Densus 88 Tembak Mati Dokter Sunardi, Pengamat Ungkap Kamuflase Kelompok Teroris
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penangkapan yang berujung pada penembakan terduga teroris di Sukoharjo, Jawa Tengah oleh Detasemen Khusus ( Densus) 88 Antiteror Mabes Polri memunculkan polemik di masyarakat. Doa dan dukungan untuk terduga teroris bernama Sunardi, yang berprofesi sebagai dokter, menggema di media sosial.
Pengamat terorisme, Makmun Rasyid berpendapat bahwa langkah tegas terukur Densus 88 telah sesuai dengan UU Terorisme No 5 Tahun 2018. Undang-undang tersebut mengamanahkan kepada aparat keamanan, termasuk Densus 88, untuk menindak siapa pun, meski belum melakukan aksi teror atau meledakkan bom.
"Undang-undang tersebut membuat sistem operasi di lapangan semakin luas dan pencegahan terorisme semakin baik," kata Makmun Rasyid dikutip dari keterangan tertulis, Jumat (11/3/2022).
Menurutnya, penembakan yang dilakukan Densus 88 karena adanya perlawanan dari Sunardi. Ketika diminta berhenti, dia malah berusaha kabur dengan menabrakkan mobilnya ke polisi. Dia berusaha melarikan diri dengan cara mengendarai mobilnya secara zigzag hingga mengenai kendaraan yang melintas di Jalan Raya Bekonang-Sukoharjo. Mobil baru berhenti setelah menabrak rumah warga.
Makmun Rasyid menjelaskan, secara naluriah, jika seseorang merasa bersalah, maka dia akan mencari segala macam cara agar terlepas dari jeratan. Tak terkecuali Sunardi. Kepolisian tidak mungkin menjadikannya sebagai target manakala dia tidak terlibat dalam jaringan terorisme.
"Dan faktanya, Sunardi merupakan seorang penasihat Amir Jamaah Islamiyah (JI) dan juga penanggung jawab Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI). HASI merupakan organisasi sayap Jamaah Islamiyah yang beroperasi besar di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, dan Makassar," katanya.
Baca juga: Akal Bulus di Balik Pendanaan Teroris
Banyak pertanyaan yang muncul mengapa Densus 88 menangkap Sunardi padahal dia belum melakukan tindakan teror? Menurut Makmum Rasyid, Sunardi memang tidak mengangkat senjata dan melakukan aksi pengeboman. Sebab, saat ini Jamaah Islamiyah sudah mengubah strategi. Kelompok teroris ini, kata Makmun, paham bahwa jika menggunakan kekerasan, maka akan sangat merugikan karena banyak penangkapan, sehingga mereka memilih konsolidasi dan menunggu momentum yang tepat.
"Makanya kalau jalan-jalan ke rumah Sunardi, tempat dia membuka praktik, ada papan nama namun pasiennya yang datang ke rumah dokter Sunardi sedikit. Mengapa? Sunardi sudah mengerti peraturan organisasinya untuk berhati-hati saat membuka praktik. Tidak semua pasien bisa diterimanya," ungkapnya.
Jamaah Islamiyah memang memiliki kecenderung membuat lembaga-lembaga humanitarian seperti BM-ABA, Syam Organizer, dan Hilal Ahmar Society Indonesia. Uang yang terkumpul digunakan untuk mengirimkan bantuan kepada negara konflik. Beberapa yayasan filantropi di Indonesia, meski bukan sayap Jamaah Islamiyah atau JAD-JAT, tapi di negara-negara konflik mereka bertemu dan membantu kelompok teroris.
"Di sini memang kelemahan regulasi yang berkaitan dengan yayasan filantropi. Khususnya UU No 9 Tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang dan Barang," kata Makmun.
Selain membentuk yayasan, katanya, kelompok-kelompok teroris juga menyusup ke lembaga atau ormas. Seperti Ahmad Zain An-Najah yang berada di Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Sunardi yang berprofesi menjadi dokter.
Sebelum Sunardi, ada juga terduga teroris yang berprofesi sebagai dokter. Antara lain AG, dokter di daerah Brondong, Lamongan, pada 2021. Saat itu berbarengan dengan penangkapan DA di Kabupaten Tuban. Begitu pula dengan AR yang ditangkap pada 2020 di Bekasi. Selain seorang dokter, dia juga sebagai fasilitator ke Suriah yang terafiliasi jaringan kelompok teroris Koswara.
"Lalu teroris berinisial NH (ditangkap 2018). Ia seorang dokter umum yang juga membuka praktik pengobatan bekam. Saat itu digrebek bersama SZ dan An di Bajang, Blitar," kata Makmun.
