Ajaib! Dibentak Jenderal Kopassus Ini, Pasukan Musuh Mundur Bak Kerbau Dicocok Hidungnya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sosok Letnan Jenderal (Letjen) TNI Sarwo Edhie Wibowo sudah tidak asing lagi di dunia kemiliteran Indonesia. Dia merupakan salah satu legenda komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang kini dikenal dengan Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Jenderal Sarwo Edhie, mulai merintis karir di Tentara Nasional Indonesia (TNI), tepatnya di infanteri Angkatan Darat. Ia kemudian menjabat sebagai komandan Korps Baret Merah periode 1964-1967.
Ia juga disebut menjadi salah satu saksi kunci dalam pemberantasan gerakan G30S PKI. Selain itu, ia pernah menjabat juga sebagai Ketua BP-7 Pusat, Duta besar Indonesia untuk Korea Selatan serta menjadi Gubernur Akabri.
Sarwo Edhie Wibowo adalah ayah dari Kristiani Herrawati Atau yang sering dikenal sebagai Ani Yudhoyono, Ibu Negara Republik Indonesia yang merupakan istri dari Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dikutip dari Buku "Ani Yudhoyono, Kepak Sayap Putri Prajurit" yang ditulis Alberthiene Endah, Ani Yudhoyono menceritakan bagaimana keberanian sang ayah di medan tempur.
Lulus dari MULO, Sarwo Edhie bertekad menjadi tentara. Dia terkesan dengan cerita ketangguhan Jepang melawan Sekutu. Saat kedatangan Jepang pada tahun 1942, digelar pendidikan tentara dan Sarwo Edhie ikut mendaftar menjadi heiho (prajurit).
Orangtua Sarwo Edhie sangat kaget dengan keputusannya, walaupun senang melihat tekad baik putra mereka. Sayang, usia Sarwo Edhie belum cukup untuk menjadi prajurit. la baru saja berusia 15 tahun.
Jepang menetapkan persyaratan usia untuk bergabung dengan heiho minimal 17 tahun. Namun, Sarwo Edhie tidak hilang akal. Ia mengganti tahun kelahiran dua tahun lebih awal, dari 1927 menjadi 1925. Kebetulan tubuh Sarwo Edhie tegap dan cukup tinggi, sehingga Jepang tidak curiga kalau umurnya masih sangat belia.
Sarwo Edhie akhirnya diterima. Dalam usia semuda itu, ia berangkat ke Bogor, tempat para calon heiho akan digembleng. Bogor untuk ukuran orang Jawa Tengah waktu itu adalah sebuah kota yang begitu jauh.
Orangtua Sarwo Edhie melepas anaknya dengan tangis. Mereka sangat mendukung, tapi ada rasa khawatir mengingat usia Sarwo Edhie yang masih sangat muda. Tetapi, ia memang gagah berani. Selang beberapa bulan kemudian, ia kembali ke Purworejo dengan seragam tentara komplet berikut pedang Jepang. Bukan main bangganya Eyang, kata Ani Yudhoyono bercerita. Papi, begitu Sarwo Edhie dipanggil anak-anaknya, dipeluk dengan tangis haru.
Jenderal Sarwo Edhie, mulai merintis karir di Tentara Nasional Indonesia (TNI), tepatnya di infanteri Angkatan Darat. Ia kemudian menjabat sebagai komandan Korps Baret Merah periode 1964-1967.
Ia juga disebut menjadi salah satu saksi kunci dalam pemberantasan gerakan G30S PKI. Selain itu, ia pernah menjabat juga sebagai Ketua BP-7 Pusat, Duta besar Indonesia untuk Korea Selatan serta menjadi Gubernur Akabri.
Sarwo Edhie Wibowo adalah ayah dari Kristiani Herrawati Atau yang sering dikenal sebagai Ani Yudhoyono, Ibu Negara Republik Indonesia yang merupakan istri dari Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dikutip dari Buku "Ani Yudhoyono, Kepak Sayap Putri Prajurit" yang ditulis Alberthiene Endah, Ani Yudhoyono menceritakan bagaimana keberanian sang ayah di medan tempur.
Lulus dari MULO, Sarwo Edhie bertekad menjadi tentara. Dia terkesan dengan cerita ketangguhan Jepang melawan Sekutu. Saat kedatangan Jepang pada tahun 1942, digelar pendidikan tentara dan Sarwo Edhie ikut mendaftar menjadi heiho (prajurit).
Orangtua Sarwo Edhie sangat kaget dengan keputusannya, walaupun senang melihat tekad baik putra mereka. Sayang, usia Sarwo Edhie belum cukup untuk menjadi prajurit. la baru saja berusia 15 tahun.
Jepang menetapkan persyaratan usia untuk bergabung dengan heiho minimal 17 tahun. Namun, Sarwo Edhie tidak hilang akal. Ia mengganti tahun kelahiran dua tahun lebih awal, dari 1927 menjadi 1925. Kebetulan tubuh Sarwo Edhie tegap dan cukup tinggi, sehingga Jepang tidak curiga kalau umurnya masih sangat belia.
Sarwo Edhie akhirnya diterima. Dalam usia semuda itu, ia berangkat ke Bogor, tempat para calon heiho akan digembleng. Bogor untuk ukuran orang Jawa Tengah waktu itu adalah sebuah kota yang begitu jauh.
Orangtua Sarwo Edhie melepas anaknya dengan tangis. Mereka sangat mendukung, tapi ada rasa khawatir mengingat usia Sarwo Edhie yang masih sangat muda. Tetapi, ia memang gagah berani. Selang beberapa bulan kemudian, ia kembali ke Purworejo dengan seragam tentara komplet berikut pedang Jepang. Bukan main bangganya Eyang, kata Ani Yudhoyono bercerita. Papi, begitu Sarwo Edhie dipanggil anak-anaknya, dipeluk dengan tangis haru.