Corona Tak Halangi Negara-Negara Adu Kekuatan di Luar Angkasa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pandemi Covid-19 tidak menyurutkan langkah negara-untuk mengeskplorasi luar angkasa. Bahkan, mereka yang bermain tidak hanya Amerika Serikat (AS), Rusia, Eropa atau China. Uni Emirat Arab, India dan Nigeria pun sudah meramaikan persaingan. Sejumlah perusahaan terkemuka SpaceX dan Virgin Galactic jauh hari juga telah meramaikan kompetisi luar angkasa.
Uni Emirat Arab (UEA), misalnya, tercatat sebagai negara yang berhasil menempatkan wahana antariksa di sekitar Mars. Wahana bernama Hope yang diluncurkan dari bumi sekitar tujuh bulan lalu mencapai orbit Mars.
Hope saat ini bergerak dengan kecepatan 120.000 km per jam dan harus mematikan mesin selama 27 menit untuk bisa ditangkap gravitasi Mars. Kesuksesan Hope itu akan menjadi awal melaksanakan misi mempelajari iklim Mars.
Selain UEA, wahana luar angkasa Tianwen-1 China sukses mendarat pada di Mars 10 Februari lalu. Pesawat luar angkasa seberat 5 ton itu mengorbit di Mars untuk mengamati wilayah Utopia Planitia, sebuah tempat terbesar yang menyimpan air bawah tanah di Mars. Program luar angkasa China telah menyelesaikan banyak keberhasilan tanpa awak Misi ke bulan. Pesawat luar angkasa terakhir negara itu yang mendarat di sana sukses mengumpulkan bahan dari permukaan bulan.
Ini adalah pertama kalinya dalam lebih dari 40 tahun bangsa manapun mengumpulkan materi bulan untuk dibawa kembali ke bumi. Tianwen-1 akan mengerahkan penjelajah ke Utopia Planitia, yang dianggap sebagai upaya berani menjadi negara kedua yang mendarat dan mengoperasikan penjelajah ke permukaan Mars.
Adapun di akhir bulan ini, misi penjelajah NASA yang di permukaan planet bernama "Percy", dijadwalkan mendarat pada 18 Februari 2022 mendatang di bawah Kawah Jezero, situs delta sungai kuno yang diyakini menyimpan jejak kehidupan masa lalu.
Baca juga: Robot Zhurong Milik China Memulai Misi Penjelajahan di Mars
Badan Antariksa Eropa (ESA) juga berencana menyiapkan astronot untuk melaksanakan misi ke Bulan, atau pun Mars. ESA ingin mencari 26 astronot permanen dan cadangan. Mereka juga meminta perempuan untuk ikut mendaftar dan warga disabilitas untuk meningkatkan keragaman di antara awak kabin di wahana antariksa.
Bukan hanya negara yang bersaing dalam eksplorasi antariksa. Ruang angkasa justru jadi ladang investasi cukup menjanjikan di masa depan. Meskipun penuh risiko, di tengah masih belum meredanya virus corona, para miliarder tidak takut menghabiskan banyak uang demi bisnis antariksa.
Sedikitnya 13 miliarder dari 500 orang kaya sedunia yang memiliki investasi di bidang industri antariksa. Kesimpulan itu diperoleh berdasarkan data yang dikompilasi oleh Bloomberg Billionaires Index dan firma konsultan Bryce Space & Technology.
Baca juga: Perusahaan Penerbangan Antariksa Milik Jeff Bezos Protes Hasil Kontrak NASA
Elon Musk, Jeff Bezos, dan orang kaya lainnya berkompetisi untuk mendanai perjalanan antariksa. Kini muncul miliarder lainnya yang ikut berlomba dalam industri antariksa. Mayoritas taipan teknologi yang mendominasi investasi antariksa, seperti pengusaha kasino Sheldon Adelson, mendukung misi ke bulan. Kemudian, pengusaha bank dan ritel asal Meksiko Ricardo Salina turut mengembangkan jaringan satelit OneWeb.
Pendiri Amazon Jeff Bezos dan CEO Tesla Elon Musk dikenal bersaing secara personal dalam industri antariksa. Bezos mendirikan perusahaan penerbangan antariksa Blue Origin yang memiliki ambisi agar jutaan orang bisa tinggal dan bekerja di antariksa.
