Waspadai Potensi Gempa-Tsunami di Selatan Jatim
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gempa berkekuatan Magnitudo 8,7 dan tsunami 29 meter mengancam pantai selatan Jawa Timur? Walaupun belum tentu terjadi, potensi tersebut perlu dimitigasi dengan mengkondisikan masyarakat agar selalu siap dan membangun infrastruktur untuk meminimalkan dampak bencana tersebut.
Potensi bencana besar tersebut disampaikan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati setelah lembaganya melakukan pemodelan matematika, untuk mengukur potensi besaran gempa dan ketinggian tsunami di wilayah tersebut. Hasil pemodelan itu menemukan potensi tsunami maksimum pada seluruh pesisir ada di Kabupaten Trenggalek dengan kisaran 26-29 meter, sedangkan waktu tercepat berada di Kabupaten Blitar yang berada di angka 20-24 menit.
Dwikorita menegaskan, potensi gempa dan tsunami di wilayah tersebut sebatas acuan, bukan prediksi. Dengan demikian belum tentu terjadi. Karena itu dia meminta masyarakat tidak panik.
“Tetapi kenapa kami lakukan? Karena untuk kepentingan mitigasi, berjaga-jaga kondisi terburuk. Kenapa yang dipilih kondisi terburuk? Kalau kondisi terburuk itu sudah disiapkan, sudah dilatihkan, dan fasilitasnya sudah disiapkan, Insya Allah itu tidak terjadi, yang terjadi lebih lebih ringan,” kata Dwikorita.
Namun di sisi laian dia meminta tidak menyepelekan ancaman tersebut. Menurut dia, perlu antisipasi yang dilakukan oleh warga dan juga kepala daerah setempat. Khususnya menyiapkan masyarakat agar rutin melakukan latihan evakuasi agar ketika terjadi kondisi darurat masyarakat tetap waspada.
“Jadi kami sudah berkoordinasi dengan mulai dari Gubernur sampai Bupati Walikota yang perlu dilakukan, yakni menyiapkan masyarakatnya untuk lebih rutin melakukan latihan evakuasi karena pemerintah daerah sudah menyiapkan jalur-jalur evakuasi itu itu sudah ada,” paparnya.
Pakar Geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Amien Widodo menuturkan, pemodelan yang dilakukan BMKG merupakan langkah awal yang tepat. Apalagi daerah Jawa Timur terbentuk karena adanya tumbukan lempeng Eurasia dan Indo-Australia. Dengan demikian menjadi suatu keharusan untuk meneliti bab kegempaan di Jawa Timur.
‘’BMKG bukan tanpa alasan menyebutkan skenario terburuk yang mungkin menimpa. Pemodelan ini menunjukkan worst scenario kemudian diumumkan, karena dalam lima bulan terakhir diketahui frekuensi gempa yang terjadi di Jawa Timur sangat tinggi,” kata Amien, Kamis (3/6/2021).
Dosen Departemen Teknik Geofisika itu menambahkan, tingginya intensitas terjadinya gempa ini patut dicurigai. Belajar dari gempa besar di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 27 Mei 2005 silam, salah satu yang menjadi pertanda sebelum gempa adalah terekam aktivitas kegempaan yang semakin sering. Saat itu, frekuensi gempa mengalami kenaikan, tetapi tidak lebih dari 50 gempa setiap bulannya. Adapun , di lima bulan terakhir ini gempa yang terekam selalu lebih dari 500 kejadian per bulan.
‘’Memang sangat jauh perbedaan frekuensi tahun 2005 lalu dengan tahun sekarang ini. Makanya, sudah sepantasnya kita jauh lebih waspada. Terlebih lagi, tumbukan lempeng yang menyusun Jawa Timur ini panjangnya sekitar 250 sampai 300 kilometer,’’ katanya.
Dia juga menjelaskan, perkembangan yang ada juga menunjukkan gempa sangat mungkin terjadi di berbagai titik di wilayah yang ada di sekitar zona subduksi, yakni zona tempat terjadinya tumbukan itu. Meski menurut penelitian aktivitas seismik yang terekam selama ini tidak merata, tetapi menurut Amien, justru hal itu yang perlu dijadikan perhatian.
