Respons HNW Terkait Dirut TVRI Iman Brotoseno Pengganti Helmy Yahya

Jum'at, 29 Mei 2020 - 16:37 WIB
loading...
Respons HNW Terkait Dirut TVRI Iman Brotoseno Pengganti Helmy Yahya
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid memberikan tanggapan kepada Dewas TVRI yang memilih Iman Brotoseno sebagai Dirut LPP TVRI menggantikan Helmy Yahya. Foto/SINDOews
A A A
JAKARTA - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid memberikan tanggapan kepada Dewan Pengawas Televisi Republik Indonesia (Dewas TVRI) yang memilih Iman Brotoseno sebagai Direktur Utama (Dirut) LPP TVRI menggantikan Helmy Yahya, diketahui Iman diduga merupakan mantan kontributor majalah dewasa kontroversial.

(Baca juga: Komisi I Pertanyakan Penunjukan Iman Brotoseno sebagai Dirut TVRI)

HNW menilai, Dewas TVRI tidak melihat dan mempertimbangkan aturan perundangan maupun etika kehidupan berbangsa dan bernegara seperti TAP MPR No VI/2001, ataupun mempertimbangkan rekam jejak saat memilih ataupun mengangkat Iman.

"Dewas harus menjelaskan hal tersebut secara gamblang, bahkan perlu segera merevisi keputusannya. Kok bisa rekam jejak komprehensif calon Dirut bisa luput dari perhatian dalam proses pemilihan Dirut TVRI, jabatan publik yang sangat strategis dan dibiayai oleh APBN," kata HNW dalam siaran persnya, Jumat (29/5/2020).

(Baca juga: Pengangkatan Dirut TVRI Baru Panen Kritik dari DPR)

HNW mengingatkan, setiap penyelenggara negara harus tunduk kepada TAP MPR RI Nomor VI/MPR/2001 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Di dalam TAP itu, salah satu poinnya adalah pentingnya etika sosial dan budaya. Dalam TAP MPR tersebut tertulis bahwa “perlu menumbuhkembangkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa”.

"Disayangkan sekali, Rekam Jejak calon Dirut TVRI yang baru sebagai eks kontributor Majalah Playboy Indonesia tidak menggambarkan hal itu. Apalagi, terkait majalah tersebut, dari pempimpin redaksi hingga beberapa modelnya pernah diproses secara hukum, berkaitan dengan delik kesusilaan," jelas Wakil Ketua Majelis Syura PKS itu.

Anggota Komisi VIII DPR ini menilai bahwa pengangkatan Dirut TVRI dengan rekam jejak seperti itu yang tak sesuai dengan budaya beragama di Indonesia, justru akan membuat gaduh dan resah di tengah masyarakat yang lagi terkena status darurat kesehatan nasional Covid-18.

"Masyarakat yang mestinya dibantu dengan hadirnya kebijakan-kebijakan yang membanggakan dan menenteramkan agar menguatkan religiusitas, dan harapan serta kepercayaan pada institusi negara, dan karenanya akan berkontribusi atasi Covid-19, anehnya malah kembali disodori keputusan yang menimbulkan kontroversi," ujarnya.

Apalagi lanjut HNW, dengan posisi di mana warga diminta bekerja dan belajar dari rumah, tentu salah satu kegiatan yang mereka rujuk adalah tayangan TV, terutama TVRI yang bisa menjangkau masyarakat Indonesia secara sangat luas hingga ke seluruh pelosok Indonesia.

"Kalau Direkturnya berlatar belakang negatif seperti itu, tentu bisa membuat keresahan dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi itu berkurang," ucapnya.

Menurut politikus PKS ini, masih banyak kalangan profesional dengan track record lebih baik, yang bisa membuat kebijakan tayangan TVRI yang positif, konstruktif dan edukatif sesuai TAP MPR soal etika kehidupan berbangsa dan bernegara itu.

Kata HNW, Dewas TVRI juga seharusnya menghormati proses hukum, dan dapat menahan diri sebelum kisruh dengan Dirut TVRI non aktif Helmy Yahya benar-benar jelas dan selesai melalui proses di Komisi I DPR dan secara hukum. Dengan begini, Dewas tidak menghormati rekomendasi Komisi I DPRRI untuk menunda pemilihan Dirut TVRI yang baru sebagai pengganti antar waktu.

"DPR sedang menangani kisruh tersebut, tetapi justru Dewas TVRI tak mengindahkan, dan malah menambah kisruh yang baru dan lebih luas," sesal HNW.

Selain itu HNW menambahkan, pengangkatan Dirut TVRI ini juga tidak menghormati proses hukum gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang dilayangkan atas pemberhentian Helmy Yahya sebagai Dirut TVRI oleh Dewas TVRI. Minimal sampai ada putusan berkekuatan tetap dari pengadilan.

"Di era new normal akan menjadi abnormal bila kebijakan-kebijakan yang dihadirkan justru tak mengindahkan faktor moral, legal dan tanggung jawab sosial. Kaedah yang harusnya dilaksanakan misalnya dalam ‘keputusan’ Dewas soal pengangkatan dirut TVRI itu," pungkasnya.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1929 seconds (0.1#10.140)