Mencari Bunda Empu Mendongeng
loading...
A
A
A
Anton Suparyanta
Esais
“Bunda, bacakan aku dongeng , dong!” rayu si Anak. “Aduuuuuh, Bunda nggak bisa mendongeng , Nak. Ayahmu saja, sana!” jawab sang Bunda. Dialog mini ini menjadi wakil keluh kesah kaum orang tua secara nasional. Serba digital menggiring cermin kepasrahan kaum hawa yang sejatinya menjadi rahim dan empu dongeng.
baca juga: Promosikan Bahasa Indonesia, 12 Negara Ikut Kompetisi Mendongeng SEAQIL
Ironis! Ketika tradisi lisan nusantara mendongeng tergerus zaman, literasi anak hari ini beringsut ke dunia gawai yang sepi dan membentuk tabiat autis. Pola pikir anak direbut oleh kecanggihan era digital. Hingga muncul badutan bahasa dengan sebutan kids jaman now hingga racauan homo digitalis. Betapa tidak!
Bujukan begitu impresif disigi dalam pustaka usang terbitan Madania, Mendidik Anak lewat Dongeng. Nilai usang benar-benar hilang ketika pustaka ini melabrak setumpuk keprihatinan literasi secara nasional. Bahkan, sampai tega mengumbar bonus 100 dongeng yang dijadikan lampiran. Prinsipnya, membacakan dongeng atau mendongeng itu perkara mudah dan murah. Sekali lagi, mudah dan murah!
Mudah karena dilakukan dengan ikhlas sepenuh hati layaknya orang tua melimpahkan kasih sayang kepada anak. Murah karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk bisa fasih mendongeng, kendatipun harus membeli buku, majalah, atau koran. Inilah aset investasi besar untuk pendidikan anak.
baca juga: Hari Dongeng Anak Nasional, Dr. Tiwi: Mendongeng Sangat Bermanfaat, Terutama saat Pandemi
Kalau sudah mudah dan murah, tunggu apalagi? Bacakan dongeng! Mendongenglah! Jangan sampai si anak merengek, tetapi orang tua enggan melakukannya. Ah, teori! Faktanya, segala juru dongeng kini sudah berada di genggaman. Jatuhlah ke dalam homo digitalis, semua diperangkap alat, semua digerakkan kelincahan jari jemari. Bukankah alasan sang bunda dalam dialog tadi justru merundungi si anak?
Manfaat mendongeng sungguh luar biasa. Yang paling hakiki adalah sentuhan kasih orang tua demi karitatif, edukatif, dan harmonis. Inilah khitah mendongeng. Dongeng menjadi media efektif untuk menyalurkan pesan moral yang gampang mengendap dalam hati dan benak si anak. Transfer khitah inilah yang menjadi kebuntungan peranti digital, sedahsyat apa pun.
Pengendapan khitah kasih ini terkait erat dengan masa usia emas si anak. Istilah kerennya the golden age. Apa keistimewaan dan tugas tumbuh kembang pada rentang usia emas tersebut? Bagaimana upaya memaksimalkannya?
Usia Emas dan Literasi Baru
Usia emas adalah satu masa kecerahan singkat yang pasti dialami oleh setiap manusia. Periode vital sangat menentukan tahap perkembangan. Masa emas berkisar pada usia 0-6 tahun. Beberapa riset membuktikan bahwa kecerdasan anak mencapai 50% pada usia 0-4 tahun. Hingga usia 8 tahun kecerdasan meningkat hingga 80% dan puncaknya 100% pada usia 18 tahun.
baca juga: Inilah Sosok Pida, Gadis Manis Pejuang Literasi yang Pintar Mendongeng
Lalu genre dongeng seperti apa yang cocok untuk fase kecerdasan tersebut? Usia 3-5 tahun cocok untuk ide dongeng tentang lingkungan, binatang, dan tumbuhan sekitar. Hindarilah dongeng mistis atau horor. Usia 5-8 tahun cocok untuk tema imajinasi bebas, negeri khayalan. Hati-hati, si anak mulai bertanya tentang adanya Allah, malaikat, jin, setan, raksasa, kurcaci, dan alam dunia lain.
