LP3ES: Oposisi Melemah, Demokrasi Berjalan Mundur
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) merilis outlook demokrasi di Tanah Air 2021.
Dalam catatan outlook, LP3ES merefleksikan fenomena politik yang mewarnai tahun 2020 untuk menyongsong kondisi demokrasi di tahun 2021.
Salah satu yang dibahas LP3ES adalah suara dari civil society yang sangatlemah dan suara parlemen untuk check and balance hampir mustahil karena semua yang ada di sana itu berebut kekuasaan, tidak mengerti sistem.
"Jadi meskipun oposisi dalam pilpres, masuk juga ke koalisi, sehingga tidak ada oposisi. Dampaknya, demokrasi di Indonesia menjadi cacat lantaran tidak adanya check and balance kekuasaan," tutur Ketua Dewan Pengurus LP3ES, Didik J Rachbini dalam diskusi LP3ES bertajuk Nestapa Demokrasi di Masa Pandemi, Refleksi 2020 dan Outlook 2021, Senin (11/1/2021), dikutip dari siaran pers LP3ES.
Dengan kosongnya check and balance ini, lanjut dia, demokrasi menjadi cacat. Tidak ada check and balance seperti per atau ayunan yang tidak punya balance sehingga bergeraknya tidak baik.
"Kecenderungan otoriter dan praktik diktator semakin kuat ketika oposisi hilang dan masyarakat sipil lemah," kata Didik. (Baca juga: Oposisi yang Diperankan PKS, Demokrat, dan PAN Masih Setengah Hati)
Dia menilai saat ini terjadi kemunduran demokrasi, seperti suatu siklus setelah 20 tahun demokrasi dijalankan.
Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto menilai penelitian dan refleksi atas situasi demokrasi di tahun 2020 menemukan bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran yang serius.
Dia juga merujuk pada fenomena politik Amerika yang dipotret oleh Levitsky dan Ziblatt (2018), Wijayanto menyampaikan ada empat indikator kemunduran demokrasi yang terwujud dalam praktik otoritarianisme yang sesungguhnya telah terjadi dan terus berlangsung di Indonesia.
Empat indikator tersebut meliputi pertama, penolakan (atau komitmen lemah) terhadap aturan main yang demokratis. Kedua, konsolidasi oligarki dan melemahnya lawan politik. Ketiga, toleransi atau dorongan kekerasan. Keempat, kesediaan untuk membatasi kebebasan sipil terhadap lawan, termasuk media.
"Terlebih, pada tahun 2020 Presiden Jokowi melakukan reshuffle kabinet yang sayangnya justru semakin menegaskan hilangnya oposisi dan semakin kuatnya oligarki. Bergabungnya Sandiaga Uno yang mulanya adalah penantang Jokowi yang maju pilpres 2019 sebagai calon wakil presiden bersama Prabowo Subianto merupakan refleksi dari semakin pudarnya oposisi," tuturnya. (Baca juga: Dua Tower Palapa Ring Timur Dibakar, Kemenkominfo Investigasi)
Dia menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran itu, yakni problem struktural, agensi dan kultural. Dari sudut pandang struktural dapat dilihat mengenai fenomena terkonsolidasinya oligarki yang masuk ke dalam berbagai lapisan institusi kekuasaan.
Selanjutnya, adapula problem agensi di mana para pemimpin terpilih secara demokratis yang justru memunggungi demokrasi.
"Sedangkan problem kultural direfleksikan dari publik yang masih setengah hatinya mendukung demokrasi, ditambah dengan makin melemahnya masyakat sipil di sisi lainnya. Problem dari tiga aspek tersebut telah menjadi prakondisi yang menjelaskan blunder kebijakan publik selama pandemi yang semata melayani kepentingan segelintir elite oligarki dan tidak menjadikan nyawa dan keselamatan warga sebagai panglima," tuturnya.
Dalam catatan outlook, LP3ES merefleksikan fenomena politik yang mewarnai tahun 2020 untuk menyongsong kondisi demokrasi di tahun 2021.
Salah satu yang dibahas LP3ES adalah suara dari civil society yang sangatlemah dan suara parlemen untuk check and balance hampir mustahil karena semua yang ada di sana itu berebut kekuasaan, tidak mengerti sistem.
"Jadi meskipun oposisi dalam pilpres, masuk juga ke koalisi, sehingga tidak ada oposisi. Dampaknya, demokrasi di Indonesia menjadi cacat lantaran tidak adanya check and balance kekuasaan," tutur Ketua Dewan Pengurus LP3ES, Didik J Rachbini dalam diskusi LP3ES bertajuk Nestapa Demokrasi di Masa Pandemi, Refleksi 2020 dan Outlook 2021, Senin (11/1/2021), dikutip dari siaran pers LP3ES.
Dengan kosongnya check and balance ini, lanjut dia, demokrasi menjadi cacat. Tidak ada check and balance seperti per atau ayunan yang tidak punya balance sehingga bergeraknya tidak baik.
"Kecenderungan otoriter dan praktik diktator semakin kuat ketika oposisi hilang dan masyarakat sipil lemah," kata Didik. (Baca juga: Oposisi yang Diperankan PKS, Demokrat, dan PAN Masih Setengah Hati)
Dia menilai saat ini terjadi kemunduran demokrasi, seperti suatu siklus setelah 20 tahun demokrasi dijalankan.
Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto menilai penelitian dan refleksi atas situasi demokrasi di tahun 2020 menemukan bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran yang serius.
Dia juga merujuk pada fenomena politik Amerika yang dipotret oleh Levitsky dan Ziblatt (2018), Wijayanto menyampaikan ada empat indikator kemunduran demokrasi yang terwujud dalam praktik otoritarianisme yang sesungguhnya telah terjadi dan terus berlangsung di Indonesia.
Empat indikator tersebut meliputi pertama, penolakan (atau komitmen lemah) terhadap aturan main yang demokratis. Kedua, konsolidasi oligarki dan melemahnya lawan politik. Ketiga, toleransi atau dorongan kekerasan. Keempat, kesediaan untuk membatasi kebebasan sipil terhadap lawan, termasuk media.
"Terlebih, pada tahun 2020 Presiden Jokowi melakukan reshuffle kabinet yang sayangnya justru semakin menegaskan hilangnya oposisi dan semakin kuatnya oligarki. Bergabungnya Sandiaga Uno yang mulanya adalah penantang Jokowi yang maju pilpres 2019 sebagai calon wakil presiden bersama Prabowo Subianto merupakan refleksi dari semakin pudarnya oposisi," tuturnya. (Baca juga: Dua Tower Palapa Ring Timur Dibakar, Kemenkominfo Investigasi)
Dia menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran itu, yakni problem struktural, agensi dan kultural. Dari sudut pandang struktural dapat dilihat mengenai fenomena terkonsolidasinya oligarki yang masuk ke dalam berbagai lapisan institusi kekuasaan.
Selanjutnya, adapula problem agensi di mana para pemimpin terpilih secara demokratis yang justru memunggungi demokrasi.
"Sedangkan problem kultural direfleksikan dari publik yang masih setengah hatinya mendukung demokrasi, ditambah dengan makin melemahnya masyakat sipil di sisi lainnya. Problem dari tiga aspek tersebut telah menjadi prakondisi yang menjelaskan blunder kebijakan publik selama pandemi yang semata melayani kepentingan segelintir elite oligarki dan tidak menjadikan nyawa dan keselamatan warga sebagai panglima," tuturnya.
(dam)