Polemik Pilkada Serentak, Penggiat Pemilu Sarankan Ditunda Tahun Depan
loading...
A
A
A
Menurut Doli, meskipun DPR sudah memasuki masa reses, Komisi II tetap harus membahas soal dimulainya tahapan pilkada di tengan kondisi pandemi Covid-19 ini. Untuk itu, pihaknya meminta izin rapat di masa reses kepada pimpinan DPR. “Ya karena urgen, kami minta izin ke pimpinan untuk raker walaupun dalam masa reses,” ucap Doli.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini akan melakukan rapat pada Rabu, pukul 14.00 WIB, dilakukan secara terbuka. “Rencananya siang, pukul 14. Terbuka seperti biasa,” katanya.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Agus Riwanto, menunjukkan adanya sejumlah risiko jika pilkada serentak tetap digelar pada 2020. Perppu Nomor 2/2020 yang telah diteken Presiden Jokowi dinilai justru akan menciptakan ketidakpastian penyelenggaraan pilkada serentak.
“Sebenarnya norma Perppu Nomor 2/2020 hanya ada empat, walaupun pasal yang diubah dan ditambah hanya ada tiga. Ini perppu sangat singkat. Pertama adalah pilkada lanjutan pada perubahan Pasal 120 karena bencana nonalam. Kedua, KPU menetapkan penundaan sesuai Pasal 122A di PKPU berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah. Ketiga, ubah jadwal pada Pasal 201A dari September ke Desember. Keempat adalah pilkada tunda lagi bila Desember tak terlaksana dengan persetujuan DPR dan pemerintah,” ujarnya kemarin.
Dia menilai keputusan mengundur jadwal penyelenggaraan pilkada serentak melalui Perppu Nomor 2/2020 akan memunculkan sejumlah risiko. Hal tersebut diakibatkan oleh bunyi dari Pasal 201A ayat (3) yang menunda kembali penyelenggaraan pilkada serentak apabila pada bulan Desember 2020 nanti pandemi Covid-19 masih berlangsung. (Baca juga: Perppu Pilkada Dinilai Ambigu)
“Nanti akan ada masalah ketatanegaraan bagaimana kok ada perppu yang dibikin perppu, perppu baru dihapus oleh perppu yang baru lagi. Mestinya pilkada dimulai saat diumumkannya Covid-19 berakhir supaya lebih aman. Dalam perppu ini seharusnya juga ditambah jeda, KPU diberi waktu dua bulan setelah Covid-19 diumumkannya berakhir,” lanjutnya.
Kritikan lain yang disampaikan Riwanto adalah soal penyelenggaraan pilkada serentak yang terkesan dipaksakan digelar pada 2020. Hal tersebut dia sampaikan melihat bila pilkada serentak hanya digelar sebagai formalitas belaka untuk menjawab keajekan jabatan satu periode yang berlangsung selama lima tahun bagi kepala daerah. Baginya, penyelenggaraan pilkada serentak tidak hanya ditekankan pada pergantian kepemimpinan politik di daerah. Namun, hal yang lebih penting dan harus menjadi perhatian adalah tingkat partisipasi publik.
Dalam dinamika penundaan Pilkada Serentak 2020, Riwanto melihat adanya peluang KPU sebagai penyelenggara pemilu untuk tidak independen. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya campur tangan DPR dan pemerintah dalam pelaksanaan pilkada yang seharusnya menjadi tanggung jawab penuh KPU.
“Baik tahapan maupun penundaannya KPU dalam perppu ini diminta untuk berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah. Karena ini produknya perppu, perppu itu kan setara dengan undang-undang. Itu sebabnya, Presiden tidak perlu mengatakan itu. Cukup mengatakan saja bahwa pilkada akan dilakukan oleh KPU. Itu cukup,” ujarnya. (Kiswondari/Ary Wahyu Wibowo)
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini akan melakukan rapat pada Rabu, pukul 14.00 WIB, dilakukan secara terbuka. “Rencananya siang, pukul 14. Terbuka seperti biasa,” katanya.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Agus Riwanto, menunjukkan adanya sejumlah risiko jika pilkada serentak tetap digelar pada 2020. Perppu Nomor 2/2020 yang telah diteken Presiden Jokowi dinilai justru akan menciptakan ketidakpastian penyelenggaraan pilkada serentak.
“Sebenarnya norma Perppu Nomor 2/2020 hanya ada empat, walaupun pasal yang diubah dan ditambah hanya ada tiga. Ini perppu sangat singkat. Pertama adalah pilkada lanjutan pada perubahan Pasal 120 karena bencana nonalam. Kedua, KPU menetapkan penundaan sesuai Pasal 122A di PKPU berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah. Ketiga, ubah jadwal pada Pasal 201A dari September ke Desember. Keempat adalah pilkada tunda lagi bila Desember tak terlaksana dengan persetujuan DPR dan pemerintah,” ujarnya kemarin.
Dia menilai keputusan mengundur jadwal penyelenggaraan pilkada serentak melalui Perppu Nomor 2/2020 akan memunculkan sejumlah risiko. Hal tersebut diakibatkan oleh bunyi dari Pasal 201A ayat (3) yang menunda kembali penyelenggaraan pilkada serentak apabila pada bulan Desember 2020 nanti pandemi Covid-19 masih berlangsung. (Baca juga: Perppu Pilkada Dinilai Ambigu)
“Nanti akan ada masalah ketatanegaraan bagaimana kok ada perppu yang dibikin perppu, perppu baru dihapus oleh perppu yang baru lagi. Mestinya pilkada dimulai saat diumumkannya Covid-19 berakhir supaya lebih aman. Dalam perppu ini seharusnya juga ditambah jeda, KPU diberi waktu dua bulan setelah Covid-19 diumumkannya berakhir,” lanjutnya.
Kritikan lain yang disampaikan Riwanto adalah soal penyelenggaraan pilkada serentak yang terkesan dipaksakan digelar pada 2020. Hal tersebut dia sampaikan melihat bila pilkada serentak hanya digelar sebagai formalitas belaka untuk menjawab keajekan jabatan satu periode yang berlangsung selama lima tahun bagi kepala daerah. Baginya, penyelenggaraan pilkada serentak tidak hanya ditekankan pada pergantian kepemimpinan politik di daerah. Namun, hal yang lebih penting dan harus menjadi perhatian adalah tingkat partisipasi publik.
Dalam dinamika penundaan Pilkada Serentak 2020, Riwanto melihat adanya peluang KPU sebagai penyelenggara pemilu untuk tidak independen. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya campur tangan DPR dan pemerintah dalam pelaksanaan pilkada yang seharusnya menjadi tanggung jawab penuh KPU.
“Baik tahapan maupun penundaannya KPU dalam perppu ini diminta untuk berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah. Karena ini produknya perppu, perppu itu kan setara dengan undang-undang. Itu sebabnya, Presiden tidak perlu mengatakan itu. Cukup mengatakan saja bahwa pilkada akan dilakukan oleh KPU. Itu cukup,” ujarnya. (Kiswondari/Ary Wahyu Wibowo)
(ysw)