Usia 9-12 tahun cocok dengan tema romantisme, petualangan, kepahlawanan yang baik dan bertujuan mulia. Usia 12-18 (fase remaja puber) cocok romantisme, detektif, heroik dalam pencarian jati diri. Usia 19 tahun ke atas cocok untuk tema idola atau figur teladan yang menjurus kehidupan pribadi.
Penanaman nilai dongeng tepat sasaran justru terjadi pada rentang usia 3-8 tahun. Anak masih mudah tergugah emosi. Anak cepat menangkap gambaran akibat baik dan buruk suatu perbuatan. Setidaknya ada empat nilai hakiki yang mematri benak anak, yaitu persahabatan, kepahlawanan dan perjuangan, pesan jangan berbuat jahat, serta nilai akibat durhaka kepada orang tua.
baca juga: Heboh Harta Karun Palembang, Inikah Pulau Emas dalam Dongeng Indonesia?
Nilai hakiki tersebut diulas dan diberi contoh dalam pustaka usang Mendidik Anak lewat Dongeng. Sungguh dongeng anak memiliki pengaruh laten bagi pertumbuhan mental. Tak dimungkiri lagi, satu sisi dongeng memang menjadi metode efektif guna mendidik anak. Dongeng digemari anak karena menyuguhkan aneka nasihat, petuah, teladan, atau hikmah melalui figur tokoh cerita. Satu sisi lain, dongeng adalah berhala kuno yang santun selalu kita rawat.
Justru tantangan bagi para orang tua terkini wajib mengemas dongeng-dongeng yang mendidik, sehingga anak-anak aman meneladan kisah-kisah tersebut. Ide pustaka usang ini tergolong inspiratif, kreatif mengajak mencipta dongeng baru yang kaya nilai luhur, keteladanan, dan budi pekerti. Dalam konteks inilah peran dan sentuhan sastrawi dimunculkan. Oleh karena itu, buatlah dongeng modifikasi. Revitalisasi dongeng. Buatlah anak-anak ketagihan dibacakan dongeng.
Mari kisahkan para nabi agung nan kudus 1400-2000 tahun silam. Narasi keteladanan-Nya tetaplah imanen. Mari segarkan kembali figur cerdas Habibie penting buat anak. Habibie kecil meraih nilai bagus pada semua mata pelajaran hingga mampu mendesain dan memproduksi pesawat.
baca juga: Mendongeng Dapat Membantu Optimalkan Tumbuh Kembang Anak
Atau, tularkan Presiden Soekarno yang legendaris mampu berbicara minimal 10 bahasa; ada apa di balik nama Kusno, Karno, dan sapaan Bung (“bungkus-no” dan “bongkar-no”) untuk Indonesia. Gus Dur mempunyai indra keenam. Bob Sadino yang dulu hidup di kontrakan, masa tua menjadi miliarder. Ciputra yang awalnya biasa menjadi luar biasa. Akan tetapi, perlu dicatat: buanglah mitos berhalanya!
Solusi Nakal
Pola saji pustaka usang ini dikemas menjadi lima bab dan satu bundel lampiran dongeng. Lima bab tersebut mengulas “dunia nakal” si anak dan seni mendidik, titik ledak mendongeng, serta kritikan “mengapa” dongeng dianggap tidak penting dalam kurikulum. Titik lemahnya terletak pada buaian ala dongeng si kancil.
Moralitas si kancil adalah spiritualitas berhala kontemporer di tanah air Indonesia. Pustaka usang ini tidak berupaya membongkar kenakalan si kancil (baca: demitifikasi kancil), tetapi masih mengedepankan bahwa kancil itu fantasi. Kancil itu cuma dongengan. Dan dongeng itu penting, kudu dilestarikan. Nah!
baca juga: Inilah Dongeng-Dongeng yang Berhasil Dibuat oleh Member BTS
Jika mendongeng itu penting, dengan segera orang tua pun akan menampik “aku nggak bisa mendongeng, biar gurunya saja yang mendongeng, mengurusi anak sudah susah, diomongin nggak nurut, bagaimana mau mendongeng?” Nah, solusinya pustaka usang setebal 362 halaman ini memberikan bonus 100 dongeng yang berciri lokal, nasional, maupun internasional. Nah, ada bonus 100 dongeng. Dan unduhan nilai positif, kini justru sebaliknya, “Nak, sini Bunda bacakan dongeng...!” Asyiklah, sama-sama melek literasi.