Dia berharap dapat meluncurkan wisata antariksa ke orbin pada 2018 nanti. Kemudian, Musk mendirikan SpaceX yang mengirimkan roket Falcon 9 ke orbit dan mengembangkan bisnis kargo NASA ke Stasiun Antariksa Internasional (ISIS). Kini dia mengincar Mars. Musk berjanji akan mengirimkan kapsul tanpa manusia dalam eksperimen ke Planet Mars pada 2025.
Bagaimana dengan Indonesia? Negeri ini sebenarnya sudah lama mengarahkan langkahnya yang ditandai dengan rencana pengiriman Pratiwi Pujilestari Sudarmono ke luar angkasa, yang kemudian gagal akibat insiden meledaknya pesawat ulang-alik Challenger 28 Januari 1986. Indonesia juga sudah memiliki Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Namun, harus diakui perkembangannya secepat negara-negara yang kini telah mencatatkan diri sebagai pemain luar angkasa.
Kepala Lapan Thomas Djamaluddin menyatakan, di tataran internasional sebenarnya Indonesia dianggap sebagai "New Emerging Space Nations" dengan kemampuan membuat satelit sendiri dan mengembangkan teknologi roket. Lapan sebagai space agency Indonesia juga sudah dikenal di dunia internasional dan dijadikan contoh pengembangan badan antariksa di Asia Tenggara. Dia menyebut negara tetangga baru saja membentuk badan antariksa, seperti Malaysian Space Agency (MYSA) dan Philipine Space Agency (PhilSA).
"Teknologi antariksa adalah teknologi yang 'high tech, high risk, dan high cost'. Tidak banyak negara yang sanggup mengembangkannya. Indonesia dengan visi besar Bung Karno, membentuk Lapan sebagai badan antariksa. Namun, kendala anggaran yang minim menyebabkan pengembangan teknologi antariksa di Indonesia berjalan lambat," ungkap Thomas kepada KORAN SINDO, di Jakarta, Rabu (26/5).
Dia membeberkan, sesungguhnya Indonesia sudah memiliki visi besar keantariksaan dengan visi Bung Karno (Presiden RI pertama) mendirikan Lapan pada 1960-an dan visi Soeharto (Presiden RI kedua) memulai sistem komunikasi satelit Palapa pada 1970-an.
Namun, langkah ini tidak berlanjut dengan penyiapan anggaran yang cukup dan berkesinambungan untuk pengembangan teknologi antariksa di dalam negeri. Indonesia baru tahap pemanfaatan teknologinya untuk telekomunikasi dan penginderaan jauh.
"Namun, pengembangan teknologinya sempat mati suri, antara lain sempat dihentikannya program pengembangan pesawat terbang dan roket pada 1980-an. Baru pada 2000-an anggaran pengembangan teknologi penerbangan dan antariksa ditingkatkan secara signifikan, sehingga dimulai program pembuatan satelit mikro, pengembangan teknologi roket, dan pembuatan pesawat N219," ujarnya.
Thomas menuturkan, program keantariksaan biasanya dikaitkan dengan "national pride" yang bisa memotivasi generasi mudanya untuk menguasai teknologi tinggi. Menurut dia, hal itu menjadi salah satu motivasi Uni Emirat Arab (UEA) membuat misi prestisius pengiriman wahana Hope ke Mars. Karenanya bagi Thomas, hal itu juga sebenarnya yang diharapkan terjadi di Indonesia.
Lebih lanjut, kata Thomas, penguasaan teknologi satelit juga sangat penting karena kehidupan manusia modern sangat bergantung pada satelit. Misalnya, telekomunikasi voice dan data antarwarga, siaran TV, komunikasi perbankan, navigasi, dan pendidikan jarak jauh. Indonesia yang sangat luas mutlak bergantung pada teknologi satelit.
"Kita tidak bisa selamanya bergantung pada teknologi asing. Secara global, space economy saat ini menjadi perhatian serius. Teknologi antariksa sangat berperan meningkatkan perekonomian suatu bangsa, misalnya dalam pemanfaatan teknologi telekomunikasi dan penginderaan jauh," tegas Thomas.
Dia membeberkan, Indonesia tentu mengembangkan strategi guna mengejar ketertinggalan dalam program antariksa. Strategi Lapan, ujar Thomas, meski dengan keterbatasan anggaran, Lapan melakukan focussing kegiatan pada tujuh program utama sesuai kegiatan yang diamanatkan UU Keantariksaan.
