Perludem: Presidential Threshold Bakal Picu Oligarki dan Harus Dihapus
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini meyakini bahwa ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold) bakal memicu oligarki. Titi menambahkan, ambang batas pencalonan presiden itu juga bakal memperlemah partai politik.
(Baca juga: Dorong Parliamentary Threshold 7%, Golkar Usulkan 9 Hal di RUU Pemilu)
"Mempersulit upaya kita mewujudkan partai yang demokratis dan juga akan membuat proses pemilu kita menjadi jauh dari pemilu yang berbasis gagasan," ujar Titi Anggraini dalam diskusi virtual bertajuk Ambang Batas Pilpres dan Kuasa Oligarki, Jumat (12/6/2020).
(Baca juga: Partai Berkarya Usul Parliamentary dan Presidential Threshold Dihapus)
Selain itu kata dia, ambang batas pencalonan presiden juga bakal membuat ruang partisipasi perempuan di politik semakin sempit. Kemudian, lanjut Titi, potensi terjadinya politik transaksional dan politik pragmatis itu semakin kuat.
"Jadi kalau kita ingin memberikan Pemilu yang punya nilai pemilu yang memberi ruang kader-kader terbaik bangsa, putra putri terbaik bangsa, maka tidak ada pilihan lain kita harus menghapus ambang batas pencalonan presiden dan dengan demikian setidaknya satu pintu untuk mengatasi oligarki itu sudah bisa kita miliki selain penataan-penataan lain melalui pengaturan RUU Pemilu yang memang meneguhkan proporsionalitas sistem yang kita anut," ungkapnya.
Sehingga, ujar dia, dengan dihapusnya ambang batas pencalonan presiden, seharusnya semakin maksimal menghindari terbuangnya suara sah dari pemilih. "Menjaga kemurnian suara pemilih, sebisa mungkin setiap suara pemilih dihitung menjadi kursi dan keragaman itu bisa kita payungi dalam RUU Pemilu kita," tuturnya.
Menurut Titi, RUU Pemilu yang sedang dibahas DPR RI perlu dikawal bersama. "Karena RUU Pemilu ini meskipun seolah kalau dari sisi judul hanya mengatur soal Pemilu, tetapi ekses dari pengaturan di dalam RUU Pemilu itu sangat besar bagi tata cara kita di dalam mengelola negara ini," kata Titi.
"Termasuk juga bagaimana output dari proses Pemilu itu akan sangat berdampak kepada apakah oligarki makin kuat atau kah sebaliknya kekuasaan negara ini sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat," pungkasnya.
(Baca juga: Dorong Parliamentary Threshold 7%, Golkar Usulkan 9 Hal di RUU Pemilu)
"Mempersulit upaya kita mewujudkan partai yang demokratis dan juga akan membuat proses pemilu kita menjadi jauh dari pemilu yang berbasis gagasan," ujar Titi Anggraini dalam diskusi virtual bertajuk Ambang Batas Pilpres dan Kuasa Oligarki, Jumat (12/6/2020).
(Baca juga: Partai Berkarya Usul Parliamentary dan Presidential Threshold Dihapus)
Selain itu kata dia, ambang batas pencalonan presiden juga bakal membuat ruang partisipasi perempuan di politik semakin sempit. Kemudian, lanjut Titi, potensi terjadinya politik transaksional dan politik pragmatis itu semakin kuat.
"Jadi kalau kita ingin memberikan Pemilu yang punya nilai pemilu yang memberi ruang kader-kader terbaik bangsa, putra putri terbaik bangsa, maka tidak ada pilihan lain kita harus menghapus ambang batas pencalonan presiden dan dengan demikian setidaknya satu pintu untuk mengatasi oligarki itu sudah bisa kita miliki selain penataan-penataan lain melalui pengaturan RUU Pemilu yang memang meneguhkan proporsionalitas sistem yang kita anut," ungkapnya.
Sehingga, ujar dia, dengan dihapusnya ambang batas pencalonan presiden, seharusnya semakin maksimal menghindari terbuangnya suara sah dari pemilih. "Menjaga kemurnian suara pemilih, sebisa mungkin setiap suara pemilih dihitung menjadi kursi dan keragaman itu bisa kita payungi dalam RUU Pemilu kita," tuturnya.
Menurut Titi, RUU Pemilu yang sedang dibahas DPR RI perlu dikawal bersama. "Karena RUU Pemilu ini meskipun seolah kalau dari sisi judul hanya mengatur soal Pemilu, tetapi ekses dari pengaturan di dalam RUU Pemilu itu sangat besar bagi tata cara kita di dalam mengelola negara ini," kata Titi.
"Termasuk juga bagaimana output dari proses Pemilu itu akan sangat berdampak kepada apakah oligarki makin kuat atau kah sebaliknya kekuasaan negara ini sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat," pungkasnya.
(maf)