“Jika sewajarnya intensitas gempa di setiap titik zona subduksi adalah sama, tetapi ditemukan zona dengan gap seismic, artinya ada kemungkinan lempengan terkunci dan akan lepas sewaktu-waktu,” jelasnya.
Untuk diketahui, permodelan BMKG selaras dengan sebuah penelitian yang juga menemukan potensi gempa berkekuatan besar di selatan Pulau Jawa. Penelitian dimaksud hasil kolaborasi 11 peneliti dari berbagai institusi berbeda dengan judul implikasi gempa bumi megathrust dan tsunami dari celah seismik di selatan Jawa Indonesia.
Seperti judulnya, riset yang di publish di jurnal ilmiah Nature ini meneliti berbagai sisi tentang seismic gap di selatan Pulau Jawa. Kajian para peneliti ini mengungkap relokasi gempa bumi yang dicatat oleh BMKG di Indonesia dan inversi data global positioning system (GPS) menunjukan ada celah seismik yang jelas di sebelah selatan Pulau Jawa.
Kesenjangan seismik itu diduga terkait dengan sumber potensi gempa megathrust di masa depan di wilayah tersebut. Untuk menilai bahaya gelombang yang akan terjadi, pemodelan tsunami dilakukan berdasarkan beberapa skenario yang melibatkan gempa bumi tsunamigenik besar yang ditimbulkan oleh pecahan di sepanjang segmen megathrust selatan Jawa.
Dari hasil pemodelan dalam penelitian ini menunjukkan skenario terburuknya jika 2 segmen megatrust di selatan Jawa pecah secara bersamaan, terdapat potensi tsunami dengan ketinggian maksimum hingga 20 meter di pantai selatan Jawa Barat dan 12 meter di Jawa Timur. Dalam skenario terburuk gempa megatrust tersebut, rata-rata ketinggian maksimum tsunami di seluruh pantai selatan Jawa adalah 4,5 meter.
Para peneliti dalam riset ini menyimpulkan hasil pemodelan mereka selaras dengan seruan untuk memperkuat Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS), khususnya di Jawa yang padat penduduk. Dalam penelitian itu juga disebutkan celah seismik di lepas pantai barat daya Sumatera, yang memiliki risiko untuk dapat terjadinya peristiwa megathrust di masa depan, telah dipelajari secara rinci.
Di sisi lain, celah seismik yang lebih jauh ke tenggara di sepanjang Busur Sunda berbatasan dengan Jawa, pulau utama Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 150 juta orang, kurang dipelajari secara intensif.
Daerah-daerah di sepanjang pantai selatan Jawa, misalnya Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Pacitan, dan Banyuwangi, telah berkembang pesat belakangan ini dan rentan terhadap gempa bumi besar dan tsunami terkait. Di selatan Jawa, dasar laut usia Jurassic dengan tutupan sedimen yang tebal menunjam di bawah tepi tepi Sundaland di Palung Jawa.
Tidak adanya gempa bumi besar baru-baru ini dapat menunjukkan bahwa peristiwa tsunamigenik yang lebih dahsyat di sepanjang pantai selatan Jawa merupakan ancaman potensial. Jika ini benar, maka pemberlakuan peringatan dini yang efektif perlu menjadi prioritas utama, karena kebanyakan orang yang tinggal di daerah berisiko tinggi tsunami akan memiliki sedikit waktu untuk mengungsi.
Namun, adanya celah seismik tidak selalu berarti akumulasi regangan elastis, karena kejadian slip lambat dapat bertanggung jawab atas pelepasan energi yang berkelanjutan. Sementara tidak ada bukti pergelinciran lambat di sepanjang Palung Jawa. Ini mungkin karena kurangnya pengamatan, tetapi hal tersebut bisa diperoleh dengan investigasi geodetik dasar laut.