Tujuh program utama tersebut adalah pertama pengembangan Decission Support System (DSS) cuaca antariksa dan observatorium nasional. Kedua, pengembangan DSS dinamika atmosfer ekuator. Ketiga, pengembangan teknologi roket. Keempat, pengembangan teknologi satelit. Kelima, pengembangan teknologi pesawat transport dan pesawat tanpa awak. Keenam, pengembangan bank data penginderaan jauh nasional. Ketujuh, pengembangan sistem pemantau bumi nasional. "Serta didukung program besar, yaitu reformasi birokrasi," katanya.
Thomas lantas buka suara saat disinggung adanya wacana pemerintah mengajak investor asing SpaceX untuk membangun lokasi peluncuran roket antariksa di Kabupaten Numfor, Papua. Dia menggariskan, untuk pembangunan bandar antariksa yang diamanatkan UU Keantariksaan perlu biaya besar dan pemanfaatan yang efektif dan efisien. Pembangunan tersebut memerlukan investor internasional dan mitra peluncur satelit.
Menurut dia, Indonesia bisa mengambil keuntungan sebagai lokasi peluncuran satelit dari wilayah ekuator. "Bagi Indonesia yang berada di wilayah ekuator juga memerlukan lokasi peluncuran unttk satelit-satelit orbit ekuatorial," bebernya.
Pengamat antariksa Mega Mardita, menilai Indonesia sebenarnya bisa mengatasi ketertinggalan dalam pertarungan di luar angkasa. Namun, itu membutuhkan biaya besar dan kerja keras dengan komitmen kuat dari semua pihak.
Menurutnya, untuk bisa mengatasi ketertinggalan itu, pertama perlu ada komitmen kuat dari pemerintah, yaitu para pemangku kebijakan, Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengembangkan dan memajukan program antariksa. Sebab, program antariksa merupakan kegiatan yang memerlukan kebijakan secara top-down. Artinya, program ini harus diinisiasi dari atas karena termasuk program strategis dengan implikasi yang besar.
“Program antariksa juga tergolong high risk (risiko tinggi) dan high cost (berbiaya tinggi), yang tidak mungkin diawali dari bawah. Tapi, program antariksa bisa menjadi pintu bagi pengembangan berbagai teknologi dan inovasi yang nantinya memiliki dampak ekonomi bagi negara,” kata Mega kepada KORAN SINDO.
Komitmen kuat ini kemudian harus menjadi program prioritas negara dalam jangka panjang mengingat maju dalam bidang keantariksaan bukanlah sesuatu yang instan. Diperlukan suatu proses panjang, bahkan butuh puluhan tahun untuk bisa menguasai bidang ini.
Akselerasi dimungkinkan jika pemerintah memegang teguh komitmen dan menyadari betapa pentingnya penguasaan teknologi antariksa karena ini merupakan teknologi masa depan.
“Inilah yang mungkin bisa menjadi competitive advantages negara kita di masa depan,” ungkap Mega.
Jika pemerintah sudah punya berkomitmen, maka strategi-strategi turunannya bisa dilakukan. Misalnya, dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan, peningkatan infrastruktur atau fasilitas penelitian, serta mewujudkan program utama spesifik yang terukur dan yang mungkin untuk dicapai.
Contoh program spesifiknya adalah pembuatan satelit operasional secara mandiri, baik itu satelit penginderaan jauh maupun satelit komunikasi. Kemudian merambah ke teknologi peluncur satelitnya dengan pengembangan roket dan bandara peluncuran roketnya. Mau tidak mau, pengembangan awal program antariksa mesti dari pemerintah dan akan sangat berat bagi swasta untuk mengawali litbang di bidang ini.“Negara-negara lain juga begitu, inisiasi, riset, dan pengembangan prototype-nya dilakukan pemerintah. Kemudian setelah itu baru swasta ikut terlibat,” papar Mega.
Selanjutnya, Indonesia bisa bekerja sama untuk mengembangkan teknologi antariksa tentunya bekerja sama dengan negara yang sudah punya pengalaman mengembangkan bidang tersebut. Dengan begitu ada transfer teknologi dari negara yang sudah lebih maju kepada Indonesia. Swasta juga bisa terlibat jika sudah pasti ada nilai komersial di program tersebut. Dengan begitu, ada produk yang sudah siap untuk dikomersialisasikan.
“Swasta bisa dilibatkan jika pemerintah mau memberikan stimulan-stimulan seperti insentif kepada perusahaan yang melakukan riset keantariksaan. Tapi, ya itu tadi, riset bidang ini perlu modal yang sangat besar,” tutur Mega.
