Agenda Lelah Pengulik Sastra Akademis

Jum'at, 15 Oktober 2021 - 07:33 WIB
loading...
A A A
Pertumbuhan, perkembangan, dan penyebaran kritik sastra Indonesia memang sangat lambat jika dibandingkan dengan siar karya sastra yang memiliki wawasan dan pandangan luas atau netral seperti dikabarkan almarhum Jassin. Tengara pokok disebabkan oleh pluralitas karya sastra yang menuntut kepekaan khusus dari para kritisi atau penelaah sastra dalam upaya pemahaman total, serta menggali nilai bulat dari karya tersebut.

Kritisi sastra Indonesia pada umumnya adalah deretan penulis kreatif serba bisa dan sangat terpengaruh aliran atau mazhab sastra yang dianutnya. Akibatnya terjadi kesulitan ketika menilai karya yang berada di luar kerangka mazhab yang diilmuinya. Efek yang menjadi cemooh terkini yakni kritisi kurang menjadi objektif dan cenderung subjektif belaka. Namun subjektivitas bukanlah harga mati. Subjektivitas tak membuat pengaburan isi karya. Sebagai teladan romantisme yakni Arief Budiman, A Teeuw, pun Subagio Sastrowardoyo.

baca juga: Jurusan Sastra dengan Peminat Tertinggi di Indonesia, Korea Termasuk!

Tak silap hati jika Korrie Layun Rampan pun menegasi bahwa pada pokoknya kritik sastra harus berangkat dari subjektivitas untuk meraup objektivitas. Subjektivitas untuk mencapai objektivitas, ditopang visi, keseriusan, dan telaten sangat dituntut pada diri sosok kritisi, di samping mengusasi perangkat teori. Karena itu, tuntutan kritisi kiwari adalah totalitas yang multifaset, pengalaman literer yang ultima. Pembaca kiwari bilang “melek kecakapan literasi”.

Pengulik Herd Immunity

Pengulik sastra terkini pun kembang kempis. Menyerah. Tamsilnya herd immunity, hidup segan mati pun enggan. Kendala utama terkini yang membelit para penulis kritik sastra (sambil lalu) atau kritikan bisu ala verbalitas literer adalah media publikasi yang mapan. Bagi kaum akademisi (dosen) tentunya sudah tersedia wadah kritikan, tetapi risiko yang mencolok adalah benturan honorarium. Bagi penulis luar pun terasa sekarat, tidak sedikit media menutup rubrik kritik sastra.

baca juga: Yang Perlu Dipertimbangkan sebelum Memilih Jurusan Sastra

Ketahuilah, mulai paruh kedua 1990-an hingga 2021 sudah berjubel penerbitan karya: puisi, cerpen, novelet, novel, drama, antologi esai sastra; tetapi penanggapnya begitu miskin. Karya sastra ibarat menyampah. Apakah ekspresi kesastraan Indonesia telah mengidap diskomunikasi dengan masyarakat pembacanya? Kegeniusan ala Seno Gumira Ajidarma, Titis Basino PI, Tere Liye, Ahmad Fuadi, Andrea Hirata, Joko Pinurbo, sebagai contoh, tak mendapat perhatian serius. Mengapa periset sastra di Kantor Bahasa yang eksis di hampir setiap provinsi masih tidur untuk media? Mengapa belakangan ini tidak sedikit dosen sastra (Indonesia) bisu bersastra?

Sekadar menjumput tokoh terkini menggegas sastra, ada Prof Djoko Saryono (FIB UNM Malang), Dr Abdul Wachid BS (IAIN Purwokerto), Dr Teguh Trianton (UMP Purwokerto), Dr S Prasetyo Utomo (Universitas PGRI Semarang), Yusri Fajar MA (FIB Universitas Brawijaya Surabaya), Dr Aprinus Salam (FIB UGM Yogyakarta), pun Dr Wiyatmi (FIB UNY Yogyakarta) yang dewasa mengunyah sastra. Apa kabar master pengulik sastra?

baca juga: Sering Kena Stereotip, Ini Artinya Jadi Mahasiswa Sastra
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1484 seconds (0.1#10.140)