Narkoba Kian Marak, Sindikat Diduga Tunggangi Pandemi

Senin, 22 Maret 2021 - 15:06 WIB
loading...
Narkoba Kian Marak, Sindikat Diduga Tunggangi Pandemi
Longgarnya pemeriksaan barang bawaan selama pandemi diduga memicu melonjaknya peredaran narkoba. (Ilustrasi: SINDOnews/Win Cahyono)
A A A
Dulu saya bekerja sebagai petugas check in counter di bandara di Jakarta. Tapi karena Covid-19 saya jadi kerja begini.”


KALIMAT tersebut terlontar dari bibir YR, perempuan usia 44 tahun, pelaku pengedar narkoba yang ditangkap Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Surabaya karena membawa 5 kg sabu-sabu dan 400 butir pil Hi Five.

Saat dihadirkan pada gelar perkara di Mapolrestabes Surabaya, Senin (15/3) pekan lalu, perempuan yang beralamat di Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan itu mengaku desakan ekonomi sebagai akibat tidak lagi bekerja membuatnya mau menerima tawaran sebagai pengedar narkoba.

Rencananya YR akan membawa narkoba tersebut dari Surabaya ke Jakarta melalui jalur darat. Dia mengaku baru kenal empat bulan dengan orang yang memintanya mengantarkan barang haram tersebut ke Jakarta. “Belum dibicarakan (imbalan) karena saya ini baru pertama kali,” ujarnya.

YR hanya salah satu dari ribuan anggota jaringan pengedar narkoba yang ditangkap aparat selama masa pandemi. Kondisi pandemi diduga membuat banyak hal melonggar, termasuk pemeriksaan terhadap orang sehingga memicu meningkatnya peredaran narkoba.

Peredaran narkoba naik signifikan selama setahun pandemi. Bahkan dalam tiga bulan ini, yakni sejak memasuki 2021, peredaran narkoba bisa disebut makin gila-gilaan. Hal itu tergambar dari barang bukti yang disita Badan Nasional Narkotika (BNN).

Kepala BNN Irjen Pol Petrus Reinhard Golose saat rapat dengan Komisi III DPR pada Kamis (18/3) membeberkan, dalam tiga bulan terakhir, yakni hingga Maret 2021, barang bukti sabu yang disita BNN sudah mencapai 808,67 kg. Jumlah ini setara dengan 70,19% dari total barang bukti sabu yang disita selama setahun pada 2020, yakni sebanyak 1.152,2 kg.

Demikian juga barang bukti ganja. Hingga Maret 2021 telah disita sebanyak 3.462,75 kg ganja atau meningkat 143,64% bila dibandingkan dengan barang bukti selama setahun pada 2020, yakni sebanyak 2.410 kg. Jumlah barang bukti tersebut, menurut dia, hanya yang disita BNN, belum termasuk yang disita aparat Bea Cukai dan Polri.

Pengawasan Longgar akibat Pandemi
Meningkatnya peredaran narkoba di masa pandemi ditengarai dipicu oleh banyaknya penyelundupan yang lolos sebagai akibat longgarnya pemeriksaan aparat. Pakar politik dan keamanan yang juga guru besar Universitas Padjadjaran Muradi mengatakan, dalam setahun ini memang upaya aparat lebih banyak untuk mendukung gerakan meminimalkan penyebaran Covid-19.

“Bahwa ada orang yang pakai narkoba karena banyak tinggal di rumah selama pandemi, bisa jadi iya, itu satu sisi. Tapi di sisi lain saya melihatnya ini akibat adanya kelonggaran,” ujarnya kepada KORAN SINDO,Sabtu (20/3).

Dia mencontohkan kasus ketika orang melakukan perjalanan menggunakan jalur darat. Saat pemeriksaan oleh aparat hukum di jalan, fokus bukan pada isi dari barang yang dibawa seseorang, melainkan pada orangnya –dalam hal ini untuk mengantisipasi penyebarluasan pandemi Covid-19. Padahal, sebelum pandemi, barang bawaan bisa dibongkar bahkan diacak-acak oleh petugas demi memastikan tidak ada narkoba.

Pemeriksaan terhadap barang pun juga cenderung dihindari karena meminimalkan potensi penularan virus. Kondisi lengah inilah yang dimanfaatkan jejaring narkoba. “Fokus aparat dalam mencegah peredaran narkoba perlu dinormalkan kembali, memeriksanya harus kembali seperti dulu lagi. Karena hanya dengan cara itu distribusi narkoba akan terputus,” ujarnya.