Yang jadi pertanyaan, kata Mega, swasta mana di Indonesia yang mampu dan mau mengeluarkan dana sangat besar untuk riset panjang seperti ini? Sementara jika pemerintah bisa mengembangkan riset, kemudian riset itu bisa dipakai oleh swasta atau bisa dikembangkan menjadi sesuatu yang komersil, maka tentu industri keantariksaan akan tumbuh dengan sendirinya.
Uni Emirat Arab (UEA), misalnya, tercatat sebagai negara yang berhasil menempatkan wahana antariksa di sekitar Mars. Wahana bernama Hope yang diluncurkan dari bumi sekitar tujuh bulan lalu mencapai orbit Mars.
Hope saat ini bergerak dengan kecepatan 120.000 km per jam dan harus mematikan mesin selama 27 menit untuk bisa ditangkap gravitasi Mars. Kesuksesan Hope itu akan menjadi awal melaksanakan misi mempelajari iklim Mars.
Selain UEA, wahana luar angkasa Tianwen-1 China sukses mendarat pada di Mars 10 Februari lalu. Pesawat luar angkasa seberat 5 ton itu mengorbit di Mars untuk mengamati wilayah Utopia Planitia, sebuah tempat terbesar yang menyimpan air bawah tanah di Mars. Program luar angkasa China telah menyelesaikan banyak keberhasilan tanpa awak Misi ke bulan. Pesawat luar angkasa terakhir negara itu yang mendarat di sana sukses mengumpulkan bahan dari permukaan bulan.
Ini adalah pertama kalinya dalam lebih dari 40 tahun bangsa manapun mengumpulkan materi bulan untuk dibawa kembali ke bumi. Tianwen-1 akan mengerahkan penjelajah ke Utopia Planitia, yang dianggap sebagai upaya berani menjadi negara kedua yang mendarat dan mengoperasikan penjelajah ke permukaan Mars.
Adapun di akhir bulan ini, misi penjelajah NASA yang di permukaan planet bernama "Percy", dijadwalkan mendarat pada 18 Februari 2022 mendatang di bawah Kawah Jezero, situs delta sungai kuno yang diyakini menyimpan jejak kehidupan masa lalu.
Baca juga: Robot Zhurong Milik China Memulai Misi Penjelajahan di Mars
Badan Antariksa Eropa (ESA) juga berencana menyiapkan astronot untuk melaksanakan misi ke Bulan, atau pun Mars. ESA ingin mencari 26 astronot permanen dan cadangan. Mereka juga meminta perempuan untuk ikut mendaftar dan warga disabilitas untuk meningkatkan keragaman di antara awak kabin di wahana antariksa.
Bukan hanya negara yang bersaing dalam eksplorasi antariksa. Ruang angkasa justru jadi ladang investasi cukup menjanjikan di masa depan. Meskipun penuh risiko, di tengah masih belum meredanya virus corona, para miliarder tidak takut menghabiskan banyak uang demi bisnis antariksa.
Sedikitnya 13 miliarder dari 500 orang kaya sedunia yang memiliki investasi di bidang industri antariksa. Kesimpulan itu diperoleh berdasarkan data yang dikompilasi oleh Bloomberg Billionaires Index dan firma konsultan Bryce Space & Technology.
Baca juga: Perusahaan Penerbangan Antariksa Milik Jeff Bezos Protes Hasil Kontrak NASA
Elon Musk, Jeff Bezos, dan orang kaya lainnya berkompetisi untuk mendanai perjalanan antariksa. Kini muncul miliarder lainnya yang ikut berlomba dalam industri antariksa. Mayoritas taipan teknologi yang mendominasi investasi antariksa, seperti pengusaha kasino Sheldon Adelson, mendukung misi ke bulan. Kemudian, pengusaha bank dan ritel asal Meksiko Ricardo Salina turut mengembangkan jaringan satelit OneWeb.
Pendiri Amazon Jeff Bezos dan CEO Tesla Elon Musk dikenal bersaing secara personal dalam industri antariksa. Bezos mendirikan perusahaan penerbangan antariksa Blue Origin yang memiliki ambisi agar jutaan orang bisa tinggal dan bekerja di antariksa.
Dia berharap dapat meluncurkan wisata antariksa ke orbin pada 2018 nanti. Kemudian, Musk mendirikan SpaceX yang mengirimkan roket Falcon 9 ke orbit dan mengembangkan bisnis kargo NASA ke Stasiun Antariksa Internasional (ISIS). Kini dia mengincar Mars. Musk berjanji akan mengirimkan kapsul tanpa manusia dalam eksperimen ke Planet Mars pada 2025.
