Jalan Mulus Alih Fungsi Lahan Pertanian
loading...
A
A
A
Oleh: Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010–Sekarang)
LAHAN pertanian mengalami ancaman alih fungsi yang serius. Demi investasi nonpertanian, RUU Cipta Kerja melakukan perubahan fundamental terhadap UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan UU No 22/2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan. Tujuan utamanya tidak lain mempermudah proses alih fungsi lahan pertanian pangan untuk pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK), real estat, tol, bandara, sarana pertambangan, dan energi.
Dari 11 klaster dalam RUU Cipta Kerja, perubahan UU No 41/2009 dan UU No 22/2019 menyentuh aspek sanksi dan pengadaan lahan. Selama ini ada keluhan berulang bahwa pengadaan tanah untuk investasi dan aneka proyek pembangunan amat sulit, mahal, dan memakan waktu. Aneka rencana proyek berhenti tidak bisa dieksekusi. RUU Cipta Kerja digadang-gadang bertujuan memuluskan pelbagai kesulitan pengadaan tanah buat investasi.
Sasaran tapak lahan bukan hanya perkebunan, kehutanan, dan pesisir-kelautan, melainkan juga lahan pertanian. Kini lahan pertanian sebagai basis produksi pangan mengalami rongrongan. Dengan begitu, RUU Cipta Kerja tidak hanya akan berdampak buruk pada nasib buruh di Indonesia, tetapi juga membahayakan bangunan sendi-sendi ekonomi rakyat, jaminan hak atas tanah, dan keamanan wilayah hidup bagi petani, masyarakat adat, buruh tani/kebun, nelayan, perempuan, masyarakat miskin di perdesaan dan perkotaan.
Jalan mulus dimulai dengan memasukkan klausul “Proyek Strategis Nasional” berdampingan dengan “kepentingan umum” dalam revisi Pasal 44 ayat 2 UU No 41/2009 dan Pasal 19 ayat 2 UU No 22/2019. Dengan klausul ini, proyek strategis nasional yang menjadi jualan periode pertama Presiden Jokowi mendapatkan prioritas setara kepentingan umum. Implikasinya, tapak lahan pertanian tidak lagi steril dan terlindung dari proyek-proyek mercusuar, jorjoran pembangunan infrastruktur, dan hasrat yang serbafisik.
Bahkan, kemudahan alih fungsi itu telah merambah wilayah paling sakral; lahan pertanian yang memiliki jaringan pengairan lengkap. Sejak Orde Baru, negeri ini jatuh bangun membangun sawah, kemudian melengkapinya dengan irigasi, baik teknis maupun semiteknis. Hasilnya, dari 7,4 juta hektare lahan sawah, belum semua dilengkapi fasilitas irigasi. Lahan sawah beririgasi telah menjadi pilar utama produksi pangan pokok domestik. Lahan itu itu pula yang membuat Indonesia tidak sepenuhnya bergantung impor. Kini lewat RUU Cipta Kerja, hasil kerja puluhan tahun itu terancam lewat perubahan Pasal 19 ayat 4 UU No 22/2019 yang mengecualikan lahan pertanian beririgasi dari konversi.
Tidak cukup di situ, untuk memuluskan alih fungsi, empat syarat yang tertuang di Pasal 44 ayat 3 UU No 41/2009 dan Pasal 19 ayat 3 UU No 22/2019 juga dihilangkan. Padahal, empat syarat ini, yakni dilakukan kajian kelayakan strategis disusun rencana alih fungsi lahan, dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik, dan disediakan lahan pengganti, sebenarnya menjadi perisai penting untuk membendung maraknya alih fungsi. Satu-satunya yang dipertahankan hanya keharusan menyediakan lahan pengganti paling lama 24 bulan.
Bisa dibayangkan, tanpa RUU Cipta Kerja saja, dalam 10 tahun (2003–2013) tercatat konversi tanah pertanian ke fungsi nonpertanian per menitnya 0,25 hektare dan satu rumah tangga petani hilang terlempar keluar sektor nonpertanian. Selain itu, terjadi penyusutan lahan yang dikuasai petani dari 10,6% menjadi 4,9% dan peningkatan jumlah petani guram menjadi 56%. Hasil kajian dan monitor KPK terkait Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menyebutkan bahwa luas lahan baku sawah, baik beririgasi maupun nonirigasi, mengalami penurunan rata-rata 650.000 hektare dalam 10 tahun.
