berisi segala informasi yang diketahui oleh masyarakat. Istilah ini menuju pada studi organisasi dan bukan menyasar individu.

Modal reputasi adalah salah satu sumber keunggulan kompetitif (competitive advantage) yang meliputi aset tak terlihat (intangible assets) seperti konsumen dan kekuatan merek. Reputasi yang tak kasat mata ini tertancap kuat di benak para pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya melalui lima komponen, yakni: 1) Kesadaran publik; 2) Ikatan emosional; 3) Corporate Personality; 4) Corporate Reputation; dan 5) Pengetahuan tentang perilaku organisasi yang spesifik.

Dalam kesadaran publik, sangat terkait erat dengan informasi apa yang diketahui publik tentang sebuah organisasi. Dalam beberapa hal, ini sangat berhubungan dengan accreditation atau judgement individu terhadap sebuah organisasi. Semakin baik akreditasi suatu organisasi, maka semakin baik pula kesadaran masyarakat akan organisasi tersebut.

Ikatan emosional atau favorability ditunjukkan oleh sikap positif dari sebuah organisasi akan sangat berperan penting dalam mengonstruksi sebuah hubungan yang kuat lewat kedekatan emosional. Emosi inilah yang akan membentuk citra dan reputasi organisasi.

Aspek corporate personality biasanya diasosiasikan sebagai juru bicara atau karakter yang identik dengan sebuah merek. Misalnya tokoh yang identik dengan logo sebuah organisasi. Intinya dalam aspek ini, organisasi dapat menunjukkan sisi humanis personalnya lewat produk, gerai atau merek.

Untuk aspek corporate personality, sangat ditentukan oleh karakter dan perilaku pemimpin organisasinya. Semakin profesional, memiliki visi ke depan dan bertanggung jawab seorang pemimpin organisasi, maka diyakini akan mampu mengurus manajemen modal reputasi.

Pada aspek corporate reputation yang didefinisikan oleh Fombrun (1996), merupakan sebuah fungsi dari kredibilitas, kepercayaan, ketergantungan dan tanggung jawab organisasi terhadap performanya.

Reputasi merupakan salah satu subfaktor pembentuk citra organisasi selain tingkat popularitas dan profil yang unik. Adapun citra merupakan pemahaman yang lebih baik tentang company personality. Reputasi berhubungan erat dengan karakter dan hal-hal yang bersifat konstruktif.

Menurut Balmer (1998), citra berhubungan dengan keyakinan publik terhadap sebuah organisasi, sedangkan reputasi merepresentasikan penilaian terhadap kualitas kinerja sebuah organisasi.

Terakhir, aspek pengetahuan tentang perilaku organisasi yang spesifik biasanya tidak tetap karena disesuaikan dengan pemikiran masyarakat yang terus berkembang sebagai hasil interaksi dengan banyak pihak. Organisasi perlu bekerja keras dalam merehabilitasi modal reputasinya dengan mencari tahu seberapa dalam pengetahuan negatif terhadap performa mereka bisa berjalan. Masalahnya, tidak semua kalangan masyarakat mau menerima argumen yang bersifat persuasif.

Posisi organisasi di atas bisa diganti mengikuti konteks yang dibicarakan, dalam hal ini desa wisata. Untuk dapat menciptakan modal reputasi terbaik, pemerintah sebagai pengelola daerah wisata harus mampu memformulasikan kelima komponen di atas dalam praktik di masing-masing desa sebagai organisasi.

Pertama, aspek kesadaran publik mengharuskan adanya saluran informasi yang mudah diakses oleh publik untuk mendapatkan informasi terkait potensi pariwisata di desa wisata tersebut. Kedua, aspek ikatan emosional di mana dapat dibentuk jika pengelola mampu menghubungkan dan mempersonalisasikan potensi di desa dengan kebutuhan dan keinginan wisatawan.

Ketiga, aspek corporate personality di mana perlu menonjolkan salah satu tokoh atau ikon yang mampu menjadi representasi potensi desa wisata terkait. Pemilihan tokoh atau ikon tersebut harus melalui perencanaan yang matang, karena dia bertindak seperti endorser atau influencer dalam kegiatan pemasaran. Keempat, aspek corporate reputation yang bisa dilakukan melalui penciptaan kredibilitas positif terhadap kinerja desa wisata.

Dalam konteks perusahaan, corporate reputation biasanya ditampilkan dalam birunya laporan keuangan tahunan. Terakhir, aspek kelima yakni pengetahuan tentang perilaku organisasi yang spesifik. Aspek ini dapat ditampilkan lewat bagaimana pengelola desa wisata mampu merespons masalah-masalah yang terjadi sehingga mampu membangun kredibilitas yang kuat.

Jika kelima aspek di atas bisa diterapkan dalam tujuan untuk membentuk modal reputasi setiap desa wisata, maka diyakini akan dihasilkan citra desa yang memiliki reputasi positif, populer dan juga penuh keunikan.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1139 seconds (0.1#10.140)