Bagaimana dengan Indonesia? Negeri ini sebenarnya sudah lama mengarahkan langkahnya yang ditandai dengan rencana pengiriman Pratiwi Pujilestari Sudarmono ke luar angkasa, yang kemudian gagal akibat insiden meledaknya pesawat ulang-alik Challenger 28 Januari 1986. Indonesia juga sudah memiliki Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Namun, harus diakui perkembangannya secepat negara-negara yang kini telah mencatatkan diri sebagai pemain luar angkasa.
Kepala Lapan Thomas Djamaluddin menyatakan, di tataran internasional sebenarnya Indonesia dianggap sebagai "New Emerging Space Nations" dengan kemampuan membuat satelit sendiri dan mengembangkan teknologi roket. Lapan sebagai space agency Indonesia juga sudah dikenal di dunia internasional dan dijadikan contoh pengembangan badan antariksa di Asia Tenggara. Dia menyebut negara tetangga baru saja membentuk badan antariksa, seperti Malaysian Space Agency (MYSA) dan Philipine Space Agency (PhilSA).
"Teknologi antariksa adalah teknologi yang 'high tech, high risk, dan high cost'. Tidak banyak negara yang sanggup mengembangkannya. Indonesia dengan visi besar Bung Karno, membentuk Lapan sebagai badan antariksa. Namun, kendala anggaran yang minim menyebabkan pengembangan teknologi antariksa di Indonesia berjalan lambat," ungkap Thomas kepada KORAN SINDO, di Jakarta, Rabu (26/5).
Dia membeberkan, sesungguhnya Indonesia sudah memiliki visi besar keantariksaan dengan visi Bung Karno (Presiden RI pertama) mendirikan Lapan pada 1960-an dan visi Soeharto (Presiden RI kedua) memulai sistem komunikasi satelit Palapa pada 1970-an.
Namun, langkah ini tidak berlanjut dengan penyiapan anggaran yang cukup dan berkesinambungan untuk pengembangan teknologi antariksa di dalam negeri. Indonesia baru tahap pemanfaatan teknologinya untuk telekomunikasi dan penginderaan jauh.
"Namun, pengembangan teknologinya sempat mati suri, antara lain sempat dihentikannya program pengembangan pesawat terbang dan roket pada 1980-an. Baru pada 2000-an anggaran pengembangan teknologi penerbangan dan antariksa ditingkatkan secara signifikan, sehingga dimulai program pembuatan satelit mikro, pengembangan teknologi roket, dan pembuatan pesawat N219," ujarnya.
Thomas menuturkan, program keantariksaan biasanya dikaitkan dengan "national pride" yang bisa memotivasi generasi mudanya untuk menguasai teknologi tinggi. Menurut dia, hal itu menjadi salah satu motivasi Uni Emirat Arab (UEA) membuat misi prestisius pengiriman wahana Hope ke Mars. Karenanya bagi Thomas, hal itu juga sebenarnya yang diharapkan terjadi di Indonesia.
Lebih lanjut, kata Thomas, penguasaan teknologi satelit juga sangat penting karena kehidupan manusia modern sangat bergantung pada satelit. Misalnya, telekomunikasi voice dan data antarwarga, siaran TV, komunikasi perbankan, navigasi, dan pendidikan jarak jauh. Indonesia yang sangat luas mutlak bergantung pada teknologi satelit.
"Kita tidak bisa selamanya bergantung pada teknologi asing. Secara global, space economy saat ini menjadi perhatian serius. Teknologi antariksa sangat berperan meningkatkan perekonomian suatu bangsa, misalnya dalam pemanfaatan teknologi telekomunikasi dan penginderaan jauh," tegas Thomas.
Dia membeberkan, Indonesia tentu mengembangkan strategi guna mengejar ketertinggalan dalam program antariksa. Strategi Lapan, ujar Thomas, meski dengan keterbatasan anggaran, Lapan melakukan focussing kegiatan pada tujuh program utama sesuai kegiatan yang diamanatkan UU Keantariksaan.
Tujuh program utama tersebut adalah pertama pengembangan Decission Support System (DSS) cuaca antariksa dan observatorium nasional. Kedua, pengembangan DSS dinamika atmosfer ekuator. Ketiga, pengembangan teknologi roket. Keempat, pengembangan teknologi satelit. Kelima, pengembangan teknologi pesawat transport dan pesawat tanpa awak. Keenam, pengembangan bank data penginderaan jauh nasional. Ketujuh, pengembangan sistem pemantau bumi nasional. "Serta didukung program besar, yaitu reformasi birokrasi," katanya.