Namun demikian, meski pergelinciran lambat tidak bisa dibuktikan, belakangan ini studi telah menemukan bukti endapan tsunamigenik di sepanjang garis pantai yang menghadap Palung Jawa, titik yang dimana terjadinya peristiwa megathurst bersejarah.
Pada Studi ini, para ilmuwan menggunakan data yang diambil katalog dari Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS) yang dilaporkan oleh BMKG, yang digabung dengan data dari Katalog International Seismological Centre (ISC), untuk menginvestigiasi potensi dari terjadinya gempa bumi megathrust dan tsunami yang menyusul di wilayah selatan Pulau Jawa.
Dari penggabungan kedua data ini, para ilmuwan mengekstraksi gelombang P dan S dari gelombang tiba dari 436 titik seismik lokal, regional, dan jarak teleseismic dalam periode April 2009 hingga November 2018.
Alat Deteksi dan Mitigasi
Demi memitigasi bencana gempa dan tsunami, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah mengembangkan sejumlah alat deteksi dan mitigasi bencana. Upaya itu sejalan dengan amanat Perpres No. 93 Tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Peringatan Dini Gempa dan Tsunami; dan Perpres No. 18 Tahun 2020 terkait Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional IV Penguatan Sistem Peringatan Dini Bencana.
Kepala BPPT Hammam Riza mengungkapkan telah mengembangkan beberapa peralatan teknologi kebencanaan. Di lingkup bencana tsunami, BPPT mengembangkan sistem inovasi teknologi sistem peringatan dini tsunami atau lebih dikenal dengan InaTEWS. Sistem tersebut berfungsi mendeteksi kejadian gempa dan tsunami yang terjadi di laut dengan menggunakan sensor perubahan tekanan air laut yang ditempatkan di dalam komponen OBU (Ocean Bottom Unit).
Komponen itu berada di sistem pendeteksian tsunami berbasis pressure sensor buoy bernama Indonesia Buoy atau InaBuoy yang kini sudah dikembangkan hingga empat generasi. Sensor pada OBU ini mengukur perubahan tinggi muka air laut saat terjadi gempa yg berpotensi membangkitkan tsunami.
Data tersebut dikirimkan ke InaTOC di Pusat Pengamatan Tsunami di BPPT, baik melalui satelit (InaBuoy) maupun kabel optik (InaCBT). Data tersebut selanjutnya diteruskan ke BMKG untuk menjadi data yang memverifikasi lebih cepat. Model prediksi InaTEWS BMKG ini berbasis data seismograf. “Dengan InaTEWS BPPT termasuk mampu memantau tsunami non tektonik atau longsoran bawah laut yang tidak dapat diprediksi oleh model BMKG,” papar Hammam kepada Koran SINDO, Senin (7/6).
Selain InaBuoy, BPPT mengembangkan InaCAT (Indonesia Coastal Acoustic Tomography) sebagai salah satu pilihan sistem observasi tsunami. Sistem ini mengukur gelombang anomali, termasuk gelombang yang terjadi akibat tsunami berbasis akustik coastal tomografi.
Inovasi lain yang dikembangkan untuk mendeteksi dini tsunami adalah InaCBT (Indonesia Cable Based Tsunameter) yaitu peringatan dini tsunami berbasis platform jaringan kabel sebagai media pengiriman data dari sensor pendeteksi gelombang tsunami berupa pressure gauge dan akselerometer.
Deteksi tsunami itu pun dilengkapi dengan memadukan kecerdasan artifisial (AI) sehingga bisa analisis data sistem observasi tsunami maupun parameter data lain terkait tsunami. Sistem ini melakukan analisis prediksi tsunami berbasis big data, lebih cepat, dan lebih akurat.
“Saat ini kami telah membuat 11 unit InaBuoy, 2 unit InaCBT yg akan dipasang di Rokatenda dan Labuan Bajo. 1 set InaCAT di Selat Lombok, dan 1 pengembangan sistem kecerdasan artifisial (AI) tsunami sebagai decision support system. Adapun InaBuoy akan ditempatkan di 11 lokasi tahun 2021 dan 15 lokasi ditargetkan pada 2024,” urai Hammam.
