Edaran Kapolri Soal UU ITE, Fahri Hamzah Sebutkan 3 Skenario
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mantan Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah menanggapi soal Surat Edaran Kapolri mengenai penerapan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) . Menurutnya, ada tiga skenario untuk mengakhiri ketidakpastian hukum di Indonesia menyangkut UU ITE ini.
"Pada dasarnya ada tiga skenario alternatif solusi untuk mengakhiri ketidakpastian hukum di Indonesia, yang bisa berakibat kepada penilaian jatuhnya indeks demokrasi kita, seperti yang terjadi tahun ini dan tahun lalu," ujar Fahri kepada wartawan di Jakarta, Selasa (23/2/2021).
Fahri menguraikan skenario pertama, melakukan revisi terhadap UU yang bermasalah, seperti UU ITE sehingga kemudian pasal-pasal karetnya direvisi. Tapi ini skenario ini membutuhkan waktu agak lama, sehingga ia lebih mendukung skenario kedua.
"Karena itu, saya lebih setuju dengan skenario kedua, yaitu skenario yang cepat. Yaitu, presiden mem-Perppu (peraturan pemerintah pengganti UU) UU ITE sehingga secara otomatis pasal bermasalah dihilangkan, agar segera ada kepastian hukum," jelasnya.
Adapun skenario ketiga, menurut Wakil Ketua Umum Partai Gelora ini, yang paling komprehensif adalah menuntaskan pembahasan dan pengesahan RUU KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) karya anak bangsa agar Indonesia memiliki satu kesatuan hukum. RUU KUHP ini sebagai suatu criminal constitution atau criminal code untuk seterusnya dan selamanya, sehingga ini akan memberikan kepastian hukum yang lebih luas kepada seluruh UU yang mungkin benuansa penuh ketidakpastian hukum itu.
"Ini usul saya dan mudah-mudahan bisa dimengerti terutama para pembuat hukum, dalam hal ini DPR dan presiden. Ada pun kepolisian, Kapolri dalam hal ini telah berinisiatif baik sekali untuk mengakhiri ketidakpastian ini," kata mantan Anggota Komisi III DPR ini.
Tetapi, menurut Fahri, mepolisian bukan pembuat UU sehingga dalam jangka panjang akan ada masalah, apabila di hulu persoalannya kepolisian tidak dibekali oleh UU yang permanen, yang bersumber dari Perppu atau revisi UU atau yang lebih permanen yakni, lewat pembahasan dan pengesahan KUHP. Padahal, di DPR dan pemerintahan periode lalu, telah menyelesaikan pembahasan RUU KUHP tingkat pertama.
"Tiggal perlu penyelesaian dan pengesahaan pada tingkat kedua yang dapat dipercepat menurut ketentuan UU P3 (Pembuatan Peraturan dan Perundangan-undangan) itu dapat dipercepat apabila pada periode lalu sebuah RUU telah menyelesaikan pembahasan pada tingkat pertama dan itu yang terjadi pada akhir periode DPR 2012-2019 yang lalu," sesal Fahri.
"Pada dasarnya ada tiga skenario alternatif solusi untuk mengakhiri ketidakpastian hukum di Indonesia, yang bisa berakibat kepada penilaian jatuhnya indeks demokrasi kita, seperti yang terjadi tahun ini dan tahun lalu," ujar Fahri kepada wartawan di Jakarta, Selasa (23/2/2021).
Fahri menguraikan skenario pertama, melakukan revisi terhadap UU yang bermasalah, seperti UU ITE sehingga kemudian pasal-pasal karetnya direvisi. Tapi ini skenario ini membutuhkan waktu agak lama, sehingga ia lebih mendukung skenario kedua.
"Karena itu, saya lebih setuju dengan skenario kedua, yaitu skenario yang cepat. Yaitu, presiden mem-Perppu (peraturan pemerintah pengganti UU) UU ITE sehingga secara otomatis pasal bermasalah dihilangkan, agar segera ada kepastian hukum," jelasnya.
Adapun skenario ketiga, menurut Wakil Ketua Umum Partai Gelora ini, yang paling komprehensif adalah menuntaskan pembahasan dan pengesahan RUU KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) karya anak bangsa agar Indonesia memiliki satu kesatuan hukum. RUU KUHP ini sebagai suatu criminal constitution atau criminal code untuk seterusnya dan selamanya, sehingga ini akan memberikan kepastian hukum yang lebih luas kepada seluruh UU yang mungkin benuansa penuh ketidakpastian hukum itu.
"Ini usul saya dan mudah-mudahan bisa dimengerti terutama para pembuat hukum, dalam hal ini DPR dan presiden. Ada pun kepolisian, Kapolri dalam hal ini telah berinisiatif baik sekali untuk mengakhiri ketidakpastian ini," kata mantan Anggota Komisi III DPR ini.
Tetapi, menurut Fahri, mepolisian bukan pembuat UU sehingga dalam jangka panjang akan ada masalah, apabila di hulu persoalannya kepolisian tidak dibekali oleh UU yang permanen, yang bersumber dari Perppu atau revisi UU atau yang lebih permanen yakni, lewat pembahasan dan pengesahan KUHP. Padahal, di DPR dan pemerintahan periode lalu, telah menyelesaikan pembahasan RUU KUHP tingkat pertama.
"Tiggal perlu penyelesaian dan pengesahaan pada tingkat kedua yang dapat dipercepat menurut ketentuan UU P3 (Pembuatan Peraturan dan Perundangan-undangan) itu dapat dipercepat apabila pada periode lalu sebuah RUU telah menyelesaikan pembahasan pada tingkat pertama dan itu yang terjadi pada akhir periode DPR 2012-2019 yang lalu," sesal Fahri.
(kri)