Khawatir Situasi Nasional, SBY Teringat Tahun 1964-1965

Jum'at, 08 Januari 2021 - 14:07 WIB
loading...
Khawatir Situasi Nasional,...
Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Foto/SINDOnews/Eko Purwanto
A A A
JAKARTA - Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengungkapkan kekhawatirannya terkait kehidupan masyarakat dan bangsa di Tanah Air akhir-akhir ini.

(Baca juga : Soal Like Akun Porno, Habiburokhman Duga Twitter Fadli Zon Dibajak )

SBY menilai ada keretakan dalam kerukunan masyarakat atau harmoni sosial. "Khususnya berkaitan dengan kerukunan masyarakat atau harmoni sosial yang menurut saya terasa retak dan jauh dari semangat persaudaraan kita sebagai bangsa," kata SBY dalam tulisannya berjudul Indonesia Tahun 2021, Peluang untuk Sukses Ada, Jangan Kita Sia-siakan yang diposting di laman akun Facebooknya, Jumat (8/1/2021).

(Baca juga : Polri Itu Polisi Pemerintah, Selalu Sulit Berjarak dengan Kekuasaan )

Menurut pengamatan SBY, kondisi bermula dari tiga atau empat tahun lalu, tepatnya saat dinamika politik pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Sejak saat itu sepertinya terbangun jarak dan pemisah dalam kehidupan masyarakat.(Baca Juga: Viral, Trump dan Keluarganya Pesta saat Massa Perusuh Capitol Tiba

Menurut dia, sebagian menganggap mereka yang tidak sama identitasnya misalnya agama, partai politiknya dan juga garis ideologinya adalah lawan. Alhasil untuk bicara pun merasa tidak nyaman. Garis permusuhan ini bahkan menembus lingkaran persahabatan yang sudah terbangun lama, bahkan lingkaran-lingkaran keluarga.

"Saya sungguh prihatin jika lingkaran tentara dan polisi yang harusnya menjadi contoh dalam persatuan dan persaudaraan kita sebagai bangsa juga tak bebas dari hawa permusuhan ini. Keadaan ini sungguh menyedihkan dan sekaligus membahayakan masa depan bangsa kita," tutur mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat ini. ( )

SBY mengaku teringat saat tahun 1964-1965 silam. SBY yang saat itu masih duduk di bangku SMA melihat masyarakat hingga tingkat grassrootsterbelah karena faktor politik dan ideologi.

"Polarisasi sosial tajam. Pelajar, mahasiswa, pemuda, guru, buruh, petani dan sejumlah elemen masyarakat terbelah. Bahkan berhadap-hadapan. Faktor inilah yang barangkali setelah terjadi Gerakan 30 September 1965 yang berdarah dulu, kekerasan terjadi di seluruh Tanah Air dengan korban jiwa yang cukup besar," tuturnya.

SBY juga menceritakan pengalamannya ketika ikut menyelesaikan konflik komunal yang berbasiskan identitas di berbagai daerah. Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Koordinator Politik Keamanan (Menko Polkam).

Dia mengaku saat itu juga turun ke lapangan untuk menyelesaikan konflik horizontal pasca krisis 1998, khususnya di Sampit, Poso, Ambon dan Maluku Utara.

"Untuk mengakhiri benturan dan kekerasan saja memerlukan waktu 3-4 tahun. Belum fase rekonsiliasi dan trust building yang juga memakan waktu yang lama. Masyarakat lokal saya yakini tahu bahwa korban jiwa dan kerusakan harta benda juga cukup besar," tuturnya

Menurut dia, jika polarisasi antar kubu politik sangat tajam, kehidupan demokrasi pasti tidak sehat. Memilih kandidat dan calon-calon pemimpin, baik di pusat maupun daerah, akan sangat dipengaruhi dan bahkan ditentukan apakah mereka memiliki identitas, paham ideologi dan politik yang sama.

Alhasil, kata dia, pertimbangan utama dalam memilih pemimpin seperti faktor integritas, kapasitas dan kesiapan untuk memimpin, dianggap tak lagi penting. Kalau hal begini menjadi kenyataan di Indonesia, dan dari tahun ke tahun makin ekstrem, bisa dibayangkan masa depan negeri ini.

Apabil polarisasi sosial dan politik ekstrem, kontestasi dalam Pemilu dan Pilkada bisa sangat keras dan tidak damai. Bagi Indonesia yang sepanjang sejarahnya selalu ada konflik, baik vertikal maupun horizontal, keadaan buruk seperti itu harus kita cegah dan hindari.

Oleh karena itu, lanjut SBY, mumpung belum terlalu jauh divisi dan polarisasi sosial serta politik di negeri ini, para pemimpin dan semua elemen bangsa harus sadar bahwa sesuatu harus dilaksanakan.

"Something must be done. Pembiaran dan inaction adalah dosa dan kesalahan besar. Di sisi lain, jangan pula ada yang justru menginginkan dan memelihara polarisasi sosial-politik yang tajam ini untuk kepentingan pribadi dan politiknya," katanya.

Apabila ada pihak-pihak yang berpikiran dan bertindak seperti itu, menurut dia, mereka bukan hanya tidak bertanggung jawab tetapi juga tidak bermoral. Sejarah menunjukkan bahwa bangsa yang sudah benar-benar terbelah dan terpolarisasi secara tajam, sangat tidak mudah untuk menyatukannya kembali.
(dam)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1219 seconds (0.1#10.140)