Pertanyaannya, apa kerugian konversi lahan? Sebagai negara berpenduduk besar, seperti kata Presiden Soekarno, pangan adalah soal hidup-mati. Dalam jangka pendek, konversi lahan seolah-olah menguntungkan secara ekonomi. Padahal, konversi lahan yang tidak terkendali menjadi ancaman serius masa depan negara. Konversi lahan akan membuat ketahanan pangan rapuh, produksi pangan domestik merosot, lalu kita akan tergantung pada impor. Sebagian besar pasar pangan dunia bersifat oligopoli; pasarnya tipis dan harganya tidak stabil. Bergantung pada pangan impor jelas tidak menguntungkan.
Sawah terkonversi bersifat irreversible. Pernahkah Anda membayangkan dampak jika seperempat dari luas sawah yang ada sekarang dikonversi? Hampir pasti suhu udara meningkat; kemungkinan erosi, banjir, dan longsor lebih besar; kualitas dan kuantitas air akan berkurang drastis. Demikian juga keindahan alam, bio-diversity dan kebudayaan perdesaan cepat punah, bahkan akan muncul disharmoni kelembagaan sosial di desa.
Dampak berganda konversi itu tidak pernah kita sadari karena kita hanya menilai sawah sebagai penghasil pangan dan serat (tangible). Padahal, selain menghasilkan pangan, sawah mempunyai multifungsi; menjaga ketahanan pangan, menjaga kestabilan fungsi hidrologis DAS, menurunkan erosi, menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik perdesaan, dan mempertahankan nilai-nilai sosial budaya perdesaan. Fungsi ini tidak bisa dipasarkan (non-marketable) dan tidak mudah dikenali (intangible).
Roh dan spirit UU No 41/2009 dan UU No 22/2019 adalah melarang konversi lahan pertanian. Konversi bisa dilakukan dengan syarat mahaberat. Pelanggarnya dipidana 2–7 tahun dan didenda Rp1 miliar–Rp7 miliar. Lewat RUU Cipta Kerja, roh dan spirit itu dibongkar dengan menyusupkan roh dan spirit baru yang dihela oleh hasrat menggenjot investasi seolah-olah investasi memberi jalan keluar tiap persoalan. Padahal, dengan perubahan roh dan spirit baru ini, ancaman sanksi konversi terasa kurang bertaji. Ketika konversi menjadi-jadi, pertanian sebagai ladang hidup dan penghidupan terancam. Lapangan kerja yang dicita-citakan RUU Cipta Kerja, meminjam istilah Didie Kempot, bisa ambyar. (*)
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010–Sekarang)
LAHAN pertanian mengalami ancaman alih fungsi yang serius. Demi investasi nonpertanian, RUU Cipta Kerja melakukan perubahan fundamental terhadap UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan UU No 22/2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan. Tujuan utamanya tidak lain mempermudah proses alih fungsi lahan pertanian pangan untuk pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK), real estat, tol, bandara, sarana pertambangan, dan energi.
Dari 11 klaster dalam RUU Cipta Kerja, perubahan UU No 41/2009 dan UU No 22/2019 menyentuh aspek sanksi dan pengadaan lahan. Selama ini ada keluhan berulang bahwa pengadaan tanah untuk investasi dan aneka proyek pembangunan amat sulit, mahal, dan memakan waktu. Aneka rencana proyek berhenti tidak bisa dieksekusi. RUU Cipta Kerja digadang-gadang bertujuan memuluskan pelbagai kesulitan pengadaan tanah buat investasi.
Sasaran tapak lahan bukan hanya perkebunan, kehutanan, dan pesisir-kelautan, melainkan juga lahan pertanian. Kini lahan pertanian sebagai basis produksi pangan mengalami rongrongan. Dengan begitu, RUU Cipta Kerja tidak hanya akan berdampak buruk pada nasib buruh di Indonesia, tetapi juga membahayakan bangunan sendi-sendi ekonomi rakyat, jaminan hak atas tanah, dan keamanan wilayah hidup bagi petani, masyarakat adat, buruh tani/kebun, nelayan, perempuan, masyarakat miskin di perdesaan dan perkotaan.
Jalan mulus dimulai dengan memasukkan klausul “Proyek Strategis Nasional” berdampingan dengan “kepentingan umum” dalam revisi Pasal 44 ayat 2 UU No 41/2009 dan Pasal 19 ayat 2 UU No 22/2019. Dengan klausul ini, proyek strategis nasional yang menjadi jualan periode pertama Presiden Jokowi mendapatkan prioritas setara kepentingan umum. Implikasinya, tapak lahan pertanian tidak lagi steril dan terlindung dari proyek-proyek mercusuar, jorjoran pembangunan infrastruktur, dan hasrat yang serbafisik.
