Kisah Jenderal Kostrad Lulusan Belanda yang Singkirkan 3 Senior Jadi Kasad

Selasa, 14 September 2021 - 05:58 WIB
loading...
Kisah Jenderal Kostrad Lulusan Belanda yang Singkirkan 3 Senior Jadi Kasad
Kasad Jenderal TNI Rudini saat kunjungan kerja ke Amerika Serikat pada 1984. Rudini menjabat Kasad pada 1983-1986 menggantikan Jenderal Poniman. Foto/Catalog Archives
A A A
JAKARTA - Regenerasi pucuk pimpinan TNI AD kerap menyita perhatian publik. Umumnya sejumlah nama beredar dan disebut-sebut punya kans kuat untuk menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad).

Ini pula yang terjadi pada 1983. Tiga jenderal senior dengan karier militer cemerlang dinilai punya peluang besar untuk menggantikan Kasad Jenderal Poniman. Ketiganya yakni Wiyogo Atmodarminto, Soesilo Sudarman, dan Himawan Soesanto.

Menhankam/Pangab Jenderal M Jusuf dalam buku biografi berjudul “Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit” yang ditulis Atmadji Sumarkidjo menyebutkan, semula dia ingin penerus Poniman berasal dari dari perwira terbaik lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) Yogyakarta.

Dari tiga nama yang muncul, Himawan Soesanto cukup kuat terdengar. Maklum, jenderal tempur asal Jawa Timur ini punya reputasi mentereng.

Saat berpangkat mayor, Himawan memimpin Batalyon 330/Kujang dari Kodam Siliwangi yang diterjunkan ke Sulawesi Selatan. Himawan dan pasukannya berhasil menghancurkan kekuatan pemberontak Andi Selle di Pinrang.

Dia pula yang turut menyelamatkan nyawa M Jusuf dari berondongan tembakan anak buah Andi Selle di Pinrang, Sulawesi Selatan. Jusuf yang saat itu Pangdam Hasanuddin nyaris direnggut maut usai perundingan damai dengan Selle gagal dan berujung baku tembak.

Namun faktanya tiga jenderal tersebut tak satu pun melaju sebagai orang nomor satu AD. Justru yang terpilih adalah orang termuda dari tiga jenderal itu, tetapi menempuh pendidikan militer di Breda, Belanda.

Sosok tersebut tak lain Mayjen Rudini yang saat itu Pangkostrad. Jadilah jenderal kelahiran Malang itu menjabat Kasad periode 1983-1986.

Menurut Jusuf, nama Rudini keluar langsung dari mulut Presiden Soeharto. Tugasnya hanya memanggil mantan Komandan Batalyon 401/Banteng Raiders itu untuk menghadap ke rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat.

Rudini saat itu benar-benar tak tahu untuk apa dirinya dipanggil Panglima. Dia pun berdebar menunggu perintah Jenderal Jusuf. Betapa terkejutnya ketika diberitahu telah ditunjuk sebagai Kasad.

“Kamu nanti menggantikan Poniman sebagai Kasad. Pelantikan oleh Presiden akan dilakukan dua hari lagi di Isana Negara,” kata Jusuf sebagaimana terdapat dalam buku tersebut dikutip Senin (13/9/2021).

Di tengah rasa terkejut dan tidak percaya, Rudini menjawab singkat. “Siap, Pak,” kata dia.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam buku biografinya berjudul “Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto” mengisahkan, rencana pergantian Poniman sebelumnya juga didengar Ibu Negara, Tien Soeharto.

Dalam sebuah makan malam di Jalan Cendana, Bu Tien berharap Pangdam Udayana Mayjen Dading Kalbuadi yang akan menjabat Kasad. Dia mengutarakan hal itu kepada Pak Harto.

“Itu lho Pak, sing apik iku (yang bagus itu) Pangdam Bali Pak Dading. Tinggi, gagah dan ganteng Pak. Cocok itu, sebaiknya dia yang jadi Kasad Pak,” kata Bu Tien, ditirukan Prabowo. Makan malam keluarga itu memang hanya tiga orang. Pak Harto, Bu Tien, dan Prabowo.

Pak Harto hanya tersenyum mendengar ucapan istrinya. Pada makan malam berikutnya Bu Tien kembali menanyakan hal sama. Dia kembali berharap Dading Kalbuadi yang dipilih.

Sama seperti sebelumnya, Pak Harto hanya tersenyum. “Masih digodok,” ujar Presiden kelahiran Kemusuk, DIY itu.

Beberapa hari setelahnya, media massa ramai memberitakan Kasad telah terpilih. Sosok itu tak lain Rudini. Dalam sebuah makan malam yang kembali dihadiri Prabowo, Bu Tien tampak kecewa. “Bapak (Soeharto) itu enggak mau dengar saran Ibu,” kata Bu Tien pada Prabowo.

Profil Jenderal TNI Rudini
Lahir di Malang pada 15 Desember 1929, Rudini sempat kuliah di Jakarta selepas SMA. Orang tuanya menginginkan dia menjadi dokter. Di sisi lain, Rudini sesungguhnya sangat ingin menjadi tentara.

Dia sempat mendaftar sebagai prajurit TNI AU namun tak diterima karena tinggi badannya tak memenuhi syarat. Pada Agustus 1951 dia mendengar TNI AD membuka pendaftaran untuk pendidikan di Akademi Militer Kerajaan di Breda, Belanda.

Rudini akhirnya mewujudkan impian menjadi tentara. Pada masa pendidikan itu, dia sempat masuk korps perhubungan, meski kemudian dipindah ke infanteri.

Ketika kembali ke Tanah Air, berbagai penugasan dijalaninya. Rekam jejak militernya banyak dihabiskan di Korps Baret Hijau Kostrad. Di masa-masa awal kariernya, dia terlibat dalam operasi penumpasan DI/TII di Sulawesi Selatan.

Lulus dari Kursus Lanjutan Perwira di Bandung, dia dipercaya sebagai Komandan Batalyon (Danyon) 401/Banteng Raiders. Pada 1968, batalyon ini menjadi satuan organik Kostrad.

Rudini juga pernah menjabat Kepala Staf dan Komandan Brigade Infanteri Linud 18/Kostrad, Kepala Staf dan Panglima Komando Tempur Lintas Udara, Kas Kostrad dan Pangdam XIII/Merdeka.

Kariernya makin mencorong dengan dipercaya sebagai orang nomor satu di Pasukan Cakra alias Pangkostrad, jabatan strategis yang pernah dipegang Soeharto. Rekam jejak cemerlang inilah yang membawanya sebagai Kasad.

Selepas dari militer, Rudini menjabat sebagai menteri dalam negeri. Setelahnya dia menjadi ketua Lembaga Pemilihan Umum (kini KPU). Rudini meninggal dunia di Jakarta pada 21 Januari 2006.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1057 seconds (0.1#10.140)