Dalam produksi atau pengembangan alat tersebut, BPPT berkolaborasi dengan PT CCSI yang memproduksi kabel InaCBT, PT PAL dalam pengembangan InaBuoy, pihak penggelar kabel dalam negeri, pemerintah daerah, BMKG, hingga kerjasama dengan pihak dari luar negeri seperti Jamstec Jepang dan Hawaii University – Amerika Serikat.
Di bagian lain, Kepala BNPB Letnan Jenderal TNI Ganip Warsito menyatakan bahwa BNPB mendukung pengembangan dan pengelolaan sistem peringatan dini cuaca. Dalam konteks tersebut, BMKG sebagai lembaga teknis yang memberikan informasi peringatan dini yang kemudian diinformasikan kepada beberapa pihak, seperti BNPB dan pemerintah daerah.
BNPB, kata dia, akan mengirimkan surat kepada pemerintah daerah untuk kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi potensi bahaya. Saat ini, tutur Ganip, BNPB sedang mengembangkan informasi peringatan dini melalui SMS blast, bekerja sama dengan Kemenkominfo.
"Kami masih menguji coba dan masih mempersiapkan pendekatan ini untuk memberikan informasi kepada publik. BNPB juga memiliki kerja sama dengan perguruan tinggi, seperti UGM, dalam pengembangan landslide early warning system (LEWS). Sistem ini tidak hanya menekankan pada peralatan sensor Gerakan tanah tetapi juga adanya sub-subsistem di dalamnya," ujar Ganip kepada KORAN SINDO, Selasa (8/6) malam.
Dia membeberkan, berdasarkan data BNPB dalam kurun waktu 10 tahun (2010-2020), bencana hidrometeorologi basah dominan terjadi di wilayah Indonesia, seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, dan angin puting beliung. Berbicara daerah rawan, kata Ganip, hampir seluruh wilayah nusantara ini rawan bencana. Untuk itu, BNPB telah mengidentifikasi wilayah-wilayah dengan potensi ancaman bahayanya.
Lihat Juga: Baznas Salurkan 35.000 Liter Air Bersih untuk Penyintas Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki
Potensi bencana besar tersebut disampaikan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati setelah lembaganya melakukan pemodelan matematika, untuk mengukur potensi besaran gempa dan ketinggian tsunami di wilayah tersebut. Hasil pemodelan itu menemukan potensi tsunami maksimum pada seluruh pesisir ada di Kabupaten Trenggalek dengan kisaran 26-29 meter, sedangkan waktu tercepat berada di Kabupaten Blitar yang berada di angka 20-24 menit.
Dwikorita menegaskan, potensi gempa dan tsunami di wilayah tersebut sebatas acuan, bukan prediksi. Dengan demikian belum tentu terjadi. Karena itu dia meminta masyarakat tidak panik.
“Tetapi kenapa kami lakukan? Karena untuk kepentingan mitigasi, berjaga-jaga kondisi terburuk. Kenapa yang dipilih kondisi terburuk? Kalau kondisi terburuk itu sudah disiapkan, sudah dilatihkan, dan fasilitasnya sudah disiapkan, Insya Allah itu tidak terjadi, yang terjadi lebih lebih ringan,” kata Dwikorita.
Namun di sisi laian dia meminta tidak menyepelekan ancaman tersebut. Menurut dia, perlu antisipasi yang dilakukan oleh warga dan juga kepala daerah setempat. Khususnya menyiapkan masyarakat agar rutin melakukan latihan evakuasi agar ketika terjadi kondisi darurat masyarakat tetap waspada.
“Jadi kami sudah berkoordinasi dengan mulai dari Gubernur sampai Bupati Walikota yang perlu dilakukan, yakni menyiapkan masyarakatnya untuk lebih rutin melakukan latihan evakuasi karena pemerintah daerah sudah menyiapkan jalur-jalur evakuasi itu itu sudah ada,” paparnya.