Bahkan, kemudahan alih fungsi itu telah merambah wilayah paling sakral; lahan pertanian yang memiliki jaringan pengairan lengkap. Sejak Orde Baru, negeri ini jatuh bangun membangun sawah, kemudian melengkapinya dengan irigasi, baik teknis maupun semiteknis. Hasilnya, dari 7,4 juta hektare lahan sawah, belum semua dilengkapi fasilitas irigasi. Lahan sawah beririgasi telah menjadi pilar utama produksi pangan pokok domestik. Lahan itu itu pula yang membuat Indonesia tidak sepenuhnya bergantung impor. Kini lewat RUU Cipta Kerja, hasil kerja puluhan tahun itu terancam lewat perubahan Pasal 19 ayat 4 UU No 22/2019 yang mengecualikan lahan pertanian beririgasi dari konversi.
Tidak cukup di situ, untuk memuluskan alih fungsi, empat syarat yang tertuang di Pasal 44 ayat 3 UU No 41/2009 dan Pasal 19 ayat 3 UU No 22/2019 juga dihilangkan. Padahal, empat syarat ini, yakni dilakukan kajian kelayakan strategis disusun rencana alih fungsi lahan, dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik, dan disediakan lahan pengganti, sebenarnya menjadi perisai penting untuk membendung maraknya alih fungsi. Satu-satunya yang dipertahankan hanya keharusan menyediakan lahan pengganti paling lama 24 bulan.
Bisa dibayangkan, tanpa RUU Cipta Kerja saja, dalam 10 tahun (2003–2013) tercatat konversi tanah pertanian ke fungsi nonpertanian per menitnya 0,25 hektare dan satu rumah tangga petani hilang terlempar keluar sektor nonpertanian. Selain itu, terjadi penyusutan lahan yang dikuasai petani dari 10,6% menjadi 4,9% dan peningkatan jumlah petani guram menjadi 56%. Hasil kajian dan monitor KPK terkait Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menyebutkan bahwa luas lahan baku sawah, baik beririgasi maupun nonirigasi, mengalami penurunan rata-rata 650.000 hektare dalam 10 tahun.
Pertanyaannya, apa kerugian konversi lahan? Sebagai negara berpenduduk besar, seperti kata Presiden Soekarno, pangan adalah soal hidup-mati. Dalam jangka pendek, konversi lahan seolah-olah menguntungkan secara ekonomi. Padahal, konversi lahan yang tidak terkendali menjadi ancaman serius masa depan negara. Konversi lahan akan membuat ketahanan pangan rapuh, produksi pangan domestik merosot, lalu kita akan tergantung pada impor. Sebagian besar pasar pangan dunia bersifat oligopoli; pasarnya tipis dan harganya tidak stabil. Bergantung pada pangan impor jelas tidak menguntungkan.
Sawah terkonversi bersifat irreversible. Pernahkah Anda membayangkan dampak jika seperempat dari luas sawah yang ada sekarang dikonversi? Hampir pasti suhu udara meningkat; kemungkinan erosi, banjir, dan longsor lebih besar; kualitas dan kuantitas air akan berkurang drastis. Demikian juga keindahan alam, bio-diversity dan kebudayaan perdesaan cepat punah, bahkan akan muncul disharmoni kelembagaan sosial di desa.
Dampak berganda konversi itu tidak pernah kita sadari karena kita hanya menilai sawah sebagai penghasil pangan dan serat (tangible). Padahal, selain menghasilkan pangan, sawah mempunyai multifungsi; menjaga ketahanan pangan, menjaga kestabilan fungsi hidrologis DAS, menurunkan erosi, menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik perdesaan, dan mempertahankan nilai-nilai sosial budaya perdesaan. Fungsi ini tidak bisa dipasarkan (non-marketable) dan tidak mudah dikenali (intangible).
Roh dan spirit UU No 41/2009 dan UU No 22/2019 adalah melarang konversi lahan pertanian. Konversi bisa dilakukan dengan syarat mahaberat. Pelanggarnya dipidana 2–7 tahun dan didenda Rp1 miliar–Rp7 miliar. Lewat RUU Cipta Kerja, roh dan spirit itu dibongkar dengan menyusupkan roh dan spirit baru yang dihela oleh hasrat menggenjot investasi seolah-olah investasi memberi jalan keluar tiap persoalan. Padahal, dengan perubahan roh dan spirit baru ini, ancaman sanksi konversi terasa kurang bertaji. Ketika konversi menjadi-jadi, pertanian sebagai ladang hidup dan penghidupan terancam. Lapangan kerja yang dicita-citakan RUU Cipta Kerja, meminjam istilah Didie Kempot, bisa ambyar. (*)
(cip)