KPK dan Kejagung Didesak Periksa Keuangan Garuda Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Keputusan pemerintah untuk memberikan dana talangan sebesar Rp8,5 triliun kepada Garuda Indonesia menuai kritik. Pasalnya, dana negara yang saat ini ada seharusnya difokuskan untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
Wartawan senior, Andy Budiman mengatakan, pemerintah memang pemegang saham mayoritas dari Garuda Indonesia. Namun bagaimana tanggungjawab pemegang saham minoritas lainnya untuk ikut berbagi beban. (Baca juga: Dana Talangan Garuda Indonesia Baru Sebatas Tos, Rp8,5 T Akan Jadi Modal Kerja)
"Komposisi saham Garuda: Pemerintah 60,5%, PT Trans Airways 25,6%, publik 13,8%. Kenapa yang menanggung pemerintah saja? Kebijakan dana talangan rasanya tak patut -- apalagi dikucurkan pada saat rakyat susah akibat pandemi Covid-19," katanya dikutip dari akun Twitternya, @Andy_Budiman_ pada Minggu (7/6/2020).
Dia menilai, dalam fairness dalam prinsip bisnis, ketika Garuda untung, pemilik saham menikmati dividen. Kini, pada saat Garuda dirundung masalah, selayaknya seluruh pemilik saham juga bantu meringankan beban. (Baca juga: Dana Talangan Rp8,5 Triliun ke Garuda Indonesia Bukan dari APBN)
Selanjutnya, Andy mengungkapkan, tiket Garuda Indonesia tergolong mahal, sehingga layananan maskapai ini relatif tidak bisa dinikmati masyarakat banyak. Sehingga aneh ketika pemerintah terus memberikan bantuan kepada perusahaan yang akhirnya malah menjadi beban. "Dengan segala keterbatasannya, maskapai yang paling banyak dipakai jasanya oleh masyarakat justru maskapai seperti Air Asia atau Lion Air. Karena terjangkau, harga tiket kompetitif, meski dengan berbagai catatannya," terangnya.
Melihat fakta tersebut, dia menyarankan, KPK dan Kejaksaan Agung melakukan penyelidikan terhadap laporan keuangan Garuda Indonesia. Sebab bantuan dana talangan seperti saat ini bukan yang pertama kali diberikan oleh pemerintah. "Ada baiknya aparat penegak hukum, KPK dan Kejaksaan mulai memeriksa laporan keuangan Garuda. Ini harus jadi momentum perbaikan BUMN. Kalau tidak, kerugian ini yang akan menanggung adalah kita pembayar pajak," tegasnya. (Baca juga: Bukan Bailout, Dana Talangan untuk Garuda Bentuknya Pinjaman)
Andy menambahkan, ada baiknya dilakukan audit secara menyeluruh laporan keuangan dari BUMN tersebut. Jika ternyata tidak bisa diselematkan, maka langkah yang diambil pemerintah Thailand dapat diadopsi. "Prinsip paling mendasar dari bisnis: kalau rugi kenapa terus dipertahankan? Harus diaudit kembali laporan keuangan. Kalau memang merugi dan jadi beban negara kenapa tidak dilepas atau bahkan sekalian ditutup saja sebagaimana yang ditempuh oleh Thai Airways?" ungkapnya.
Selain itu, dia menilai, subsidi yang diglontorkan oleh pemerintah seharusnya dapat dirasakan untuk seluruh lapisan masyarakat. Semisal untuk sektor pendidikan, listrik, kesehatan dan kebutuhan mendasar lainnya. "Saya betul-betul berharap Erick Thohir tidak mengulangi kesalahan-kesalahan sebelumnya dalam pengelolaan perusahaan negara. Harus prudent, transparan," tutupnya.
Lihat Juga: Habiburokhman Banyak Terima Pertanyaan Apakah Kasus Tom Lembong Kategori Mengkriminalkan Kebijakan
Wartawan senior, Andy Budiman mengatakan, pemerintah memang pemegang saham mayoritas dari Garuda Indonesia. Namun bagaimana tanggungjawab pemegang saham minoritas lainnya untuk ikut berbagi beban. (Baca juga: Dana Talangan Garuda Indonesia Baru Sebatas Tos, Rp8,5 T Akan Jadi Modal Kerja)
"Komposisi saham Garuda: Pemerintah 60,5%, PT Trans Airways 25,6%, publik 13,8%. Kenapa yang menanggung pemerintah saja? Kebijakan dana talangan rasanya tak patut -- apalagi dikucurkan pada saat rakyat susah akibat pandemi Covid-19," katanya dikutip dari akun Twitternya, @Andy_Budiman_ pada Minggu (7/6/2020).
Dia menilai, dalam fairness dalam prinsip bisnis, ketika Garuda untung, pemilik saham menikmati dividen. Kini, pada saat Garuda dirundung masalah, selayaknya seluruh pemilik saham juga bantu meringankan beban. (Baca juga: Dana Talangan Rp8,5 Triliun ke Garuda Indonesia Bukan dari APBN)
Selanjutnya, Andy mengungkapkan, tiket Garuda Indonesia tergolong mahal, sehingga layananan maskapai ini relatif tidak bisa dinikmati masyarakat banyak. Sehingga aneh ketika pemerintah terus memberikan bantuan kepada perusahaan yang akhirnya malah menjadi beban. "Dengan segala keterbatasannya, maskapai yang paling banyak dipakai jasanya oleh masyarakat justru maskapai seperti Air Asia atau Lion Air. Karena terjangkau, harga tiket kompetitif, meski dengan berbagai catatannya," terangnya.
Melihat fakta tersebut, dia menyarankan, KPK dan Kejaksaan Agung melakukan penyelidikan terhadap laporan keuangan Garuda Indonesia. Sebab bantuan dana talangan seperti saat ini bukan yang pertama kali diberikan oleh pemerintah. "Ada baiknya aparat penegak hukum, KPK dan Kejaksaan mulai memeriksa laporan keuangan Garuda. Ini harus jadi momentum perbaikan BUMN. Kalau tidak, kerugian ini yang akan menanggung adalah kita pembayar pajak," tegasnya. (Baca juga: Bukan Bailout, Dana Talangan untuk Garuda Bentuknya Pinjaman)
Andy menambahkan, ada baiknya dilakukan audit secara menyeluruh laporan keuangan dari BUMN tersebut. Jika ternyata tidak bisa diselematkan, maka langkah yang diambil pemerintah Thailand dapat diadopsi. "Prinsip paling mendasar dari bisnis: kalau rugi kenapa terus dipertahankan? Harus diaudit kembali laporan keuangan. Kalau memang merugi dan jadi beban negara kenapa tidak dilepas atau bahkan sekalian ditutup saja sebagaimana yang ditempuh oleh Thai Airways?" ungkapnya.
Selain itu, dia menilai, subsidi yang diglontorkan oleh pemerintah seharusnya dapat dirasakan untuk seluruh lapisan masyarakat. Semisal untuk sektor pendidikan, listrik, kesehatan dan kebutuhan mendasar lainnya. "Saya betul-betul berharap Erick Thohir tidak mengulangi kesalahan-kesalahan sebelumnya dalam pengelolaan perusahaan negara. Harus prudent, transparan," tutupnya.
Lihat Juga: Habiburokhman Banyak Terima Pertanyaan Apakah Kasus Tom Lembong Kategori Mengkriminalkan Kebijakan
(cip)