Thomas lantas buka suara saat disinggung adanya wacana pemerintah mengajak investor asing SpaceX untuk membangun lokasi peluncuran roket antariksa di Kabupaten Numfor, Papua. Dia menggariskan, untuk pembangunan bandar antariksa yang diamanatkan UU Keantariksaan perlu biaya besar dan pemanfaatan yang efektif dan efisien. Pembangunan tersebut memerlukan investor internasional dan mitra peluncur satelit.
Menurut dia, Indonesia bisa mengambil keuntungan sebagai lokasi peluncuran satelit dari wilayah ekuator. "Bagi Indonesia yang berada di wilayah ekuator juga memerlukan lokasi peluncuran unttk satelit-satelit orbit ekuatorial," bebernya.
Pengamat antariksa Mega Mardita, menilai Indonesia sebenarnya bisa mengatasi ketertinggalan dalam pertarungan di luar angkasa. Namun, itu membutuhkan biaya besar dan kerja keras dengan komitmen kuat dari semua pihak.
Menurutnya, untuk bisa mengatasi ketertinggalan itu, pertama perlu ada komitmen kuat dari pemerintah, yaitu para pemangku kebijakan, Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengembangkan dan memajukan program antariksa. Sebab, program antariksa merupakan kegiatan yang memerlukan kebijakan secara top-down. Artinya, program ini harus diinisiasi dari atas karena termasuk program strategis dengan implikasi yang besar.
“Program antariksa juga tergolong high risk (risiko tinggi) dan high cost (berbiaya tinggi), yang tidak mungkin diawali dari bawah. Tapi, program antariksa bisa menjadi pintu bagi pengembangan berbagai teknologi dan inovasi yang nantinya memiliki dampak ekonomi bagi negara,” kata Mega kepada KORAN SINDO.
Komitmen kuat ini kemudian harus menjadi program prioritas negara dalam jangka panjang mengingat maju dalam bidang keantariksaan bukanlah sesuatu yang instan. Diperlukan suatu proses panjang, bahkan butuh puluhan tahun untuk bisa menguasai bidang ini.
Akselerasi dimungkinkan jika pemerintah memegang teguh komitmen dan menyadari betapa pentingnya penguasaan teknologi antariksa karena ini merupakan teknologi masa depan.
“Inilah yang mungkin bisa menjadi competitive advantages negara kita di masa depan,” ungkap Mega.
Jika pemerintah sudah punya berkomitmen, maka strategi-strategi turunannya bisa dilakukan. Misalnya, dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan, peningkatan infrastruktur atau fasilitas penelitian, serta mewujudkan program utama spesifik yang terukur dan yang mungkin untuk dicapai.
Contoh program spesifiknya adalah pembuatan satelit operasional secara mandiri, baik itu satelit penginderaan jauh maupun satelit komunikasi. Kemudian merambah ke teknologi peluncur satelitnya dengan pengembangan roket dan bandara peluncuran roketnya. Mau tidak mau, pengembangan awal program antariksa mesti dari pemerintah dan akan sangat berat bagi swasta untuk mengawali litbang di bidang ini.“Negara-negara lain juga begitu, inisiasi, riset, dan pengembangan prototype-nya dilakukan pemerintah. Kemudian setelah itu baru swasta ikut terlibat,” papar Mega.
Selanjutnya, Indonesia bisa bekerja sama untuk mengembangkan teknologi antariksa tentunya bekerja sama dengan negara yang sudah punya pengalaman mengembangkan bidang tersebut. Dengan begitu ada transfer teknologi dari negara yang sudah lebih maju kepada Indonesia. Swasta juga bisa terlibat jika sudah pasti ada nilai komersial di program tersebut. Dengan begitu, ada produk yang sudah siap untuk dikomersialisasikan.
“Swasta bisa dilibatkan jika pemerintah mau memberikan stimulan-stimulan seperti insentif kepada perusahaan yang melakukan riset keantariksaan. Tapi, ya itu tadi, riset bidang ini perlu modal yang sangat besar,” tutur Mega.
Yang jadi pertanyaan, kata Mega, swasta mana di Indonesia yang mampu dan mau mengeluarkan dana sangat besar untuk riset panjang seperti ini? Sementara jika pemerintah bisa mengembangkan riset, kemudian riset itu bisa dipakai oleh swasta atau bisa dikembangkan menjadi sesuatu yang komersil, maka tentu industri keantariksaan akan tumbuh dengan sendirinya.
(ynt)