Selain itu Muradi juga menengarai maraknya peredaran narkoba akibat dari meningkatnya pengiriman paket atau jasa layanan pengantaran logistik selama pandemi. Misalnya, kalau ada pengantaran lalu ditanya apa isinya, bisa saja misalnya pengirim mengatakan kalau itu untuk antigen test, padahal ternyata di dalamnya ada bahan baku sabu atau bahan baku ekstasi.

Hal lain yang juga membuat peredaran narkoba lebih rawan adalah tersedianya fasilitas seperti executive lounge yang sifatnya private dan bisa disewa dua atau tiga jam untuk rapat dan sebagainya. Menurut dia, transaksi bisa saja terjadi di tempat private seperti itu. “Jadi kondisi pandemi memang membuat peredaran lebih mudah. Aparat perlu lebih intensif lagi dalam penegakan hukum,” katanya mengingatkan.

Dia menegaskan bahwa kasus meningkatnya peredaran narkoba di masa pandemi ini bukan karena aparat kalah, tetapi lebih ke soal fokusnya yang kini lebih diarahkan untuk antisipasi penyebaran Covid-19. Untuk itu dia meminta agar fokus pengamanan dibagi.

“Jangan semua fokusnya ke situ (Covid-19), perlu juga ke hal yang lain, termasuk narkoba dan penyelundupan barang lain yang dulunya dilarang bisa saja sekarang marak,” tandasnya.

Laut Jalur Favorit Penyelundupan
Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Pol Krisno H Siregar mengungkapkan jumlah kasus peredaran narkoba selama pandemi sebenarnya tidak meningkat, bahkan sebaliknya menurun bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

“Namun jumlah barang bukti narkotika, khususnya jenis methampetamine (sabu), memang terjadi peningkatan signifikan selama masa pandemi Covid-19,” ujar Krisno kepada KORAN SINDO, Sabtu (20/3).

Dia tidak menyebutkan lebih terperinci faktor pemicu kenaikan peredaran narkotika jenis sabu tersebut. Namun pihaknya terus meningkatkan deteksi terhadap peredaran dan penyelundupan zat adiktif melalui berbagai pintu masuk seperti wilayah perbatasan, perairan laut, bandara.

Krisno lantas menuturkan, penyelundupan paling banyak dilakukan para sindikat melalui perairan laut. Para sindikat memanfaatkan wilayah perairan lantaran Indonesia memiliki garis pantai panjang. Terlebih lagi belum semua perairan mampu diawasi otoritas negara dengan baik.

Salah satu yang menjadi zona merah penyelundupan narkoba adalah perbatasan laut Pantai Timur Pulau Sumatera. Jaringan internasional ini datang dari berbagai negara, di antaranya dari kawasan Timur Tengah, Taiwan, Malaysia, China. Semua sindikat internasional tersebut berkolaborasi dengan jaringan di Indonesia seperti di Aceh, Madura, Padang, Medan, Surabaya, Palembang. Umumnya mafia itu merekrut nelayan lokal yang ditugasi sebagai pengantar (transporter).

“Maritime route menjadi jalur favorit yang digunakan sindikat kejahatan untuk memasukkan narkoba dalam jumlah besar ke Indonesia karena panjangnya garis pantai negara kita. Tapi, saya kira kelemahan bukan hanya disebabkan faktor personel yang kurang tetapi juga peralatan modern seperti kapal patroli, alat deteksi, dan lainnya,” paparnya.

Krisno pun menjelaskan, Polri tidak bisa bekerja sendiri dalam mengawasi banyaknya celah dan modus operandi yang digunakan para sindikat. Khusus di jalur laut, Direktorat Tindak Pidana Narkoba (Dittipidnarkoba) Bareskrim Polri secara internal bersinergi dengan Ditpolair Baharkam Polri. Selain itu bekerja sama dengan TNI Angkatan Laut, Badan Keamanan Laut (Bakamla), serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.

Perang terhadap narkoba belum akan berakhir dan tantangan yang dihadapi aparat hukum di masa depan juga tidaklah mudah. Krisno pun mengakui kemajuan teknologi dan transportasi saat ini telah berdampak terhadap perkembangan modus operandi kejahatan, termasuk peredaran gelap narkoba melalui jalur daring (online).

Dittipidnarkoba Bareskrim Polri disebutnya harus mampu memprediksi dalam rangka mengantisipasi dinamika ancaman kejahatan sehingga tidak hanya menjadi “pemadam kebakaran”.

“Langkah itu sejalan dengan tagline Kapolri yakni Polri yang prediktif, responsible, transparan, dan berkeadilan (Presisi),” tandasnya. bakti munir/faorick pakpahan
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1317 seconds (0.1#10.140)