Esais
“Bunda, bacakan aku dongeng , dong!” rayu si Anak. “Aduuuuuh, Bunda nggak bisa mendongeng , Nak. Ayahmu saja, sana!” jawab sang Bunda. Dialog mini ini menjadi wakil keluh kesah kaum orang tua secara nasional. Serba digital menggiring cermin kepasrahan kaum hawa yang sejatinya menjadi rahim dan empu dongeng.
baca juga: Promosikan Bahasa Indonesia, 12 Negara Ikut Kompetisi Mendongeng SEAQIL
Ironis! Ketika tradisi lisan nusantara mendongeng tergerus zaman, literasi anak hari ini beringsut ke dunia gawai yang sepi dan membentuk tabiat autis. Pola pikir anak direbut oleh kecanggihan era digital. Hingga muncul badutan bahasa dengan sebutan kids jaman now hingga racauan homo digitalis. Betapa tidak!
Bujukan begitu impresif disigi dalam pustaka usang terbitan Madania, Mendidik Anak lewat Dongeng. Nilai usang benar-benar hilang ketika pustaka ini melabrak setumpuk keprihatinan literasi secara nasional. Bahkan, sampai tega mengumbar bonus 100 dongeng yang dijadikan lampiran. Prinsipnya, membacakan dongeng atau mendongeng itu perkara mudah dan murah. Sekali lagi, mudah dan murah!
Mudah karena dilakukan dengan ikhlas sepenuh hati layaknya orang tua melimpahkan kasih sayang kepada anak. Murah karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk bisa fasih mendongeng, kendatipun harus membeli buku, majalah, atau koran. Inilah aset investasi besar untuk pendidikan anak.
baca juga: Hari Dongeng Anak Nasional, Dr. Tiwi: Mendongeng Sangat Bermanfaat, Terutama saat Pandemi
Kalau sudah mudah dan murah, tunggu apalagi? Bacakan dongeng! Mendongenglah! Jangan sampai si anak merengek, tetapi orang tua enggan melakukannya. Ah, teori! Faktanya, segala juru dongeng kini sudah berada di genggaman. Jatuhlah ke dalam homo digitalis, semua diperangkap alat, semua digerakkan kelincahan jari jemari. Bukankah alasan sang bunda dalam dialog tadi justru merundungi si anak?
Manfaat mendongeng sungguh luar biasa. Yang paling hakiki adalah sentuhan kasih orang tua demi karitatif, edukatif, dan harmonis. Inilah khitah mendongeng. Dongeng menjadi media efektif untuk menyalurkan pesan moral yang gampang mengendap dalam hati dan benak si anak. Transfer khitah inilah yang menjadi kebuntungan peranti digital, sedahsyat apa pun.
Pengendapan khitah kasih ini terkait erat dengan masa usia emas si anak. Istilah kerennya the golden age. Apa keistimewaan dan tugas tumbuh kembang pada rentang usia emas tersebut? Bagaimana upaya memaksimalkannya?
Usia Emas dan Literasi Baru
Usia emas adalah satu masa kecerahan singkat yang pasti dialami oleh setiap manusia. Periode vital sangat menentukan tahap perkembangan. Masa emas berkisar pada usia 0-6 tahun. Beberapa riset membuktikan bahwa kecerdasan anak mencapai 50% pada usia 0-4 tahun. Hingga usia 8 tahun kecerdasan meningkat hingga 80% dan puncaknya 100% pada usia 18 tahun.
baca juga: Inilah Sosok Pida, Gadis Manis Pejuang Literasi yang Pintar Mendongeng
Lalu genre dongeng seperti apa yang cocok untuk fase kecerdasan tersebut? Usia 3-5 tahun cocok untuk ide dongeng tentang lingkungan, binatang, dan tumbuhan sekitar. Hindarilah dongeng mistis atau horor. Usia 5-8 tahun cocok untuk tema imajinasi bebas, negeri khayalan. Hati-hati, si anak mulai bertanya tentang adanya Allah, malaikat, jin, setan, raksasa, kurcaci, dan alam dunia lain.
