Jokowi Teken PP Royalti Lagu, Anang Hermansyah: Angin Segar Ekosistem Musik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan atau Musik.
Penerbitan aturan ini disambut positif, namun perlu percepatan pelaksanaan di lapangan. Musikus Anang Hermansyah menyambut positif terbitnya PP No 56 Tahun 2021 tentag Royalti Hak Cipta Lagu dan atau Musik.
Kendati terlambat, kata Anang, PP yang merupakan aturan turunan dari UU No 28 Tahun 2014 tentag Hak Cipta ini membawa angin segar bagi industri musik di Indonesia.
"PP No 56/2021 ini membawa angin segar bagi ekosistem musik di Indonesia. Kami menyambut positif atas komitmen pemerintah," kata Anang di Jakarta, Selasa (6/4/2021) dalam keterangan persnya yang diterima SINDOnews.
Anggota DPR periode 2014-2019 ini menjelaskan, yang terpenting saat ini perlu adanya pengawasan pelaksanaan amanat PP 56/2021. "Terpenting bagaimana pelaksanaan aturan ini," ujar musikus asal Jember ini.
Dia memprediksi, jika pelaksanaan PP 56/2021 berjalan sesuai rencana maka akan memberi dampak konkret terhadap pendapatan royalti di Indonesia. "Secara logis, penerimaan royalti akan meningkat tajam," tambah Anang.
Hanya saja, kata Anang, untuk mencapai titik ideal dalam pendistribusian royalti, banyak langkah yang harus disiapkan. Salah satunya keberadaan Pusat Data Lagu sebagaimana tertuang dalam Bab II di Pasal 4-7 PP tersebut.
"Pusat Data Lagu ini tak lain adalah big data yang memiliki posisi penting karena dengan data ini outputnya persoalan royalti menjadi lebih transparan, akuntabel dan ekosistem musik menjadi lebih sehat," urai Anang.
Selain itu, kata Anang, keberadaan Sistem Informasi Lagu dan atau Musik (SILM)juga memiliki peran yang tak kalah penting dalam hal pendistribusian royalti lagu dan musik.
"SILM memiliki posisi penting karena memuat laporan penggunaan lagu atau musik yang menjadi dasar pendistribusian royalti. Inti dari peraturan ini yang hakikatnya di SILM dan Pusat Data Lagu," imbuh Anang.
Dalam Pasal 22 PP No 56 Tahun 2021 disebutkan keberadaan Pusat Data Lagu dan SILM maksimal dua tahun sejak pemberlakuan, menurut Anang sebaiknya realisasi dua lembaga tersebut dapat dipercepat.
"Saya kira maksimal satu tahun sudah bisa terbentuk Pusat Data Lagu dan SILM. Karena faktanya, data-data kan telah tersedia di Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Data tersebut tinggal disinkronkan melalui LMKN untuk diolah oleh Pusat Data Lagu. Jadi satu tahun adalah waktu yang moderat," harap Anang.
Di bagian lain Anang juga menyebutkan peran pemerintah daerah (pemda) tak kalah penting dalam implementasi peraturan ini. Menurut dia, keberadaan restoran, cafe, hotel, mal dan tempat hiburan yang berada di daerah memiliki keterhubungan yang erat dengan royalti lagu atau musik.
"Karena itu, perlu penyesuaian peraturan daerah dengan PP No 56 Tahun 2021. Misalnya, perizinan usaha dikaitkan dengan pembayaran royalti. Pemda dapat berinovasi dalam penyusunan peraturan daerah agar PP No No 56/2021 ini juga efektif di daerah," kata Anang.
Penerbitan aturan ini disambut positif, namun perlu percepatan pelaksanaan di lapangan. Musikus Anang Hermansyah menyambut positif terbitnya PP No 56 Tahun 2021 tentag Royalti Hak Cipta Lagu dan atau Musik.
Kendati terlambat, kata Anang, PP yang merupakan aturan turunan dari UU No 28 Tahun 2014 tentag Hak Cipta ini membawa angin segar bagi industri musik di Indonesia.
"PP No 56/2021 ini membawa angin segar bagi ekosistem musik di Indonesia. Kami menyambut positif atas komitmen pemerintah," kata Anang di Jakarta, Selasa (6/4/2021) dalam keterangan persnya yang diterima SINDOnews.
Anggota DPR periode 2014-2019 ini menjelaskan, yang terpenting saat ini perlu adanya pengawasan pelaksanaan amanat PP 56/2021. "Terpenting bagaimana pelaksanaan aturan ini," ujar musikus asal Jember ini.
Dia memprediksi, jika pelaksanaan PP 56/2021 berjalan sesuai rencana maka akan memberi dampak konkret terhadap pendapatan royalti di Indonesia. "Secara logis, penerimaan royalti akan meningkat tajam," tambah Anang.
Hanya saja, kata Anang, untuk mencapai titik ideal dalam pendistribusian royalti, banyak langkah yang harus disiapkan. Salah satunya keberadaan Pusat Data Lagu sebagaimana tertuang dalam Bab II di Pasal 4-7 PP tersebut.
"Pusat Data Lagu ini tak lain adalah big data yang memiliki posisi penting karena dengan data ini outputnya persoalan royalti menjadi lebih transparan, akuntabel dan ekosistem musik menjadi lebih sehat," urai Anang.
Selain itu, kata Anang, keberadaan Sistem Informasi Lagu dan atau Musik (SILM)juga memiliki peran yang tak kalah penting dalam hal pendistribusian royalti lagu dan musik.
"SILM memiliki posisi penting karena memuat laporan penggunaan lagu atau musik yang menjadi dasar pendistribusian royalti. Inti dari peraturan ini yang hakikatnya di SILM dan Pusat Data Lagu," imbuh Anang.
Dalam Pasal 22 PP No 56 Tahun 2021 disebutkan keberadaan Pusat Data Lagu dan SILM maksimal dua tahun sejak pemberlakuan, menurut Anang sebaiknya realisasi dua lembaga tersebut dapat dipercepat.
"Saya kira maksimal satu tahun sudah bisa terbentuk Pusat Data Lagu dan SILM. Karena faktanya, data-data kan telah tersedia di Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Data tersebut tinggal disinkronkan melalui LMKN untuk diolah oleh Pusat Data Lagu. Jadi satu tahun adalah waktu yang moderat," harap Anang.
Di bagian lain Anang juga menyebutkan peran pemerintah daerah (pemda) tak kalah penting dalam implementasi peraturan ini. Menurut dia, keberadaan restoran, cafe, hotel, mal dan tempat hiburan yang berada di daerah memiliki keterhubungan yang erat dengan royalti lagu atau musik.
"Karena itu, perlu penyesuaian peraturan daerah dengan PP No 56 Tahun 2021. Misalnya, perizinan usaha dikaitkan dengan pembayaran royalti. Pemda dapat berinovasi dalam penyusunan peraturan daerah agar PP No No 56/2021 ini juga efektif di daerah," kata Anang.
(dam)