Senator Asal NTT Nilai Mafia Tanah Penyakit Kronis Bangsa Ini

Kamis, 11 Februari 2021 - 20:59 WIB
loading...
Senator Asal NTT Nilai...
Senator dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Abraham Liyanto menilai praktik mafia tanah di republik ini adalah salah satu penyakit kronis bangsa ini. Foto/Okezone
A A A
JAKARTA - Senator dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Abraham Liyanto menilai praktik mafia tanah di republik ini adalah salah satu penyakit kronis bangsa ini. Abraham mengungkapkan praktik mafia tanah di republik ini sudah menggurita.

Banyak pihak terlibat, mulai dari hulu hingga ke hilir. “Mafia tanah salah satu penyakit kronis bangsa ini. Negara tidak boleh kalah dengan praktik kotor ini,” ujar Abraham saat berdiskusi dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil di Kementerian ATR, Jakarta, Rabu 10 Februari 2021.
Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) membeberkan pihak-pihak yang terlibat, mulai dari oknum tua adat atau pemilik tanah ulayat. Mereka kerja sama dengan oknum pengacara untuk menggugat tanah yang punya sertifikat.

“Dari berbagai informasi yang saya peroleh, ada semacam kesepakatan di antara mereka. Bahwa jika menang di pengadilan, oknum pengacara akan mendapatkan bagian dari tanah yang disengketakan,” katanya.

Abraham melanjutkan kerja sama mereka kemudian melibatkan oknum pengurus RT, RW, kelurahan, kecamatan hingga pemerintah daerah. Oknum Badan Pertanahan juga diajak kerja sama dalam lingkaran ini.

“Jalur mafia ini kemudian masuk ke pengadilan. Di pengadilan, mereka punya jaringan, mulai pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung. Begitu ada gugatan, mereka yang menang karena sudah ada jaringan di dalam,” jelas Abraham.

Dia mengungkapkan yang mengherankan adalah praktik mafia juga melibatkan investor kasus alias ada oknum pengusaha yang juga terlibat. Adapun targetnya, tanah tersebut dibeli oleh investor setelah gugatan berhasil dimenangkan. Umumnya, harga beli tidak terlalu mahal lantaran mereka merupakan bagian dari sindikat kasus.

“Praktik-praktik seperti ini rasanya terjadi hampir di seluruh penjuru republik ini. Maka kami minta ke Pak Menteri ATR untuk memperhatikan betul masalah ini. Sampai kapan mafia tanah ini ada? Siapa yang bertanggung jawab atas hadirnya sertifikat ganda? Mengapa BPN bisa keluarkan sertifikat berkali-kali untuk satu tanah yang sama,” jelas Abraham.

Menanggapi hal tersebut, Menteri ATR Sofyan Djalil menjelaskan langkah yang dilakukan saat ini adalah dengan menerapkan sistem online dalam pembuatan sertifikat. Dalam sistem itu, tanah seseorang akan langsung diketahui siapa pemilik sesungguhnya karena menggunakan foto satelit.

Dengan model itu, diharapkan bisa memutus praktik mafia tanah. “Ini bukan menghapus sertifikat kepemilikan yang sudah ada selama ini. Itu hoaks kalau ada informasi seperti itu. Sistem online itu untuk penertiban penerbitan sertifikat,” ujar Sofyan.

Sofyan menambahkan pihaknya sedang menyiapkan Peraturan Menteri (Permen) terkait penerapan sistem elektronik tersebut. Setelah Permen terbit, sasaran pertama dari sistem itu adalah tanah-tanah milik pemerintah di seluruh Tanah Air.

Sedangkan langkah lainnya adalah merevisi Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Kementerian ATR saat ini sedang menyusun revisi UU tersebut. Di dalamnya, akan diatur agar praktik mafia tanah bisa hilang.

Pihaknya meminta dukungan DPR RI dan DPD RI terkait hal tersebut. Ketiga, dengan menerapkan UU Cipta Kerja khususnya terkait masalah agraria. UU yang merupakan produk omnibus law itu diharapkan bisa mengikis praktik mafia tanah.

Abraham sendiri mengusulkan agar dalam revisi UU tentang Pokok-Pokok Agraria supaya setiap daerah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Pengaturan masalah agraria harus mengacu pada RTRW satu darah.

Hal tersebut untuk menghindari spekulasi para mafia tanah atau investor dalam membeli lahan, terutama di daerah-daerah yang menjadi tujuan pariwisata seperti Labuan Bajo.

“Di Labuan Bajo itu, RTRW belum ada. Makanya mafia pesta pora mengkapling-kapling tanah dan menjualnya hingga ribuan kali lipat. Model seperti ini harus bisa masuk di revisi UU Pokok-Pokok Agraria,” pungkas Abraham.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1396 seconds (0.1#10.140)