Pakar Geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Amien Widodo menuturkan, pemodelan yang dilakukan BMKG merupakan langkah awal yang tepat. Apalagi daerah Jawa Timur terbentuk karena adanya tumbukan lempeng Eurasia dan Indo-Australia. Dengan demikian menjadi suatu keharusan untuk meneliti bab kegempaan di Jawa Timur.
‘’BMKG bukan tanpa alasan menyebutkan skenario terburuk yang mungkin menimpa. Pemodelan ini menunjukkan worst scenario kemudian diumumkan, karena dalam lima bulan terakhir diketahui frekuensi gempa yang terjadi di Jawa Timur sangat tinggi,” kata Amien, Kamis (3/6/2021).
Dosen Departemen Teknik Geofisika itu menambahkan, tingginya intensitas terjadinya gempa ini patut dicurigai. Belajar dari gempa besar di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 27 Mei 2005 silam, salah satu yang menjadi pertanda sebelum gempa adalah terekam aktivitas kegempaan yang semakin sering. Saat itu, frekuensi gempa mengalami kenaikan, tetapi tidak lebih dari 50 gempa setiap bulannya. Adapun , di lima bulan terakhir ini gempa yang terekam selalu lebih dari 500 kejadian per bulan.
‘’Memang sangat jauh perbedaan frekuensi tahun 2005 lalu dengan tahun sekarang ini. Makanya, sudah sepantasnya kita jauh lebih waspada. Terlebih lagi, tumbukan lempeng yang menyusun Jawa Timur ini panjangnya sekitar 250 sampai 300 kilometer,’’ katanya.
Dia juga menjelaskan, perkembangan yang ada juga menunjukkan gempa sangat mungkin terjadi di berbagai titik di wilayah yang ada di sekitar zona subduksi, yakni zona tempat terjadinya tumbukan itu. Meski menurut penelitian aktivitas seismik yang terekam selama ini tidak merata, tetapi menurut Amien, justru hal itu yang perlu dijadikan perhatian.
“Jika sewajarnya intensitas gempa di setiap titik zona subduksi adalah sama, tetapi ditemukan zona dengan gap seismic, artinya ada kemungkinan lempengan terkunci dan akan lepas sewaktu-waktu,” jelasnya.
Untuk diketahui, permodelan BMKG selaras dengan sebuah penelitian yang juga menemukan potensi gempa berkekuatan besar di selatan Pulau Jawa. Penelitian dimaksud hasil kolaborasi 11 peneliti dari berbagai institusi berbeda dengan judul implikasi gempa bumi megathrust dan tsunami dari celah seismik di selatan Jawa Indonesia.
Seperti judulnya, riset yang di publish di jurnal ilmiah Nature ini meneliti berbagai sisi tentang seismic gap di selatan Pulau Jawa. Kajian para peneliti ini mengungkap relokasi gempa bumi yang dicatat oleh BMKG di Indonesia dan inversi data global positioning system (GPS) menunjukan ada celah seismik yang jelas di sebelah selatan Pulau Jawa.
Kesenjangan seismik itu diduga terkait dengan sumber potensi gempa megathrust di masa depan di wilayah tersebut. Untuk menilai bahaya gelombang yang akan terjadi, pemodelan tsunami dilakukan berdasarkan beberapa skenario yang melibatkan gempa bumi tsunamigenik besar yang ditimbulkan oleh pecahan di sepanjang segmen megathrust selatan Jawa.
Dari hasil pemodelan dalam penelitian ini menunjukkan skenario terburuknya jika 2 segmen megatrust di selatan Jawa pecah secara bersamaan, terdapat potensi tsunami dengan ketinggian maksimum hingga 20 meter di pantai selatan Jawa Barat dan 12 meter di Jawa Timur. Dalam skenario terburuk gempa megatrust tersebut, rata-rata ketinggian maksimum tsunami di seluruh pantai selatan Jawa adalah 4,5 meter.
