Mewaspadai Klaster Pengungsi

Senin, 01 Februari 2021 - 18:02 WIB
loading...
Mewaspadai Klaster Pengungsi
Fikri Muslim (Foto: Istimewa)
A A A
Fikri Muslim
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

BELUM usai turbulensi akibat pandemi Covid-19, Indonesia kembali harus mengalami guncangan di awal 2021 ini. Rentetan kejadian bencana alam menjadi berita duka bagi segenap bangsa. Banjir, tanah longsor, angin puting beliung, hingga gempa bumi adalah beberapa kejadian bencana alam di awal tahun.

Berdasarkan data yang dilansir Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Pusdatin BNPB), sampai dengan 21 Januari 2021, telah terjadi 185 kejadian bencana di Tanah Air. Banjir tercatat sebagai kejadian bencana yang paling banyak terjadi, yaitu sebanyak 127 kejadian. Bencana alam lain yang juga tercatat selama periode tersebut yaitu 30 kejadian tanah longsor, 21 angin puting beliung, 5 gelombang pasang, dan 2 gempa bumi.

Baca Juga: Risiko Tinggi Anak Terpapar Covid-19

Akibat dari bencana-bencana tersebut, dilaporkan 166 orang meninggal dunia, 11 orang hilang, 1.210 orang mengalami luka-luka, dan lebih dari 1,3 juta orang menderita serta mengungsi (BNPB, 2021). Selain korban manusia, kejadian-kejadian bencana juga menyebabkan kerusakan bangunan dan infrastruktur yang terdiri atas 1.896 unit rumah, 36 unit fasilitas umum (berupa fasilitas pendidikan, peribadatan dan kesehatan), 2 bangunan perkantoran, dan 25 bangunan jembatan (BNPB, 2021). Tak pelak berbagai dampak bencana tersebut menjadi pukulan telak di saat bangsa Indonesia masih terhuyung akibat pukulan pandemi Covid-19.

Fokus Penanggulangan Bencana
Namun, bangsa ini tidak boleh berlama-lama meratapi kondisi yang ada. Dalam periode tanggap darurat, rapid assessment terhadap lokasi bencana dan dampak yang terjadi harus dilakukan secara efektif dan efisien. Potensi timbulnya kejadian bencana susulan menjadi salah satu contoh pengkajian lokasi bencana yang harus dilakukan. Hal ini penting untuk mencegah timbulnya kerugian yang lebih besar pada saat proses penanggulangan bencana dilaksanakan. Upaya penyelamatan dan evakuasi para korban merupakan hal pertama dan utama yang harus dilakukan setelah rapid assessment terhadap lokasi bencana. Pemerintah (pusat maupun daerah) memegang peranan penting untuk mengoordinasikan respons tanggap darurat bencana secara tepat sasaran dan komprehensif.

Berikutnya, fokus penanggulangan bencana harus diprioritaskan pada proses rehabilitasi pascabencana. Undang-Undang 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan rehabilitasi sebagai proses perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik/masyarakat. Tujuan utamanya yaitu normalisasi kehidupan masyarakat di wilayah pascabencana. Dengan kondisi kejadian bencana di tengah pandemi Covid-19, rehabilitasi pascabencana menjadi berfungsi ganda. Rehabilitasi akan tetap berperan sebagai upaya pemulihan wilayah pascabencana sekaligus meminimalkan potensi penyebaran Covid-19 secara lebih luas.

Sebagai gambaran sederhana, mencuci tangan adalah salah satu protokol wajib untuk mencegah penularan Covid-19. Ketersediaan pasokan air bersih tentu menjadi sangat penting. Rehabilitasi sarana-prasarana jaringan air bersih secara memadai pun menjadi sangat penting untuk segera dilaksanakan di wilayah-wilayah terdampak bencana. Hal ini agar kebutuhan air bersih harian bagi masyarakat terdampak bencana dapat terpenuhi sekaligus masyarakat dapat menjalankan protokol kesehatan secara baik.

