Detik-detik Sintong Panjaitan Nyaris Dibunuh Suku Pedalaman Papua: Tombak Sudah di Depan Mata!

Selasa, 21 Desember 2021 - 08:00 WIB
loading...
Detik-detik Sintong Panjaitan Nyaris Dibunuh Suku Pedalaman Papua: Tombak Sudah di Depan Mata!
Komandan Kopassandha Brigjen TNI Sintong Panjaitan memberi ucapan selamat kepada para siswa yang lulus pendidikan komando di Pantai Permisan, Nusakambangan, Cilacap. Foto/Buku Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando
A A A
JAKARTA - Nyawa Sintong Panjaitan di ujung tanduk. Jika tak teringat pesan pastor, bisa jadi dirinya hanya tinggal nama, gugur dalam sebuah operasi mendebarkan di tempat terpencil Papua .

Baca Juga: Sintong PanjaitanPapua .

Operasi ini bermula dari sineas Prancis, Pierre Dominique Gaisseau, meminta izin kepada Pangdam XVII/Tjendrawasi Brigjen Sarwo Edhie Wibowo untuk membuat film antropologi budaya tentang suku terdalam Papua.

Gaisseau sebelumnya telah membuat film dokumenter tentang suku di Papua bertajuk Sky Above and Mud Beneath. Dalam sejarah, itu film dokumenter pertama yang meraih Piala Oscar, penghargaan tertinggi di jagat perfilman dunia. Dari situ dia berkeinginan mengeksplorasi lagi wilayah Lembah X.

"Kepergian menuju Lembah X yang dapat dikatakan teritori belum terjamah manusia cukup mendebarkan, disebabkan pada 1961 terjadi kasus yang menjadi perhatian dunia," kata Iwan Santosa dan EA Natanegara dalam buku 'Kopassus untuk Indonesia: Profesionalisme Prajurit Kopassus', dikutip Selasa (21/12/2021).

Kasus itu tak lain tewasnya Michael Rockefeller, putra Gubernur New York Nelson Rockefeller. Dia ditemukan tinggal sepotong kaki bersepatu. Muncul dugaan kematiannya akibat praktik kanibalisme suku terasing di pulau Kepala Burung tersebut.

Michael bersama antropolog Belanda Rene Wassing dan dua pemandu lokal semula menumpang kano untuk membuat dokumenter suku Asmat. Namun kano terbalik dan mereka terapung di lautan. Michael memilih berenang ke tepi.

Ketika Rene berhasil disematkan keesokan harinya, keberadaan Michael tak pernah ditemukan. Pencarian baik dari udara maupun darat akhirnya menemukan potongan kakinya.

Atas dasar itulah, muncul rasa waswas ketika Sintong turut dilibatkan dalam operasi kemanusian di Lembah X tersebut. "Jangan-jangan nanti setelah mendarat saya dikeroyok oleh suku Lembah X, kemudian dimakan rame-rame," kata Sintong dalam buku tulisan Hendro Subroto 'Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando'.

Lembah X Tak Terjamah Manusia

Hari H penerjunan ke Lembah X ditentukan 2 Oktober 1969. Operasi dipimpin Kapten Inf Feisal Tanjung sebagia komandan tim. Sintong menjadi perwira operasi. Selain mereka terdapat lima personel Kopasshanda (kini Kopassus) lainnya yaitu Perwira Kesehatan Kapten cdm dr Bondan Haryono.

Kemudian, Perwira Sosial Budaya Capa Marwoto, Perwira Perhubungan Serma Suparmin dan Bintara Logistik Koptu Solichin. Di pihak NBC yakni Gaisseau sebagai sutradara merangkap juru kamera, Harvey de Meigrid sebagai juru kamera merangkap penulis naskah dan Nicholas Gaiesseau yang tak lain putra Pierre, sebagai asisten.

Penerjunan ke wilayah yang seolah 'tak terjamah manusia' itu dapat dikatakan kacau-balau. Embusan angin membuat seluruh personel Operasi 009 itu tak dapat mendarat di dropping zone (DZ) yang ditentukan. Begitu pula Sintong Panjaitan yang ternyata mendarat di tengah-tengah perkampungan suku pedalaman tersebut.

Dalam sekejap dia sudah berada dalam kepungan penduduk. Mereka menghunus berbagai senjata tajam. Ada tombak, panah, kapak batu dan pentungan kayu. Mereka berteriak, "Snai e, snai e, snai e.." Sintong tak tahu arti ucapan itu. Yang jelas suaranya terdengar menakutkan.

Sintong refleks memindahkan posisi senjata dari disandang ke posisi depan. Meskipun sadar itu operasi kemanusiaan (personel dilarang menggunakan senjata jika tidak dalam keadaan sangat terdesak), Sintong merasa perlu bersiaga.

Sayangnya, magasin berisi 30 peluru Soviet M43 7,62x39 mm jatuh berhamburan di antara kaki-kaki penduduk. Untunglah seorang anak muda mengambil magasin itu dan melemparkan padanya. Sintong segera memasang pada senjata serbu AK-47 yang dibawanya. Senjata dikokang lantas dikunci.

Sebelum Operasi 009 di Lembah X itu diberangkatkan, seorang pastor di Papua memberitahukan bagaimana cara menghadapi masyarakat pedalaman. "Cara menyapa mereka adalah dengan membuka tangan sambil tersenyum," tulis buku Kopassus untuk Indonesia.

Di tengah situasi genting itu, Sintong teringat pesan tersebut. Segera lulusan Akademi Militer 1963 ini membuka kedua belah tangannya ke atas dan tersenyum. Serdadu Baret Merah kelahiran Tarutung ini juga menampakkan wajah cerah untuk memberikan kesan dirinya ingin bersahabat dan tidak berniat jahat. Dia juga membuka seragam Loreng Darah Mengalir untuk menarik perhatian penduduk.

Tiba-tiba keluar seorang tua dari dalam rumah sambil membawa sesuatu yang diangkat dengan menggunakan tangan di atas kepalanya. "Nyap-nyap e, nyap-nyap e," kata dia. Walau Sintong tak tahu bahasa penduduk Lembah X, dia menduga kata itu bermaksud makan.

Sintong mengambil pemberian itu yang ternyata daging babi mentah. Dia melahapnya. Perlahan penduduk Lembah X mulai tampak lega. Mereka bersorak-sorak sebagai luapan kegembiraan. Belakangan diketahui, orang yang menerima pemberian itu dan memakannya, dianggap sebagai sahabat.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1173 seconds (0.1#10.140)