Kisah Hidup Tan Malaka, Guru yang Kepincut Jalan Revolusi

Rabu, 08 September 2021 - 07:55 WIB
loading...
A A A
Tan Malaka sempat tinggal di Tiongkok selama menjabat sebagai Wakil Komintern untuk Asia Tenggara. Di sana ia menulis buku Naar de Republiek Indonesia yang berisi konsep negara Indonesia dalam bayangannya. Ia meramalkan situasi politik internasional antara Jepang dan Amerika yang menyebabkan perang di Pasifik. Situasi yang pas untuk melakukan revolusi terhadap Belanda. Ramalan itu terbukti setelah 16 tahun dari buku Naar de Republiek Indonesia dicetak. Perang pasifik yang membuat gejolak perang dunia II terjadi.

Baca juga: Biografi Soekarno: Masa Kecil, Perjuangannya, Hingga Sederet Penghargaan

Tan Malaka juga menulis buku Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog). Buku ini berisi analisisnya terhadap rakyat Indonesia yang tidak terbiasa berpikir kritis, tidak logis, serta belum mampu berdialog secara baik.

Setelah melihat dari jauh kondisi Indonesia, Tan Malaka memutuskan pulang ke Tanah Air pada 1942. Ia tinggal di Rawa Jati, dekat pabrik sepatu di Kalibata dan menjadi pedagang buah. Tan lalu pergi ke Bayah, Banten, menjadi juru tulis dan pengurus administrasi romusa dengan nama samaran Ilyas Husein.

Proklamasi Kemerdekaan telah dikumandangkan Bung Karno dan Bung Hatta. Namun, Tan Malaka melihat kemerdekaan yang diraih belum seutuhnya. Ia pun kemudian membongkar penyamarannya dan menemui teman lamanya, Ahmad Soebardjo. Kedatangan Tan membuat Soebadjo kaget bukan kepalang. "Aku kira kau sudah mati," katanya.

Pada September 1945 atau sebulan setelah Proklamasi Kemerdekaan, Sekutu mulai mendarat di Jakarta untuk melucuti tentara Jepang. Tan Malaka kemudian menggelar rapat raksasa di Lapangan Ikada (sekarang Monas) sebagai pesan kepada Sekutu atas kekuatan rakyat Indonesia. Tak kurang dari 200.000 orang berkumpul memenuhi lapangan.

Popularitas yang tinggi, gagasan besar, serta jiwa revolusioner membuat rekan-rekan Tan mengusulkan agar ia dimasukkan ke dalam Pemerintahan. Namun tawaran itu ditolaknya. "Di waktu sekarang Saudara berdua, Soekarno-Hatta, sudah tepat itu. Biarlah saya menyokong dari belakang dengan mengerahkan rakyat di belakang Saudara," kata Tan Malaka saat bertemu Bung Karno dan Bung Hatta.

Kedatangan Belanda yang membonceng Sekutu ditanggapi beragam oleh masyarakat dan elit politik Indonesia. Soekarno, Hatta, dan Sjahrir lebih memilih jalan diplomasi.

Hal inilah yang membuat Tan Malaka berang. Termasuk Jenderal Besar Soedirman. Keduanya gemas dengan Kabinet Sjahrir yang mendapat mandat dari Bung Karno dan Hatta yang ditangkap Belanda,tidak lantang mengatakan bahwa Indonesia sudah merdeka dan tidak perlu berunding lagi.

Pendukung Tan Malaka yang kecewa pada pemerintahan Sjahrir, bergabung membentuk kelompok Persatuan Perjuangan pada 4 Januari 1946. Kelompok ini kemudian mengadakan kongres pertama yang dihadiri 132 organisasi sipil, partai, laskar, dan ketentaraan di Gedung Serba Guna Purwokerto. Pembicara utamanya, Tan Malaka dan Jenderal Soedirman.

Dari situ kemudian lahirlah ide kudeta. Kelompok oposisi kemudian melakukan kudeta terhadap pemerintahan Sjahrir karena dianggap gagal mewujudkan pengakuan kedaulatan Indonesia 100 persen.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1075 seconds (0.1#10.140)