Para peneliti dalam riset ini menyimpulkan hasil pemodelan mereka selaras dengan seruan untuk memperkuat Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS), khususnya di Jawa yang padat penduduk. Dalam penelitian itu juga disebutkan celah seismik di lepas pantai barat daya Sumatera, yang memiliki risiko untuk dapat terjadinya peristiwa megathrust di masa depan, telah dipelajari secara rinci.
Di sisi lain, celah seismik yang lebih jauh ke tenggara di sepanjang Busur Sunda berbatasan dengan Jawa, pulau utama Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 150 juta orang, kurang dipelajari secara intensif.
Daerah-daerah di sepanjang pantai selatan Jawa, misalnya Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Pacitan, dan Banyuwangi, telah berkembang pesat belakangan ini dan rentan terhadap gempa bumi besar dan tsunami terkait. Di selatan Jawa, dasar laut usia Jurassic dengan tutupan sedimen yang tebal menunjam di bawah tepi tepi Sundaland di Palung Jawa.
Tidak adanya gempa bumi besar baru-baru ini dapat menunjukkan bahwa peristiwa tsunamigenik yang lebih dahsyat di sepanjang pantai selatan Jawa merupakan ancaman potensial. Jika ini benar, maka pemberlakuan peringatan dini yang efektif perlu menjadi prioritas utama, karena kebanyakan orang yang tinggal di daerah berisiko tinggi tsunami akan memiliki sedikit waktu untuk mengungsi.
Namun, adanya celah seismik tidak selalu berarti akumulasi regangan elastis, karena kejadian slip lambat dapat bertanggung jawab atas pelepasan energi yang berkelanjutan. Sementara tidak ada bukti pergelinciran lambat di sepanjang Palung Jawa. Ini mungkin karena kurangnya pengamatan, tetapi hal tersebut bisa diperoleh dengan investigasi geodetik dasar laut.
Namun demikian, meski pergelinciran lambat tidak bisa dibuktikan, belakangan ini studi telah menemukan bukti endapan tsunamigenik di sepanjang garis pantai yang menghadap Palung Jawa, titik yang dimana terjadinya peristiwa megathurst bersejarah.
Pada Studi ini, para ilmuwan menggunakan data yang diambil katalog dari Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS) yang dilaporkan oleh BMKG, yang digabung dengan data dari Katalog International Seismological Centre (ISC), untuk menginvestigiasi potensi dari terjadinya gempa bumi megathrust dan tsunami yang menyusul di wilayah selatan Pulau Jawa.
Dari penggabungan kedua data ini, para ilmuwan mengekstraksi gelombang P dan S dari gelombang tiba dari 436 titik seismik lokal, regional, dan jarak teleseismic dalam periode April 2009 hingga November 2018.
Alat Deteksi dan Mitigasi
Demi memitigasi bencana gempa dan tsunami, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah mengembangkan sejumlah alat deteksi dan mitigasi bencana. Upaya itu sejalan dengan amanat Perpres No. 93 Tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Peringatan Dini Gempa dan Tsunami; dan Perpres No. 18 Tahun 2020 terkait Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional IV Penguatan Sistem Peringatan Dini Bencana.
Kepala BPPT Hammam Riza mengungkapkan telah mengembangkan beberapa peralatan teknologi kebencanaan. Di lingkup bencana tsunami, BPPT mengembangkan sistem inovasi teknologi sistem peringatan dini tsunami atau lebih dikenal dengan InaTEWS. Sistem tersebut berfungsi mendeteksi kejadian gempa dan tsunami yang terjadi di laut dengan menggunakan sensor perubahan tekanan air laut yang ditempatkan di dalam komponen OBU (Ocean Bottom Unit).
Komponen itu berada di sistem pendeteksian tsunami berbasis pressure sensor buoy bernama Indonesia Buoy atau InaBuoy yang kini sudah dikembangkan hingga empat generasi. Sensor pada OBU ini mengukur perubahan tinggi muka air laut saat terjadi gempa yg berpotensi membangkitkan tsunami.