Atas penangkapan ini, Makmun Rasyid mengajak masyarakat untuk menomorsatukan kewaspadaan. Kamuflase yang dilakukan kelompok teroris selalu di luar nalar orang sekitarnya. Maka sering kali tetangganya ketika dimintai keterangan selalu normatif karena itulah kehebatan membungkus seorang teroris.
Pengamat terorisme, Makmun Rasyid berpendapat bahwa langkah tegas terukur Densus 88 telah sesuai dengan UU Terorisme No 5 Tahun 2018. Undang-undang tersebut mengamanahkan kepada aparat keamanan, termasuk Densus 88, untuk menindak siapa pun, meski belum melakukan aksi teror atau meledakkan bom.
"Undang-undang tersebut membuat sistem operasi di lapangan semakin luas dan pencegahan terorisme semakin baik," kata Makmun Rasyid dikutip dari keterangan tertulis, Jumat (11/3/2022).
Menurutnya, penembakan yang dilakukan Densus 88 karena adanya perlawanan dari Sunardi. Ketika diminta berhenti, dia malah berusaha kabur dengan menabrakkan mobilnya ke polisi. Dia berusaha melarikan diri dengan cara mengendarai mobilnya secara zigzag hingga mengenai kendaraan yang melintas di Jalan Raya Bekonang-Sukoharjo. Mobil baru berhenti setelah menabrak rumah warga.
Makmun Rasyid menjelaskan, secara naluriah, jika seseorang merasa bersalah, maka dia akan mencari segala macam cara agar terlepas dari jeratan. Tak terkecuali Sunardi. Kepolisian tidak mungkin menjadikannya sebagai target manakala dia tidak terlibat dalam jaringan terorisme.
"Dan faktanya, Sunardi merupakan seorang penasihat Amir Jamaah Islamiyah (JI) dan juga penanggung jawab Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI). HASI merupakan organisasi sayap Jamaah Islamiyah yang beroperasi besar di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, dan Makassar," katanya.
Baca juga: Akal Bulus di Balik Pendanaan Teroris
Banyak pertanyaan yang muncul mengapa Densus 88 menangkap Sunardi padahal dia belum melakukan tindakan teror? Menurut Makmum Rasyid, Sunardi memang tidak mengangkat senjata dan melakukan aksi pengeboman. Sebab, saat ini Jamaah Islamiyah sudah mengubah strategi. Kelompok teroris ini, kata Makmun, paham bahwa jika menggunakan kekerasan, maka akan sangat merugikan karena banyak penangkapan, sehingga mereka memilih konsolidasi dan menunggu momentum yang tepat.
"Makanya kalau jalan-jalan ke rumah Sunardi, tempat dia membuka praktik, ada papan nama namun pasiennya yang datang ke rumah dokter Sunardi sedikit. Mengapa? Sunardi sudah mengerti peraturan organisasinya untuk berhati-hati saat membuka praktik. Tidak semua pasien bisa diterimanya," ungkapnya.
Jamaah Islamiyah memang memiliki kecenderung membuat lembaga-lembaga humanitarian seperti BM-ABA, Syam Organizer, dan Hilal Ahmar Society Indonesia. Uang yang terkumpul digunakan untuk mengirimkan bantuan kepada negara konflik. Beberapa yayasan filantropi di Indonesia, meski bukan sayap Jamaah Islamiyah atau JAD-JAT, tapi di negara-negara konflik mereka bertemu dan membantu kelompok teroris.
"Di sini memang kelemahan regulasi yang berkaitan dengan yayasan filantropi. Khususnya UU No 9 Tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang dan Barang," kata Makmun.
Selain membentuk yayasan, katanya, kelompok-kelompok teroris juga menyusup ke lembaga atau ormas. Seperti Ahmad Zain An-Najah yang berada di Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Sunardi yang berprofesi menjadi dokter.
Sebelum Sunardi, ada juga terduga teroris yang berprofesi sebagai dokter. Antara lain AG, dokter di daerah Brondong, Lamongan, pada 2021. Saat itu berbarengan dengan penangkapan DA di Kabupaten Tuban. Begitu pula dengan AR yang ditangkap pada 2020 di Bekasi. Selain seorang dokter, dia juga sebagai fasilitator ke Suriah yang terafiliasi jaringan kelompok teroris Koswara.
"Lalu teroris berinisial NH (ditangkap 2018). Ia seorang dokter umum yang juga membuka praktik pengobatan bekam. Saat itu digrebek bersama SZ dan An di Bajang, Blitar," kata Makmun.
Atas penangkapan ini, Makmun Rasyid mengajak masyarakat untuk menomorsatukan kewaspadaan. Kamuflase yang dilakukan kelompok teroris selalu di luar nalar orang sekitarnya. Maka sering kali tetangganya ketika dimintai keterangan selalu normatif karena itulah kehebatan membungkus seorang teroris.
(abd)