Usia 9-12 tahun cocok dengan tema romantisme, petualangan, kepahlawanan yang baik dan bertujuan mulia. Usia 12-18 (fase remaja puber) cocok romantisme, detektif, heroik dalam pencarian jati diri. Usia 19 tahun ke atas cocok untuk tema idola atau figur teladan yang menjurus kehidupan pribadi.
Penanaman nilai dongeng tepat sasaran justru terjadi pada rentang usia 3-8 tahun. Anak masih mudah tergugah emosi. Anak cepat menangkap gambaran akibat baik dan buruk suatu perbuatan. Setidaknya ada empat nilai hakiki yang mematri benak anak, yaitu persahabatan, kepahlawanan dan perjuangan, pesan jangan berbuat jahat, serta nilai akibat durhaka kepada orang tua.
baca juga: Heboh Harta Karun Palembang, Inikah Pulau Emas dalam Dongeng Indonesia?
Nilai hakiki tersebut diulas dan diberi contoh dalam pustaka usang Mendidik Anak lewat Dongeng. Sungguh dongeng anak memiliki pengaruh laten bagi pertumbuhan mental. Tak dimungkiri lagi, satu sisi dongeng memang menjadi metode efektif guna mendidik anak. Dongeng digemari anak karena menyuguhkan aneka nasihat, petuah, teladan, atau hikmah melalui figur tokoh cerita. Satu sisi lain, dongeng adalah berhala kuno yang santun selalu kita rawat.
Justru tantangan bagi para orang tua terkini wajib mengemas dongeng-dongeng yang mendidik, sehingga anak-anak aman meneladan kisah-kisah tersebut. Ide pustaka usang ini tergolong inspiratif, kreatif mengajak mencipta dongeng baru yang kaya nilai luhur, keteladanan, dan budi pekerti. Dalam konteks inilah peran dan sentuhan sastrawi dimunculkan. Oleh karena itu, buatlah dongeng modifikasi. Revitalisasi dongeng. Buatlah anak-anak ketagihan dibacakan dongeng.
Mari kisahkan para nabi agung nan kudus 1400-2000 tahun silam. Narasi keteladanan-Nya tetaplah imanen. Mari segarkan kembali figur cerdas Habibie penting buat anak. Habibie kecil meraih nilai bagus pada semua mata pelajaran hingga mampu mendesain dan memproduksi pesawat.
baca juga: Mendongeng Dapat Membantu Optimalkan Tumbuh Kembang Anak
Atau, tularkan Presiden Soekarno yang legendaris mampu berbicara minimal 10 bahasa; ada apa di balik nama Kusno, Karno, dan sapaan Bung (“bungkus-no” dan “bongkar-no”) untuk Indonesia. Gus Dur mempunyai indra keenam. Bob Sadino yang dulu hidup di kontrakan, masa tua menjadi miliarder. Ciputra yang awalnya biasa menjadi luar biasa. Akan tetapi, perlu dicatat: buanglah mitos berhalanya!
Solusi Nakal
Pola saji pustaka usang ini dikemas menjadi lima bab dan satu bundel lampiran dongeng. Lima bab tersebut mengulas “dunia nakal” si anak dan seni mendidik, titik ledak mendongeng, serta kritikan “mengapa” dongeng dianggap tidak penting dalam kurikulum. Titik lemahnya terletak pada buaian ala dongeng si kancil.
Moralitas si kancil adalah spiritualitas berhala kontemporer di tanah air Indonesia. Pustaka usang ini tidak berupaya membongkar kenakalan si kancil (baca: demitifikasi kancil), tetapi masih mengedepankan bahwa kancil itu fantasi. Kancil itu cuma dongengan. Dan dongeng itu penting, kudu dilestarikan. Nah!
baca juga: Inilah Dongeng-Dongeng yang Berhasil Dibuat oleh Member BTS
Jika mendongeng itu penting, dengan segera orang tua pun akan menampik “aku nggak bisa mendongeng, biar gurunya saja yang mendongeng, mengurusi anak sudah susah, diomongin nggak nurut, bagaimana mau mendongeng?” Nah, solusinya pustaka usang setebal 362 halaman ini memberikan bonus 100 dongeng yang berciri lokal, nasional, maupun internasional. Nah, ada bonus 100 dongeng. Dan unduhan nilai positif, kini justru sebaliknya, “Nak, sini Bunda bacakan dongeng...!” Asyiklah, sama-sama melek literasi.
(hdr)