Waspada Risiko Klaster Pengungsi
Banyaknya kejadian bencana alam di tengah pandemi Covid-19 yang belum juga usai harus dibarengi kewaspadaan ekstratinggi oleh kita semua. Apalagi, tren kasus positif Covid-19 di Indonesia pun masih cenderung terus meningkat. Tentu, kita semua tidak ingin beban berat akibat dampak kejadian bencana menjadi berlipat ganda akibat penambahan kasus-kasus baru Covid-19. Korban bencana yang terpaksa bertempat tinggal sementara di pengungsian memiliki risiko terpapar virus yang tinggi. Keterbatasan untuk dapat melaksanakan protokol kesehatan secara optimal menjadi penyebabnya. Ketersediaan masker yang terbatas, ketersediaan air bersih dan sabun cuci tangan yang terbatas, maupun ruang untuk menjaga jarak di area tempat pengungsian/tenda-tenda pengungsian yang juga terbatas menjadi potensi sumber permasalahan.

Merujuk kembali pada data Pusdatin BNPB, jumlah penduduk terdampak dan terpaksa mengungsi pun tidak bisa dibilang sedikit, 1,3 juta orang. Kekhawatiran akan terpapar Covid-19 tentu membayangi para pengungsi tersebut dengan segala keterbatasan yang ada. Apabila secara khusus kita melihat kejadian gempa bumi dahsyat di Sulawesi Barat, tercatat ribuan orang harus mengungsi akibat kejadian gempa tersebut. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) merilis informasi bahwa pada tanggal 14 dan 15 Januari 2021, Majene diguncang gempa dengan kekuatan signifikan, yakni masing-masing 5,9 SR dan 6,2 SR. BNPB mencatat, akibat kedua gempa tersebut jumlah penduduk yang harus mengungsi berjumlah 9.910 jiwa. Pengungsi di Kabupaten Mamuju teridentifikasi sementara berada 5 titik pengungsian seperti di Jalu 2, Stadion Mamuju, Gerbang Kota Mamuju, Tapalang, dan Kantor Bupati. Sementara di Kabupaten Majene, 2 titik teridentifikasi, yaitu di SPN Malunda dan Desa Sulet Malunda (BNPB, 2021). Banyaknya jumlah pengungsi juga meningkatkan potensi penyebaran Covid-19. Kesiapsiagaan akan timbulnya klaster-klaster penyebaran Covid-19 harus benar-benar ditingkatkan. Terutama pada masa-masa tanggap darurat, hal ini merujuk pada informasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menyebutkan gejala-gejala kemunculan Covid-19 berkisar antara 1-14 hari.

Apa yang Harus Dilakukan?
Tentu kita dapat berkaca pada pengalaman-pengalaman sebelumnya pada saat munculnya klaster libur panjang Natal dan Tahun Baru 2021. Saat itu, juru bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyebutkan munculnya klaster libur panjang adalah karena menurunnya kepatuhan pelaksanaan protokol kesehatan oleh masyarakat. Oleh karena itu, meskipun terkesan klise, kedisiplinan semua pihak dalam pelaksanaan protokol kesehatan adalah kunci pencegahan timbulnya klaster pengungsi.

Di sisi pemerintah diharapkan selain berfokus pada pemenuhan kebutuhan logistik bagi pengungsi, perlu juga memperhatikan pemenuhan kebutuhan protokol kesehatan bagi para pengungsi seperti masker, sabun cuci tangan, hand sanitizer, dan penyemprotan disinfektan secara berkala di lokasi-lokasi pengungsian. Pemerintah melalui Satgas Covid-19 di daerah juga diharapkan tidak bosan untuk melakukan edukasi pelaksanaan protokol kesehatan secara disiplin bagi para pengungsi. Satgas Covid-19 di wilayah terdampak juga perlu melakukan screening ketat terhadap pergerakan orang masuk ke wilayahnya. Misalnya saja para relawan yang datang dari luar daerah. Perlu dipastikan mereka yang memasuki lokasi bencana bukan merupakan carrier Covid-19 dan disiplin menjalankan protokol kesehatan.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1930 seconds (0.1#10.140)