Data tersebut dikirimkan ke InaTOC di Pusat Pengamatan Tsunami di BPPT, baik melalui satelit (InaBuoy) maupun kabel optik (InaCBT). Data tersebut selanjutnya diteruskan ke BMKG untuk menjadi data yang memverifikasi lebih cepat. Model prediksi InaTEWS BMKG ini berbasis data seismograf. “Dengan InaTEWS BPPT termasuk mampu memantau tsunami non tektonik atau longsoran bawah laut yang tidak dapat diprediksi oleh model BMKG,” papar Hammam kepada Koran SINDO, Senin (7/6).
Selain InaBuoy, BPPT mengembangkan InaCAT (Indonesia Coastal Acoustic Tomography) sebagai salah satu pilihan sistem observasi tsunami. Sistem ini mengukur gelombang anomali, termasuk gelombang yang terjadi akibat tsunami berbasis akustik coastal tomografi.
Inovasi lain yang dikembangkan untuk mendeteksi dini tsunami adalah InaCBT (Indonesia Cable Based Tsunameter) yaitu peringatan dini tsunami berbasis platform jaringan kabel sebagai media pengiriman data dari sensor pendeteksi gelombang tsunami berupa pressure gauge dan akselerometer.
Deteksi tsunami itu pun dilengkapi dengan memadukan kecerdasan artifisial (AI) sehingga bisa analisis data sistem observasi tsunami maupun parameter data lain terkait tsunami. Sistem ini melakukan analisis prediksi tsunami berbasis big data, lebih cepat, dan lebih akurat.
“Saat ini kami telah membuat 11 unit InaBuoy, 2 unit InaCBT yg akan dipasang di Rokatenda dan Labuan Bajo. 1 set InaCAT di Selat Lombok, dan 1 pengembangan sistem kecerdasan artifisial (AI) tsunami sebagai decision support system. Adapun InaBuoy akan ditempatkan di 11 lokasi tahun 2021 dan 15 lokasi ditargetkan pada 2024,” urai Hammam.
Dalam produksi atau pengembangan alat tersebut, BPPT berkolaborasi dengan PT CCSI yang memproduksi kabel InaCBT, PT PAL dalam pengembangan InaBuoy, pihak penggelar kabel dalam negeri, pemerintah daerah, BMKG, hingga kerjasama dengan pihak dari luar negeri seperti Jamstec Jepang dan Hawaii University – Amerika Serikat.
Di bagian lain, Kepala BNPB Letnan Jenderal TNI Ganip Warsito menyatakan bahwa BNPB mendukung pengembangan dan pengelolaan sistem peringatan dini cuaca. Dalam konteks tersebut, BMKG sebagai lembaga teknis yang memberikan informasi peringatan dini yang kemudian diinformasikan kepada beberapa pihak, seperti BNPB dan pemerintah daerah.
BNPB, kata dia, akan mengirimkan surat kepada pemerintah daerah untuk kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi potensi bahaya. Saat ini, tutur Ganip, BNPB sedang mengembangkan informasi peringatan dini melalui SMS blast, bekerja sama dengan Kemenkominfo.
"Kami masih menguji coba dan masih mempersiapkan pendekatan ini untuk memberikan informasi kepada publik. BNPB juga memiliki kerja sama dengan perguruan tinggi, seperti UGM, dalam pengembangan landslide early warning system (LEWS). Sistem ini tidak hanya menekankan pada peralatan sensor Gerakan tanah tetapi juga adanya sub-subsistem di dalamnya," ujar Ganip kepada KORAN SINDO, Selasa (8/6) malam.
Dia membeberkan, berdasarkan data BNPB dalam kurun waktu 10 tahun (2010-2020), bencana hidrometeorologi basah dominan terjadi di wilayah Indonesia, seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, dan angin puting beliung. Berbicara daerah rawan, kata Ganip, hampir seluruh wilayah nusantara ini rawan bencana. Untuk itu, BNPB telah mengidentifikasi wilayah-wilayah dengan potensi ancaman bahayanya.
Lihat Juga: Baznas Salurkan 35.000 Liter Air Bersih untuk Penyintas Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki
(ynt)