Konflik Palestina-Israel Paling Realistis Diselesaikan dengan Solusi Dua Negara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Konflik Israel-Palestina yang berkepanjangan coba diselesaikan dengan konsep two-state solution (solusi dua negara), dimana keduanya bisa hidup berdampingan sebagai negara berdaulat, dengan Yerusalem sebagai ibukota bersama. Hal itu dianggap menjadi solusi paling realistis, dan sudah didukung oleh serangkaian resolusi Dewan Keamanan PBB dan Sidang Majelis Umum PBB.
Selain itu, ia menilai pembubaran Israel bisa menjadi solusi atau jalan keluar untuk mengakhiri konflik di tanah Palestina selama ini, karena berbagai upaya gagal dilakukan.
Anis menjelaskan pembubaran suatu negara merupakan hal biasa dan pernah terjadi menimpa Uni Soviet dan Yugoslavia. Setelah bubarnya Uni Soviet misalnya, kemudian muncul Rusia justru menjadi kekuatan baru global.
Sementara itu, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Prof. Komaruddin Hidayat menilai Indonesia sesuai amanah konstitusi tentu menentang segala penjajahan di muka bumi.
Prof Komaruddin menyebut, elite-elite politik Indonesia tidak akan populer kalau membela Israel. Intinya, kata dia, bagaimana membantu menyelesaikan konflik.
"Ada satu gagasan bagaimana menjadi penengah, kalau kita tidak bisa merangkul keduanya. Jembatan itu kan harus kakinya terhubung. Terhubung dua kaki, yang satu adalah Palestina, yang satu Israel. Seperti kata Gus Dur, kita gak mungkin jadi penengah kalau Indonesia tidak bisa bersahabat dengan Israel. Erdogan itu keras sekali. Tapi dalam hal ekonomi dengan Israel kan jalan terus. Saudi Arabia juga berkawan baik dengan Amerika," tuturnya.
Bicara Palestina, sambung Prof. Komaruddin, ternyata antara bahasa bisnis dan bahasa agama itu berbeda logikanya. Menurutnya, umat Islam Indonesia sangat anti Israel dan sangat pro Hamas, sementara di belakang Hamas, sambung dia, didukung Iran, dan Iran itu Syiah.
“Nah Umat Islam Indonesia itu anti Syiah, padahal Syiah di Iran paling konsisten membela Hamas anti Israel. Kita sangat dekat dengan Saudi, sementara Saudi itu bersahabat baik dengan Amerika dan juga Israel. Jadi, logika, emosi agama, logika ekonomi dan politik ini ternyata berbeda-beda. Bagi masyarakat awam kan tidak paham logika ini. Kita agak kacau kalau bicara antara politik dan teologi agama. Karena, secara politik, kalau alasan mereka karena agama, mestinya Arab Saudi investasinya paling besar ke Indonesia karena masyarakat Muslim paling banyak, tapi kita investasi nyatanya dari China yang bukan Islam,” urainya.
Sementara Pengamat Politik Internasional Prof. Imron Cotan menanggapi konflik Palestina-Israel dengan pendekatan multilateral. Menurut dia, untuk menyelesaikan konflik dengan prinsip two-state solution dengan mengembalikan perbatasan Israel-Palestina ke tahun 1967 dan menetapkan Yerussalem sebagai ibukota dari Palestina dan Israel, adalah solusi yang berkeadilan.
Selain itu, ia menilai pembubaran Israel bisa menjadi solusi atau jalan keluar untuk mengakhiri konflik di tanah Palestina selama ini, karena berbagai upaya gagal dilakukan.
Anis menjelaskan pembubaran suatu negara merupakan hal biasa dan pernah terjadi menimpa Uni Soviet dan Yugoslavia. Setelah bubarnya Uni Soviet misalnya, kemudian muncul Rusia justru menjadi kekuatan baru global.
Sementara itu, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Prof. Komaruddin Hidayat menilai Indonesia sesuai amanah konstitusi tentu menentang segala penjajahan di muka bumi.
Prof Komaruddin menyebut, elite-elite politik Indonesia tidak akan populer kalau membela Israel. Intinya, kata dia, bagaimana membantu menyelesaikan konflik.
"Ada satu gagasan bagaimana menjadi penengah, kalau kita tidak bisa merangkul keduanya. Jembatan itu kan harus kakinya terhubung. Terhubung dua kaki, yang satu adalah Palestina, yang satu Israel. Seperti kata Gus Dur, kita gak mungkin jadi penengah kalau Indonesia tidak bisa bersahabat dengan Israel. Erdogan itu keras sekali. Tapi dalam hal ekonomi dengan Israel kan jalan terus. Saudi Arabia juga berkawan baik dengan Amerika," tuturnya.
Bicara Palestina, sambung Prof. Komaruddin, ternyata antara bahasa bisnis dan bahasa agama itu berbeda logikanya. Menurutnya, umat Islam Indonesia sangat anti Israel dan sangat pro Hamas, sementara di belakang Hamas, sambung dia, didukung Iran, dan Iran itu Syiah.
“Nah Umat Islam Indonesia itu anti Syiah, padahal Syiah di Iran paling konsisten membela Hamas anti Israel. Kita sangat dekat dengan Saudi, sementara Saudi itu bersahabat baik dengan Amerika dan juga Israel. Jadi, logika, emosi agama, logika ekonomi dan politik ini ternyata berbeda-beda. Bagi masyarakat awam kan tidak paham logika ini. Kita agak kacau kalau bicara antara politik dan teologi agama. Karena, secara politik, kalau alasan mereka karena agama, mestinya Arab Saudi investasinya paling besar ke Indonesia karena masyarakat Muslim paling banyak, tapi kita investasi nyatanya dari China yang bukan Islam,” urainya.
Sementara Pengamat Politik Internasional Prof. Imron Cotan menanggapi konflik Palestina-Israel dengan pendekatan multilateral. Menurut dia, untuk menyelesaikan konflik dengan prinsip two-state solution dengan mengembalikan perbatasan Israel-Palestina ke tahun 1967 dan menetapkan Yerussalem sebagai ibukota dari Palestina dan Israel, adalah solusi yang berkeadilan.